Setelah membeli
tiket kereta menuju Yogyakarta—tiga hari setelah opname—tubuh saya seperti hendak
ambruk kembali dan membuat bayangan Yogya makin buram. Jika mengikuti kondisi
tubuh, tentu saja seharusnya saya memilih istirahat. “Sembuh dulu. Baru ke
Yogya,” kata Rika. Menatap pesan itu, sambil merasakan kepala seperti diputar
dalam mesin cuci, saya menjawab dengan rumus sebaliknya: nge-trip dulu
baru sembuh.
Pesan terlalu
yakin itu terpaksa saya kirim karena menurut hitungan ingatan saya, bahkan mengandalkan
ingatan yang rapuh, sudah 1001 kali rencana ke Yogya batal. Jika angkanya naik
menjadi 1002, maka Hafif akan hidup dengan keimanan baru bahwa rencana saya ke
Yogya hanya menjadi rencaya abadi yang gagal. Kegagalannya nyaris sepasti bekantan
butuh makan. Angka 1001 saya kira tidak berlebihan mengingat rencana itu ada
sejak 2021, atau sejak 2019 jika mengikuti wacana di sini.
22 Januari saya
pergi ke dokter untuk meminta obat. “Kalau naik kereta saya kira tidak masalah.
Asal jangan telat makan. Tiap lima jam lambung sudah kosong dan harus diisi
meski tidak harus nasi. Saya menjawab akan mematuhi perintah keramat itu supaya
tidak terjadi hal-hal menyusahkan di perjalanan. Dokter bertanya ada acara
mendesak apa di Yogya sehingga tidak bisa ditunda. Saya menjawab ada tugas dari
kampus. Bohong.
Segala ketertundaan
menjadi sirna ketika pukul 08.53, 22 Januari, saya berangkat ke stasiun. Saya
cukup murung karena Anis tidak di Yogya untuk bertemu. Tetapi sesuatu yang
harus terjadi, tetap harus terjadi. Dan begitulah yang terjadi: saya duduk di
kereta selama 10 jam. Tergantung kepala
kita apakah 10 jam di kereta cukup membosankan atau sangat membosankan.
Jika naik
pesawat, durasi 10 jam bisa membuat saya tiba di Jepang, atau Korea Selatan, atau
Saudi Arabia. Tetapi kelas dompet saya hanya bisa mengantar ke Yogya. Selain
itu, saya belum naik level untuk berurusan dengan Jepang, Korea Selatan, dan
Saudi Arabia. Lain cerita soal Yogyakarta. Saya punya beberapa urusan di sana.
Jadi, apa
tujuan saya ke Yogya? Pertama, menunaikan janji untuk bercakap-cakap bersama
teman-teman. Kedua, ziarah makam Buya Syafii Maarif. Hajat pertama
terlaksana begitu saya mendarat di Yogya pukul 20.13. Saya bertemu Rika dan
kami bertukar kabar sambil merasakan kegembiraan sebagaimana wajarnya kawan
lama tak berjumpa. Akhirnya sampai juga, kata saya.
Kami menuju
tempat kerja Hafif, ialah sebuah cafe joglo di mana ia bertugas sebagai barista.
“Semua jenis minuman di sini, aku yang bikin,” kata Rika, merawikan maqalah
Hafif. Belakangan Rika sering menjadi perawi pertama ucapan-ucapan Hafif. Saya
berdiri di depan dapur Pak Barista dan mengucapkan salam singkat dan mengajukan
pertanyaan kabar. Ia tertawa kecil sebelum menjawab… saya lupa jawabannya. Tetapi
ia tampak masih segar dan sehat.
Kami kemudian
duduk bertiga, bertukar cerita singkat mengenai kondisi teman-teman di Yogya.
Hafif mengirim foto kami ke Anis yang WhatsApp-nya sudah bisa dipastikan mati
suri. Mata saya terasa pekat, tetapi rasa ngantuk kalah dengan perasaan
gembira. Baik Rika maupun Hafif mulai merancang rangkaian perjalanan. Mereka
menawarkan Malioboro dan saya menjawab belum ingin ke sana dalam waktu dekat.
“Tujuanku ke
sini ya duduk-duduk seperti ini,” kata saya. Bonusnya adalah pertukaran tawa. Adalah
sebuah kesia-siaan jika bertemu kawan tanpa ada tawa.
Hafif sesekali
kembali bekerja dan saya lebih banyak bertukar cerita bersama Rika. Saya
bertanya tentang tugas akhir yang ia susun dengan kondisi super seksama dan
dalam tempo yang cukup lama. Mencermati ceruk-ceruk ceritanya, saya tahu, ia
berada dalam lingkungan yang tepat. Dosennya menuntut perkembangan, kurikulumnya
mendukung arah pembelajaran dan, yang terpenting, teman-temannya memberi iklim pertumbuhan.
Ia tidak akan mendapat itu di Surabaya.
Lebih jauh, kami
mendiskusikan sesuatu yang cukup serius ketika duduk di musholla Buya Syafii. Kami
bertukar pandangan mengapa ziarah ini perlu dilakukan. Saya berusaha bercertia
pada Rika bahwa kami harus merasa kehilangan sosok berintegritas seperti
Buya Syafii. Meski saya bukan orang Muhammadiyah, saya selalu angkat topi mengikuti
jejak Buya. Bahkan ketika pertama membaca tulisan obituari Hamid Basyaib, mata
saya mengeluarkan aliran sungai kecil. Dan karena tulisan itulah sebenarnya saya
merasa perlu datang ke tempat ini.
Di tempat itu
pula, kami menggarisbawahi bagaimana kami seharusnya memberikan apresiasi
terhadap gagasan orang lain. Bagaimanapun, kami masih seorang pejalan kaki
soal penjelajahan pengetahuan. Menghindari sikap pongah adalah keharusan yang
kadang kami lupakan sebab mudah sekali rasanya menganggap orang lain bodoh
dengan sudut pandang yang kami miliki. Sudut pandang yang seringkali diliputi
oleh bias masing-masing.
Kami mendatangi makam Buya setelah beberapa kali keliru memilih makam. Kami melangitkan doa. Saya, mungkin juga Rika, merasa kagum bukan hanya kepada integritas Buya Syafii, tetapi juga gaya hidup yang ia pilih. Jika saya bisa menulis di sekitar makamnya, saya pasti akan menulis kalimat berikut: di bawah sini terbaring guru bangsa yang menghabiskan usianya untuk kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri.
Ketika keluar
makam, saya masih diliputi haru dan merasa ada cangkang pengetahuan yang
tumbuh: ialah merasa kerdil dan perlu meneladani sikap sederhana Ahmad Syafii
Maarif. Terik matahari yang membakar tangan saya dan membuat warna kulit
seketika belang menjadi harga yang pantas dan terasa murah.
Di hari ketiga
itu—hari Kamis—saya merasakan terik Yogyakarta, juga es kelapa mudanya, dan
bonus durian. Tentu saya harus mengatakan bahwa kebahagaiaan hari ketiga adalah
lanjutan kebahagiaan hari kedua. Hari di mana Rika terpaksa mengikuti jadwal
sarapan pagi saya. “Aku nggak biasa bangun pagi, dan sarapan pagi,” katanya. Kami
menikmati sup ayam yang menjadi bekal energi untuk masuk ke kampus UINSUKA. Kami
terpaksa bolak-balik kampus-percetakan karena salah cetak tesis dan Rika
mengeluh karena kesalahan kecil ini tidak perlu terjadi jika pihak percetakan
becus menggunakan kejelian.
Tetapi, yah… di
dunia ini selalu ada jarak antara apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya
dan siapapun yang mampu mengendalikan diri dapat hidup setenang dan sesantai
burung hantu yang gemar bernyanyi sebelum menyambung hidup. Saya dan Rika
bersepakat untuk bersikap santai terkait keruwetan yang tidak membuat dunia
kiamat dalam waktu dekat.
Meskipun kesepakatan
kami akan naik turun seperti iman.
Setelah dari UINSUKA
dan berkenalan dengan Mas Aldi dan menikmati jalanan mendung Yogya kami
bergeser ke Buku Akik. Saya berani mengatakan itu toko buku paling bagus yang
pernah saya kunjungi. Alasannya sederhana: ia memenuhi preferensi selera saya. Sebab,
nyaris semua daftar penulis buku di sana adalah penulis yang saya tahu. Dari
Murakami, Chomsky, Yusi Avianto, Gabriel Garcia Marquez, dan buku resep makanan
Mustikarasa.
Saya pernah
ingin memiliki buku Mustikarasa, tetapi ketebalannya selalu mengintimidasi
dompet saya. Resep masakan selalu menarik minat mantan koki seperti saya. Meski
demikian, selera makan dan lidah saya tidak terlalu rewel. Ia mengenal dua rasa:
enak, dan enak sekali. Pecel lele Mbak Tari terasa sangat enak, dan pecel lele
lain terasa enak. Yogya seperti surga pecel lele.
Dalam pada itu [saya
suka istilah ini], o, saya lupa tidak bertanya ke Nadia mana kuliner yang perlu
saya kunjungi. Mungkin, pertanyaan itu terasa tidak penting setelah menyadari
bahwa bertemu Nadia dan Gus Azuma cukup sulit. Dan hari kedua itu kami berhasil
duduk melingkar bersama. Terima kasih Nadia dan Gus Azuma yang berkenan berbagi
jadwal dan membahayakan diri pulang larut ketika kaca mata Gus Azuma sebagai
pengemudi sangat gelap.
Karena dua
hajat di atas sudah terpenuhi, keluyuran lain di Yogya hanya bersifat bonus. Saya
merasa cukup santai untuk memutuskan di hari Jumat tidak pergi kemana-mana,
selain bertemu Mas Diki—tetangga dekat rumah. Itu pertemuan bonus, sebenarnya,
dan membuat kepala saya makin ringan. Obat sudah ditinggalkan.
Malam Sabtu,
setelah makan pecel lele paling enak, saya mengajak Rika untuk berkeliling
sebentar. Setelah melalui jalanan di sekitar Gramedia, saya merasakan perbedaan
lampu kota Surabaya dan Yogya. Yang pertama glamor, yang kedua romatis. Ini tentu
penilaian umum yang bisa salah. Sebegitu berkesan jalanan Yogya membuat saya meminta
mengulangi rute awal. Kami kembali memutar untuk merekam, tetapi Rika keliru
mengambil haluan.
Kami kembali
memilih memutar demi sebuah video, dan berhasil kembali ke rute awal, tetapi
Rika gagal merekam. Tentu saja kami memilih menertawakan kekonyolan ini dan
kembali pulang. “Sumpah tadi udah aku pencet tombol yang benar,” kata Rika. Kami
langsung memilih tidur. Dan saya selalu tidur nyenyak karena Hafif menyuruh
saya tidur di spring bed-nya Mas Fachri. Kadang saya merasa bersalah karena
tidak izin dan beberapa kali memilih tidur di bawah. Terima kasih dan maaf
untuk Mas Fachri—semoga ejaan ini benar.
Hari Sabtu,
karena Rika khawatir saya hanya duduk-duduk di kamar Hafif—dan memang itu yang
terjadi—ia mengajak saya ke sebuah danau. Kami berkeliling dan menikmati air
mancur plus ibu-ibu berjoget tiktok yang gerakannya kaku karena, mungkin,
menjaga tulang mereka. Seorang murid di rumah izin tidak masuk sekolah dan
pesan itu mengingatkan bahwa saya harus mengajar online.
Saya berhasil menyelesaikan
tugas mengajar sambil kembali ke Joglo untuk menunggu Hafif bangun. Siang itu
kami menunaikan rencana pergi ke keraton. Di jalur sekitar Malioboro, saya bertanya
pada Hafif mengapa orang-orang suka berfoto di depan logo BNI. “Bukankah itu
hanya bank BNI sebagaimana BNI lainnya?” tanya saya.
Kami masuk ke keraton, menikmati suasana kerajaan kuno. Setelah berkeliling barang beberapa menit, kami duduk-duduk di bawah pohon ketapang teduh. “Jompo dulu,” kata saya. Di manapun tujuannya, selama kota ini, duduk-duduk terasa seperti menu utama, dan duduk di tengah keraton tentu berbeda dengan duduk di kamar rumah. Bagi saya Yogya seperti terbuat dari duduk-duduk sambil membincang banyak hal seolah tak ada batasan waktu. Inilah cara bersenang-senang ala Cesar Vallejo, pikir saya.
Kami mengambil
potret bertiga sebelum beralih ke ruangan berikutnya, ialah ruangan berisi foto
Sri Sultan. “Itu nggak mau difoto, Cak?” kata Rika sambil menunjuk lima lakon
wayang. Saya menggeleng dan menjawab tidak perlu foto, sambil mengambil ponsel
untuk mengambil gambar lima lakon wayang. Ini lelucon internal kami. "Nggak mau ke toilet, Cak?" tanya Hafif. Saya menggeleng sementara beberapa saat kemudian menuju toilet.
Berkeliling di siang
hari membuat kerongkongan kami kering lantas muncul bayangan es jeruk. Hafif
menawarkan es cokelat dan kami sepakat bahwa es cokelat pada saat terik akan
terasa enak. Setelah menikmati es cokelat terbaik di Yogya, kami melangkah ke Alun-alun
Kidul untuk mencoba sebuah mitos: jika berhasil berjalan lurus melewati jalur
tengah di antara dua gapura—dengan mata tertutup—hajatnya qabul.
Saya gagal. Rika
gagal. Hafif berhasil. Meski demikian saya punya harapan baik di masa mendatang:
dapat berkunjung ke Yogya dengan suasana pertemanan seperti ini, yang membuat hari
Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu, terasa sebagai hari kegembiraan.
Malam terakhir
saya tidak pergi kemana-mana, kecuali terjebak hujan di bawah jembatan besar
sambil menikmati, sekali lagi, pecel lele. Sesekali malaikat mengambil potret
dengan flash otomatis dari langit. Setelah hujan reda, Joglo menjadi tempat membunuh waktu, menyimpulkan
kembali apa yang harus kami rencanakan di masa mendatang. Obrolan malam itu, jika diteruskan, tidak akan
berujung dan kami harus mengalah istirahat mengingat kereta pagi tidak akan memberi
syafaat bagi mereka yang telat.
Untunglah saya dan Rika berhasil memasuki kereta 7 menit sebelum keberangkatan. Dan, ya, saya menuju Surabaya. Akhirnya bayangan Yogya tidak buram, tubuh saya gagal ambruk meski menanggung berat oleh-oleh kegembiraan.