Selasa, 09 Januari 2024

Cerita Pendewasaan Diri: Membangun Cangkang Baru

Sakit bukan menu hidup yang kita sukai. Sekarang—sejak berbulan-bulan dan bertahun-tahun lalu, sebenarnya—penyakit menziarahi Ibu. Riwayat penyakit Ibu sepanjang masa hidup saya. Karena itu, bagi saya, Ibu adalah tentara yang selalu berada dalam medan perang, memerangi penyakit yang ada dalam tubuhnya sendiri. Kadang musuh itu ada di paru-paru, lalu pindah ke lambung, lalu pindah ke jantung.


Sepanjang November-Desember 2023, dan sekarang awal Januari 2024, penyakit itu tampaknya makin menguasai medan pertempuran. Tetapi, sebagai prajurit yang setia pada pertempuran, karena hanya itu pilihan satu-satunya, Ibu tetap bertahan. Sekarang saya bergabung dalam pertempuran itu, atau paling tidak demikian saya berharap.


Cara saya bergabung cukup sederhana, melakukan apa yang seharusnya dilakukan: kadang mencari dokter yang pas; kadang mengingatkan Ibu bahwa hal ini bagus dilakukan, dan ini perlu dilakukan, dan hal ini perlu diusir jauh-jauh; kadang menelisik perasaan Ibu yang agak keliru dalam menilai saran dokter. Dan seterusnya, dan sebagainya, dan semacamnya.


Anda tahu, mengobati orang sakit tidak hanya berhadapan dengan virus penyebab sakit, tetapi juga perilaku si orang sakit. Beberapa kali, tindakan orang sakit bertentangan dengan prinsip dasar pengobatan. Hal ini lumrah terjadi terutama bagi orang seperti Ibu yang secara psikis sudah babak belur menghadapi penyakit. Kadang ia gamang ketika obatnya tidak bereaksi, atau si Pak Dokter kurang cocok terkait satu atau dua hal. Pada kondisi seperti itu, tidak jarang ia infantil.


Terlepas dari itu semua, dalam peran saya sebagai prajurit tambahan, saya melihat tembok mental Ibu kadang sekeras batu cor, lalu tiba-tiba serapuh batang lidi. “Nyawa hanya milik Tuhan,” katanya ketika energi religiusnya membuncah. “Saat kau sakit seperti ini, kematian seolah membayangi,” katanya lagi ketika merasakan momen-momen getir. Saran dokter spesialis bahkan tak mampu mengusir perasaan muram. Bahkan tak jarang ia menganggap dokter keliru diagnosis.


Sekali lagi, melawan penyakit adalah satu hal, dan perilaku orang sakit adalah hal lain lagi. Posisi saya, dan kakak, selalu sebagai kompas ketika Ibu kehilangan arah dalam jalur pertarungannya. Dan setelah saya menyaksikan naik-turun kondisi Ibu, saya menyukai kesimpulan ini: ia melengkapi puzzle mental saya, puzzle yang selama ini memang harus muncul dari tempaan keras.


Tiap orang mungkin pernah mengalami saat-saat genting, dan tetap berkepala dingin, tenang, santai, sehingga lebih jernih dalam melihat masalah. Inilah kondisi yang belakangan berhasil saya jajaki. Di tengah merawat Ibu, saya juga harus mengerjakan naskah bersama mentor. Saya mencoba untuk membagi kepala dalam dua hal yang sama-sama perlu dikerjakan.


Secara prioritas, tentu sepatutnya saya mendahulukan kesembuhan Ibu. Tetapi, dulu ketika keluarga mentor saya opname selama satu minggu, ia masih melayani ajakan diskusi saya berjam-jam. Tentu saja saya tidak tahu bahwa keluarganya sedang opname, lantas di akhir diskusi ditutup dengan cerita, “anak saya sedang dirawat, sudah satu minggu.” Saya meminta maaf dalam cara yang paling patut, dan dibalas ucapan penenang: Tidak apa-apa, ini bagian dari etos kerja saya sebagai dosen. Semoga lancar.


Mengingat adegan di atas, saya selalu menanam secuil dendam untuk membalas kebaikan serupa. Dan waktu pembalasan yang sebenarnya tidak saya harapkan telah tiba.


Karena itu saya tetap mengerjakan sesuatu yang harus dikerjakan. Urus Ibu, menulis naskah, mengontrol sekolah di rumah, dan tentu saja mencari tambahan uang. Untungnya, selama menjalani titik episode ini, saya baik-baik saja, meski tanpa memelihara pikiran positif ala motivator, sebuah cara berpikir yang, kata Zander, “...berpura-pura semuanya baik ketika kau tahu bahwa hal itu menyebalkan.”


Itulah kenapa para permikir positif begitu menjengkelkan, katanya lagi. Kau melihat kubangan kejahatan dan mencoba berpikir positif lantas mengulang mantra afirmatif, “bukankah hal ini indah?” Orang yang suka mengumpat mungkin akan membalas singkat: indah ndasmu!


Ada tumpukan manfaat dari berpikir positif, setidaknya ketika ia dilakukan melalui prosedur yang benar. Dan poin ini tulisan tersendiri nanti. Saya hanya ingin mengatakan bahwa mengatasi busai masalah di episode ini, pikiran dan badan masih dapat bekerja optimal, tanpa hasrat sambat di X (Twitter)—sebuah tempat di mana sebagian orang menumpahkan sampah yang akan membuat kita tertular perasaan negatif.


Bagaimanapun, usia saya sudah menanjak menuju 30 tahun. Saya telah melalui miniatur kehidupan orang dewasa, baik ketika saya masih anak-anak, masa remaja, maupun sekarang: kehilangan orang tua, menggawangi organisiasi, menyelesaikan pendidikan tanpa biaya orang tua, patah hati karena wanita, dikhianati teman, menghadapi musuh… sebut semua.


Dan melihat Ibu tetap berdiri setelah riwayat pertempuran panjang ini, membuat ruang mental saya terisi oleh keping sikap bertarung: meski saya stress, banyak mengerahkan pikiran, mengeluarkan energi, semua tampak berjalan dalam rel yang seharusnya. Mau tidak mau, inilah kehidupan.


Kemarin, ketika dokter mendiskusikan hasil diagnosis penyakit Ibu, dan menyarankan langkah-langkah perawatan terbaik, muncul bayangan akan seperti apa fase pemulihan Ibu. Setelah selesai menyimak dokter, saya pergi ke ruang tunggu membuka laptop dan menelpon mentor untuk diskusi dan kami sepakat untuk melakukan perbaikan kecil naskah sehingga perlu sedikit usaha puncak dan tiba-tiba muncul pesan dari seorang kawan yang mengirim pesan pendek: aku stress.


Jika adegan ini terjadi lima tahun lalu, saya bisa meledak.