Sakit bukan menu hidup yang kita sukai. Sekarang—sejak berbulan-bulan dan bertahun-tahun lalu, sebenarnya—penyakit menziarahi Ibu. Riwayat penyakit Ibu sepanjang masa hidup saya. Karena itu, bagi saya, Ibu adalah tentara yang selalu berada dalam medan perang, memerangi penyakit yang ada dalam tubuhnya sendiri. Kadang musuh itu ada di paru-paru, lalu pindah ke lambung, lalu pindah ke jantung.
Sepanjang November-Desember 2023, dan sekarang awal
Januari 2024, penyakit itu tampaknya makin menguasai medan pertempuran. Tetapi,
sebagai prajurit yang setia pada pertempuran, karena hanya itu pilihan
satu-satunya, Ibu tetap bertahan. Sekarang saya bergabung dalam pertempuran
itu, atau paling tidak demikian saya berharap.
Cara saya bergabung cukup sederhana, melakukan apa
yang seharusnya dilakukan: kadang mencari dokter yang pas; kadang mengingatkan Ibu
bahwa hal ini bagus dilakukan, dan ini perlu dilakukan, dan hal ini perlu
diusir jauh-jauh; kadang menelisik perasaan Ibu yang agak keliru dalam menilai
saran dokter. Dan seterusnya, dan sebagainya, dan semacamnya.
Anda tahu, mengobati orang sakit tidak hanya
berhadapan dengan virus penyebab sakit, tetapi juga perilaku si orang sakit.
Beberapa kali, tindakan orang sakit bertentangan dengan prinsip dasar
pengobatan. Hal ini lumrah terjadi terutama bagi orang seperti Ibu yang secara
psikis sudah babak belur menghadapi penyakit. Kadang ia gamang ketika obatnya
tidak bereaksi, atau si Pak Dokter kurang cocok terkait satu atau dua hal. Pada
kondisi seperti itu, tidak jarang ia infantil.
Terlepas dari itu semua, dalam peran saya sebagai
prajurit tambahan, saya melihat tembok mental Ibu kadang sekeras batu cor, lalu
tiba-tiba serapuh batang lidi. “Nyawa hanya milik Tuhan,” katanya ketika energi
religiusnya membuncah. “Saat kau sakit seperti ini, kematian seolah membayangi,”
katanya lagi ketika merasakan momen-momen getir. Saran dokter spesialis bahkan
tak mampu mengusir perasaan muram. Bahkan tak jarang ia menganggap dokter
keliru diagnosis.
Sekali lagi, melawan penyakit adalah satu hal, dan
perilaku orang sakit adalah hal lain lagi. Posisi saya, dan kakak, selalu
sebagai kompas ketika Ibu kehilangan arah dalam jalur pertarungannya. Dan setelah
saya menyaksikan naik-turun kondisi Ibu, saya menyukai kesimpulan ini: ia
melengkapi puzzle mental saya, puzzle yang selama ini memang harus muncul dari
tempaan keras.
Tiap orang mungkin pernah mengalami saat-saat
genting, dan tetap berkepala dingin, tenang, santai, sehingga lebih jernih
dalam melihat masalah. Inilah kondisi yang belakangan berhasil saya jajaki. Di
tengah merawat Ibu, saya juga harus mengerjakan naskah bersama mentor. Saya
mencoba untuk membagi kepala dalam dua hal yang sama-sama perlu dikerjakan.
Secara prioritas, tentu sepatutnya saya
mendahulukan kesembuhan Ibu. Tetapi, dulu ketika keluarga mentor saya opname
selama satu minggu, ia masih melayani ajakan diskusi saya berjam-jam. Tentu
saja saya tidak tahu bahwa keluarganya sedang opname, lantas di akhir diskusi ditutup
dengan cerita, “anak saya sedang dirawat, sudah satu minggu.” Saya meminta maaf
dalam cara yang paling patut, dan dibalas ucapan penenang: Tidak apa-apa, ini
bagian dari etos kerja saya sebagai dosen. Semoga lancar.
Mengingat adegan di atas, saya selalu menanam
secuil dendam untuk membalas kebaikan serupa. Dan waktu pembalasan yang
sebenarnya tidak saya harapkan telah tiba.
Karena itu saya tetap mengerjakan sesuatu yang
harus dikerjakan. Urus Ibu, menulis naskah, mengontrol sekolah di rumah, dan tentu
saja mencari tambahan uang. Untungnya, selama menjalani
titik episode ini, saya baik-baik saja, meski tanpa memelihara pikiran positif ala
motivator, sebuah cara berpikir yang, kata Zander, “...berpura-pura semuanya
baik ketika kau tahu bahwa hal itu menyebalkan.”
Itulah kenapa para permikir positif begitu
menjengkelkan, katanya lagi. Kau melihat kubangan kejahatan dan mencoba
berpikir positif lantas mengulang mantra afirmatif, “bukankah hal ini indah?” Orang
yang suka mengumpat mungkin akan membalas singkat: indah ndasmu!
Ada tumpukan manfaat dari berpikir positif,
setidaknya ketika ia dilakukan melalui prosedur yang benar. Dan poin ini
tulisan tersendiri nanti. Saya hanya ingin mengatakan bahwa mengatasi busai
masalah di episode ini, pikiran dan badan masih dapat bekerja optimal, tanpa
hasrat sambat di X (Twitter)—sebuah tempat di mana sebagian orang menumpahkan
sampah yang akan membuat kita tertular perasaan negatif.
Bagaimanapun, usia saya sudah menanjak menuju 30
tahun. Saya telah melalui miniatur kehidupan orang dewasa, baik ketika saya
masih anak-anak, masa remaja, maupun sekarang: kehilangan orang tua,
menggawangi organisiasi, menyelesaikan pendidikan tanpa biaya orang tua, patah hati karena wanita, dikhianati teman, menghadapi musuh… sebut semua.
Dan melihat Ibu tetap berdiri setelah riwayat pertempuran
panjang ini, membuat ruang mental saya terisi oleh keping sikap bertarung:
meski saya stress, banyak mengerahkan pikiran, mengeluarkan energi, semua tampak
berjalan dalam rel yang seharusnya. Mau tidak mau, inilah kehidupan.
Kemarin, ketika dokter mendiskusikan hasil diagnosis
penyakit Ibu, dan menyarankan langkah-langkah perawatan terbaik, muncul
bayangan akan seperti apa fase pemulihan Ibu. Setelah selesai menyimak dokter, saya pergi ke ruang tunggu membuka laptop dan menelpon mentor untuk diskusi dan
kami sepakat untuk melakukan perbaikan kecil naskah sehingga perlu sedikit
usaha puncak dan tiba-tiba muncul pesan dari seorang kawan yang mengirim pesan
pendek: aku stress.
Jika adegan ini terjadi lima tahun lalu, saya bisa
meledak.