Belakangan ini saya mendapat banyak pengalaman baru, sambil muncul buntut ketakutan baru: saya makin segan chat dosen. Ketika masih mahasiswa, sebelum mengirim chat pada dosen, saya akan berpikir panjang sebelum mengirimnya, sekarang proses berpikir itu malah makin panjang.
Sejak makin dalam menyelami dunia kampus, saya
mengalami langsung tanjakan-terjal-tugas-pekerjaan dosen. Jika Anda kaprodi,
Anda nyaris tidak punya waktu untuk mengerjakan hal-hal di luar kewajiban
kampus selain menunaikan hajat-hajat hidup. Jika Anda kaprodi yang mayoritas
mahasiswanya bermasalah, baik karena kepribadian mereka atau masalah hidup
mereka, Anda tidak pernah menemukan pintu istirahat di kampus.
Karena itu, saya makin segan mengirim chat kepada
dosen.
Beberapa waktu lalu, saya perlu meminta tanda
tangan beberapa dosen untuk mengurus ijazah. Alih-alih menghubungi dosen
bersangkutan, saya pergi ke bagian akademik, dan bertanya di mana ruangan
terbaru Bu Dosen. Setelah mendapat koordinatnya, saya menunggu di depan ruangan.
Proses menunggu ini saya lakukan beberapa kali sebelum akhirnya bertemu beliau.
Setelah mendapat satu tanda tangan, saya perlu tanta
tangan pamungkas dari Pak Wadir, orang paling sibuk di Pascasarjana. Karena
tahu setumpuk kerumitan yang harus dihadapi Pak Wadir, saya memilih untuk tidak
menghubungi beliau dan langsung menunggu di depan kantor. Pertama-tama, saya
akan mengonfirmasi kehadiran Pak Wadir kepada resepsionis. Jika ia menjawab
bahwa Pak Wadir tidak bertugas ke luar kota, maka saya akan menunggu.
Hingga hari ini, setelah dua pekan, saya belum
berkesempatan menemui Pak Wadir: kadang menguji, kadang keluar kota, kadang
rapat, kadang dipanggil direktur, dan sederet kadang yang lain. Anda mungkin berpikir
kenapa mempersulit diri sendiri, padahal chat dosen untuk konfirmasi itu sudah
hal biasa.
Memang chat dosen adalah hal biasa. Tetapi, seperti
yang sudah saya bilang, Pak Wadir termasuk salah satu orang paling sibuk di
Pascasarjana. Sebagai orang yang sudah mengalami rangkaian kesibukan dosen—meski
saya hanya bertugas bantu-bantu—saya benar-benar segan mengirim pesan kepadanya,
sebab seringkali kesibukan dosen benar-benar tidak manusiawi.
Lagi pula, saya tiap hari pergi ke kampus. Jadi,
jika Pak Wadir sedang bertugas, saya langsung kembali ke fakultas untuk
mengerjakan tumpukan hal-hal yang harus dikerjakan. Jarak ruang Wadir dan fakultas
cukup dekat sehingga saya cukup fleksibel mengambil jalur “ribet menunggu”
seperti ini. Lain cerita jika saya berangkat dari rumah yang berjarak 180-an kilometer.
Di lain episode, saya pernah terlibat mengerjakan naskah
bersama Pak Hendra [bukan nama sebenarnya]—salah satu dosen di fakultas saya. Ketika
itu, Pak Hendra sedang menulis disertasi, dan saya harus melayout beberapa
naskah penting. Karena satu dan dua hal, kami mengerjakan tugas ini
bersama-sama. Ketika itu saya masih PP dari rumah ke kampus, sedangkan
layout naskah ini perlu segera selesai, begitu juga Pak Hendra yang harus merampungkan
naskahnya dalam hitungan jam, sehingga kami menginap di sebuah hotel.
Tentu saja Pak Hendra menghandel urusan pembayaran.
Jadi, satu malam itu kami menghadap laptop
masing-masing. Setelah Pak Hendra selesai mengerjakan naskahnya, Pak Hendra
harus mengirim naskah tersebut paling tidak pada lima dosen penguji untuk tanda
tangan. Jadi, Pak Hendra mengirim satu naskah ke satu orang penguji untuk meminta
tanta tangan. Setelah dosen pertama memberi tanda tangan, Pak Hendra akan
meneruskan naskah itu pada dosen kedua, dan begitu terus hingga nanti dipungkasi
tanta tangan Pak Direktur.
Pak Hendra adalah mahasiswa S3 semester akhir. Dan malam
itu—malam Sabtu—adalah malam terakhir untuk Pak Hendra merampungkan naskah dan
meminta TTD, sebagai syarat mengikuti ujian terbuka. Jika gagal, DO menjadi
konsekuensi di depan mata. Singkat kata, Pak Hendra dihimpit waktu.
“Kenapa nggak kirim saja naskahnya ke semua dosen secara bersamaan. Nanti kita copy semua tanda tangannya. Simpel dan efisien,” kata saya pada Pak Hendra. Dan jawaban Pak Hendra membuat saya terdiam: “Saya merasa lancang, Mas. Lebih baik saya menghadapi konsekuensi terburuk, dari pada saya lancang ke dosen.” Saya menaruh hormat atas pernyataan ini.
Kalimat itu terpatri kuat di dalam kepala saya.
Bahkan pada titik akhir perjuangan hidup-mati mahasiswa doktoral, Pak Hendra
masih menaruh hormat tertinggi kepada para dosennya. Apakah Anda bisa mencerna sikap
Pak Hendra? Padahal, Pak Hendra juga seorang dosen di fakultas. Ia bisa saja
melobi beberapa orang berpengaruh, untuk mempermudah urusan ini. Tetapi jalur
prosedural masih ditempuh.
Siang hari sebelum kami chek in ke hotel, Pak Hendra
masih sempat membimbing mahasiswanya yang akan segera ujian skripsi. “Padahal
saya sendiri dikejar deadline, tetapi ini kewajiban saya,” kata Pak Hendra. Singkat
cerita, malam itu tanda tangan gagal terkumpul, tetapi pihak akademik berhasil
bertarung untuk memperjuangkan Pak Hendra pada hari berikutnya—hari Sabtu.
Sebagai dosen, Pak Hendra tahu betapa banyak tugas-tugas
tidak masuk akal. Itulah kenapa Pak Hendra memilih jalur pelan. Dan, begitu
pula yang saya rasakan. Di tengah kesibukan ini, saya kadang sering oleng menghadapi
chat mahasiswa, meski saya tetap membalasnya.
Dan karena itu, saya memilih menunggu di depan ruangan Pak Wadir.