Jumat, 18 Februari 2022

Humanisme, Sinisme, dan Soal Pertemanan

Definisi serampangan tentang teman dapat menjebak kita untuk mendekam di dunia dalam versi yang tidak ingin kita tinggali. Tidak dapat dipungkiri, paham humanis membawa perubahan sosial hebat: Kita memiliki keabsahan untuk meletakkan diri sendiri di atas segalanya. Sebagai gambaran, saya akan kutip beberapa premis penting tentang humanis-lebertarian. Anda bisa melacak kutipan ini di Homo Deus-nya Yuval Noah Harari:


·       # Semesta berputar dengan manusia sebagai porosnya, dan manusia adalah sumber inti dari segala makna dan otoritas.


·        # Manusia harus menarik pengalaman dari dalam diri mereka, tidak hanya makna kehidupan, tetapi juga makna seluruh jagat raya.


·        # Humanisme mengajarkan bahwa sesuatu buruk jika menyebabkan seseorang merasa tidak senang.


Pandangan ini, lebih jauh membentuk paradigma di berbagai lini—masih saya kutip dari Homo Deus:


·         # Politik humanis: Pemilihlah yang paling tahu siapa yang harus mereka pilih.


·         # Ekonomi humanis: Pelanggan selalu benar.


·         # Estetika humanis: Keindahan ada dalam sudut pandang penonton (buah pisang dan kloset pernah ditahbiskan sebagai karya seni. Sila googling jika minat).


·         Etika humanis: Jika terasa baik, lakukanlah!


·         Pendidikan humanis: Berpikirlah dari dan untuk anda sendiri!


Pertanyaannya, apa implikasi pandangan humanis di wilayah sosial-pertemanan?


Karena kredo humanis menempatkan sisi manusia sebagai penentu sentral, kira-kira wajah pertemanan dapat digambarkan seperti ini: Teman adalah mereka yang mendukung seluruh kepentingan kita, apapun kondisi kita. Supaya lebih jelas, izinkan saya menjelaskan lebih lanjut.


Di Instagram, saya pernah menemukan ungkapan, bahwa ketika kita berjuang, hanya segelintir orang yang mendukung kita. Sedang jika kita telah berhasil, seluruh kenalan seperti menunjukkan tepuk tangan mereka. Yang dikatakan “teman” adalah segelintir orang yang mendukung perjuangan kita di awal. Dari banyak kemungkinan tafsir posting tersebut, di kepala saya muncul kesimpulan, apakah kita perlu dukungan seluruh kenalan kita? Dan jika mau adil, apakah kita sudah memberikan dukungan kepada seluruh kenalan kita?


Tidak. Kita hanya mendukung segelintir orang juga, ialah orang-orang terdekat kita. Jika kita hanya mendukung segelintir orang saja, mengapa kita seolah “menuntut” orang-orang melihat dan mendukung fase perjuangan kita? Jika menyangkut diri sendiri, kita ingin berada di titik sentral, sedangkan berkaitan dengan orang lain, kita seperti tutup mata. Standar ganda, eh?


Posting di IG itu mungkin memberi motivasi untuk berjuang di dalam hening, dan untuk menormalisasi proses perjuangan yang memang berat, serta ditanggung sendiri. Tetapi, melihat komentar pada warganet, secara implisit mereka berpandangan bahwa tepuk tangan yang datang diakhir itu adalah kekeliruan. Mereka menganggap bahwa tepuk tangan banyak orang adalah hasrat untuk menjilat, dan, karena itu, harus hati-hati.


Selain IG, di Twitter juga banyak ungkapan-ungkapan normalisasi sikap selfish, bahwa kepentingan kita nomor satu, di atas kepentingan orang lain. Di atas kepentingan kawan, tentu saja. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari semangat ini. Kita memang harus mementingkan urusan pribadi sebelum beralih membantu orang lain.


Masalahnya, ungkapan di Twitter ditujukan untuk orang-orang spesifik, ialah kawan yang menghisap kita; ialah kawan yang menghambat perkembangan kita. Itulah pesan intinya. Tetapi entah kenapa narasi-narasi di Twitter menjadikan pergeseran definitif tentang teman dan, pada titik tertentu, membuat mental orang-orang makin “melemah”. Tiap ada kawan melawan kepentingan, dilabeli toxic. Mudah sekali melempar toxic.


Orang lain toxic atau kita yang idiot dan egois dan bersembunyi dibalik tuduhan toxic? Barangkali tindakan mereka memang bertentangan dengan kepentingan kita, tapi... ayolah, siapa yang menjamin sikapnya bukan karena ulah kita lebih dulu? Atau bahkan kepentingan kitalah yang keliru, dan sikap kawan yang tampak “bertentangan”, ternyata lebih tepat.


Well, pada faktanya, paradigma selfish telah umum. Lalu sinisme muncul di mana-mana. Kepercayaan satu orang pada orang lain kian menurun.


Jamil Zaki dalam ceramahnya menunjukkan studi menarik. Di Brazil Tenggara, terdapat dua desa yang dipisahkan jarak beberapa kilo meter. Sumber ekonomi penduduk setempat adalah mencari ikan. Bedanya, desa pertama mencari ikan di tepi laut, menggunakan peralatan besar, dan butuh banyak tim, sehingga mereka bekerja sama. Di desa kedua, penduduk mencari ikan di danau, tanpa kelompok. Mereka bersaing satu sama lain.


Setelah peneliti melakukan riset panjang, ditemukan hasil bahwa masyarakat di desa pertama lebih dapat percaya orang asing. Penduduk desa kedua, sebaliknya, menunjukkan perangai waspada, dan memilih tidak percaya. Menariknya, kedua desa ini pada awalnya adalah satu komunitas yang sama. Dunia sosial membentuk kita, seperti cetakan tanah liat membentuk kerajinan-kerajinan. Dunia kita bisa mencetak manusia penuh energi positif, atau energi sinis.


Saat ini, barangkali kita telah tinggal di pinggir danau, seperti penduduk desa kedua. Orang sinis cenderung menolak keintiman dan kerja sama. Mereka menyakiti orang lain agar tidak disakiti. Mereka memata-matai orang lain dan selalu merasa curiga. Mereka mudah bertindak egois sebagai tanggapan.


Bayangkan, jika seluruh penduduk desa bertindak seperti itu, tidakkah mereka menciptakan kondisi yang mereka takuti? Si A curiga pada si B dan si C, si B curiga pada si A dan C, dan si C curiga pada si A dan B. Siapa yang salah? Mereka semua salah! Mereka sendiri yang menciptakan kondisi curiga yang sebenarnya mereka benci. Mereka tidak menyadari bahwa mereka biang keladi dari kondisi itu, alih-alih, mereka menganggap orang lain sebagai sumber masalah.


Itulah kondisi yang disebut Jamil Zaki sebagai jebakan sinisme.


Definisi pertemanan hari ini, bagi saya, menyempit ke arah sinisme, dengan cara kerja yang sama. Masing-masing kita mengunggulkan kepentingan pribadi, demi untuk tidak disikut oleh kepentingan orang lain. Pada akhirnya, kita membatasi pertemanan kita. Padahal, pengertian teman cukup longgar.


Teman bukan ia yang selalu dapat berkumpul dengan kita, sebab pilihan hidup mengharuskan badan mereka berada di belahan bumi lain. Teman bukan ia yang selalu merayakan ulang tahun kita, sebab apa arti ucapan ulang tahun tanpa kehangatan sikap satu sama lain ketika bertemu, di samping melupakan hari ulang tahun adalah hal wajar—banyak hal penting lain yang harus diingat dan menyangkut kemaslahatan lebih besar ketimbang ulang tahun kita.


Teman bukan ia yang memusuhi musuh kita, sebab ia bukan alat penyebar kebencian kita. Teman bukan ia yang menyukai orang yang kita sukai, sebab ia berhak membenci orang yang kita sukai. Teman bukan orang yang harus selalu hadir ketika kita butuh, sebab mereka bisa jadi sedang menghadapi masalah yang lebih berat. Teman tidak harus selalu mengapresiasi kesuksesan kita—dengan ucapan selamat atau semacamnya, sebab boleh jadi mereka sedang bergulat dengan urusan hidup mati mereka.


Teman bukan ia yang kita definisikan sesuai dengan kepentingan kita.