Saya mengagumi Bu Par [dan orang-orang seperti Bu Par] meski ia bukan seorang selebritis yang mahir akting plus berparas menarik atau seorang ilmuan yang melahirkan karya berpengaruh bagi kemaslahatan umat manusia. Kekaguman itu tumbuh begitu saja saat pertama kali saya bercakap-cakap di tempat kerjanya—desa Sukarara, Lombok. Bahkan itu satu-satunya percakapan yang kami lakukan dan, saya yakin, Bu Par telah melupakan saya yang tak memperkenalkan diri.
Saya datang ke
Sukarara bersama rombongan, empat bus. Begitu turun dari kendaraan, Bu Par
sedang khusuk bekerja membuat untaian benang-benang terjalin tahap demi tahap
menjadi kain. Ia penenun, penenun yang fokus. Jadi, saat ada banyak turis berkunjung
ia akan tetap dalam kondisi menenun—tanpa peduli siapa yang datang dan pergi. Kebetulan
titik yang kami kunjungi tidak terlalu luas, terdiri dari bangunan adat suku Sasak dan toko aksesoris yang dilengkapi dua penenun yang berada di halaman toko, seperti
etalase dari manusia.
Dari ratusan anggota
rombongan, kami terpecah. Beberapa menyerbu bangunan suku sasak, sebagian
memasuki toko untuk berburu oleh-oleh, sebagian tak memiliki tujuan, sebagian
hanya berdiri melihat dua ibu penenun. Di samping tempat duduk Bu Par, ada
pemandu bermikrofon yang menjelaskan ihwal adat penenunan, yang paling saya
ingat adalah para penenun tidak membuat outline motif. Jadi mereka mengambil
alat tenun dan langsung menenun begitu saja, seolah membuat motif rumit dan
detail seringan sarapan pagi.
Bagi yang ingin
mencoba, Bu Par akan bergeser dan memberi instruksi dasar bagaimana membuat jalinan benang terajut menjadi kain.
Saya melihat seorang professor tertarik dan meminta tempat pada Bu Par. Setelah
mencoba beberapa gerakan, ia turun lantas mengambil foto bersama. Melihat Bu
Professor, beberapa orang mengambil barisan menunggu giliran serupa. Makin lama
antrian makin panjang. Saya mengambil posisi di depan Bu Par, menunggu suasana
sepi untuk bercakap-cakap.
Seorang kenalan baru
dari Makasar berbisik bahwa di tempatnya juga adat penenunan serupa,
bahkan alatnya nyaris identik. “Anda bisa menenun?” kata saya. Ia menjawab
tidak bisa karena lebih tertarik pada fotografi, yang hobi ini membawanya ke
Lombok ketika itu; menjadi perwakilan dari kampusnya untuk memotret momen-momen
penting. “Saya humas kampus,” katanya saat memperkenalkan diri.
Kami bertukar
pertanyaan-pertanyaan tak penting dan sesekali ia diganggu oleh permintaan
orang, “Tolong fotokan sebentar.” Permintaan yang ia terima semakin banyak lantas
saya bergeser masuk ke toko, beberapa kenalan meminjam kain untuk mereka
kenakan di depan bangunan adat Sasak. Kemudian tentu saja sebuah potret wajib
diambil. “Pinjam kain gratis, ambil foto juga gratis,” kata penjaga toko. Pemandu
wisata mengingatkan lebih sopan jika memberi beberapa rupiah.
Setelah kembali
keluar dua penenun sudah tidak dikerumuni banyak orang. Saya bertanya nama dan
ia menjawab singkat: Par. Ia kembali menjawab usia 75 tahun.
“Ibu asli dari
Sukarara?”
“Ya, lahir di sini.”
“Pendengaran masih
jelas ya, Bu?”
“Alhamdulillah.
Masih,” jawabnya sambil tersenyum dan tetap fokus.
“Penglihatan juga?”
“Alhamdulillah.”
Saya mengucapkan
turut senang karena di usia 75 kesehatannya masih purna, kontras dibanding
kerutan wajah yang sudah pasti tak bisa ia lawan. Ia menanggapi dengan mengucap
tahmid ditambah syukur telah diberi usia panjang dan tubuh sehat. Selama
percakapan berlangsung ia hanya menjawab pendek-pendek dan saya kira karena
kosa kata Bahasa Indonesianya terbatas.
“Ibu tinggal di
mana?”
“Dekat sini saja.”
“Jalan kaki kalau
kerja.”
“Iya.”
“Di rumah tinggal
sama siapa?”
“Sendiri. Anak-anak sudah
menikah dan ikut pasangan.” Kalimat itu ia ucap sambil tertawa kecil. Wah,
nenek 75 tahun ini tinggal sendiri, pikir saya takjub. Suami mungkin meninggal,
tetapi saya tidak bertanya. Jadi pertanyaan-pertanyaan berikutnya berkutat seputar
aktivitas yang ia lakukan. Tutur Bu Par, karena tinggal sendiri, maka ia masak
sendiri, bebersih sendiri, belanja sendiri. Saya bertanya apakah ia kuat
mengangkat beras ketika belanja dan ia menjawab sangat kuat.
“Ibu berangkat kerja
jam berapa?”
“Sekitar jam 7.
Pulang jam 4 sore.” Saya menaruh rasa penasaran berapa upah sembilan jam
bekerja. Pertanyaan soal gaji sangat tidak sopan tetapi Bu Par jelas bukan
orang modern yang memelihara tabu ini. Setelah kondisi lebih sepi saya makin
mendekat dan nekat bertanya berapa upah yang ia terima. “20 ribu,” katanya.
Membuat mata saya sedikit membelalak dan buru-buru ia timpali, “Kalau ada kain
terjual dapat bonus.”
Untuk membuat satu
kain berukuran sajadah, Bu Par butuh waktu sekitar 6-7 hari. Rata-rata kain
dijual 200-300 ribu. Berarti ongkos untuk penenun 140 ribu. Harga yang pada
awalnya terasa cukup mahal di kantong sekarang menjadi masuk akal, bahkan
tergolong cukup murah. Tetapi, 20 ribu selama sembilan jam adalah... entah kita
harus sebut apa.
Padahal Pak Bono,
pemandu wisata kami, bercerita bahwa wanita Sasak dianggap siap menikah hanya
jika mereka mampu membuat kain tenun, sebab menghasilkan kain butuh teliti,
fokus, dan sabar. Tiga poin ini dianggap ciri kedewasaan sehingga mereka siap
membangun rumah tangga. Biasanya, kain tenun yang mereka hasilkan menjadi
seserahan pada pihak lelaki.
“Ibu bisa menenun
sejak usia berapa?”
“Sekitar 13 tahun.”
Rasa kagum saya makin
tercurah padanya. Namun 20 ribu tetap mengganggu. Jadi tiap ada ibu-ibu atau
bapak-bapak merapat, saya akan menjadi juru cerita bahwa selama sembilan jam ia
hanya mendapat upah sekian. Beberapa kali para pendengar menaruh rasa iba—atau
kagum—dan mengambil uang untuk Bu Par. Di sebelah Bu Par ada penenun lain yang
sayangnya tak sempat saya ajak berbincang karena waktu terbatas.
“Ibu senang bekerja
menenun?” tanya saya serius. Ia menoleh pada saya, kalimatnya tampak tertahan,
seperti memikirkan apa yang harus dikatakan. Atau mungkinkah ia tak pernah
menerima pertanyaan seperti itu? Matanya sedikit berbinar dan tersenyum sebelum
menjawab: Ya, sangat senang. Ah, di telinga saya jawaban itu terdengar
melegakan sekaligus ganjil.
Di dunia ini ada
orang yang terus melakukan sesuatu tak peduli apakah ia menikmati atau tersiksa, sebab alasan utama adalah mundur tidak dapat menjadi pilihan. Dalam kondisi Bu Par, ia
tetap harus bekerja dengan upah kecil atau tak bisa melanjutkan hidup. Bu Par
memilih melanjutkan kehidupan yang dalam bayangan saya begitu sunyi, begitu
khusyuk. Dan ia bahagia, setidaknya saya menebak begitu—dan cukup yakin—karena
sorot mata berbinar dan nada suara yang bersemangat saat ia mengucap “sangat
senang.”
Dalam bayangan saya,
Bu Par tampak seperti Sisyphus: sosok mitologis Yunani yang dihukum mengangkat
batu besar ke atas bukit sepanjang hayat. Bu Par mungkin tidak mengangkat batu,
ia hanya menenun, mungkin menenun sampai akhir hayatnya. Kata Albert Camus,
orang harus membayangkan Sisyphus bahagia. Untungnya saya tak perlu
membayangkan Bu Par bahagia—dengan seluruh kesendirian yang ia jalani—sebab ia
sudah berbahagia sebagaimana ia mengaku.
Karena itu saya
mengaguminya.