Kamis, 27 Februari 2020

Aktivitas Saya


Saya banyak menerima pesan bertulis: “Sibuk nggak?”. Seringkali pesan semacam itu membuat saya terpatung, sedikit jengkel, dan bingung hendak dijawab bagaimana. Syukur pesan itu belum membikin sakit perut, kejang-kejang, atau asam urat.

Pesan itu, sekali lagi, susah dijawab. Atau setidaknya gampang-gampang susah. Karena menyangkut apa yang saya anggap penting dan tidak penting. Pertanyaan itu ingin saya jawab dengan sedikit panjang, maka saya menulis catatan ini: tentang aktivitas sehari-hari saya.

Baca Buku

Sebagaimana umumnya manusia normal, saya bangun di waktu pagi, di sebuah kamar yang tak terlalu luas, tapi bagi saya sangat mewah, karena banyak buku. Dan dengan buku-buku itu saya memulai aktivitas, bukan cuci muka dan gosok gigi. Tentu saja kadang saya membuka hp—jika sedang khilaf. Dulu hal ini menjadi kebiasaan, sebelum saya berjanji mengubah kebiasaan ini saat tahun baru kemarin. Begitu bangun tidur—demikian ikrar saya, hp bukan benda pertama yang saya sentuh. Tapi buku.

Dan kadang saya khilaf.

Buku termasuk hal penting bagi saya, tunggu, bukan karena saya bocah rajin yang akan ngoceh bahwa membaca buku dapat mengubah kehidupan umat manusia—meski saya setuju, tapi karena saya memang suka membaca dan saya tak punya banyak teman. Sejak kecil entah mengapa teman saya sedikit, jadi saya berteman dengan buku. Karenanya, membaca membawa energi positif bagi saya, selain untuk menambah pengetahuan, ia menjadi sarana untuk tidak merasa kesepian. Buku yang baik serupa pelukan Mbakyu di tengah kedinginan malam. Yeah, pelukan dan...

Sori, fantasi saya kadang memang tidak jelas. Saya tahu, seharusnya saya istighfar, tapi saya sering lupa, terutama ketika menyangkut pelukan mbak-mbak.

Kembali lagi soal buku, saya memiliki peraturan kecil: harus membaca di atas 50 halaman tiap hari. Dulu bahkan 100, tapi saya keteteran karena sering alih profesi jadi supir. Terpaksa saya turunkan angkanya, minimal di atas 50, syukur kalau menyentuh 100 halaman atau lebih. Dan ternyata masih tak jauh dari target awal. Peraturan itu saya terapkan karena koleksi buku saya cukup banyak, setidaknya menurut saya. Di kamar hampir ada 2000-an judul buku, separuh buku kepunyaan dosen. Dan kemungkinan masih akan saya tambah.

Setidaknya ada 1000 eksemplar buku yang harus saya baca. Jika dalam sepekan saya menghabiskan dua buku, dalam satu bulan bisa delapan, setahun 96. Dengan perhitungan lain, saya butuh waktu 10 tahun untuk melahap 1000 buku! Padahal jumlah buku akan akan saya tambah. Belum lagi buku di perpus online: Ipusnas, yang mungkin memuat ratusan ribu judul buku. (Bagi yang belum punya saya sarankan segera install. Jika kau termasuk pecinta buku, banyak buku bagus di sana.)

Itu baru soal baca buku, padahal hidup bukan hanya soal baca buku.

Belajar Menulis

Saya masih belajar menulis, terutama menulis kalimat. Karena kalimat adalah senjata utama penulis, ia menentukan apakah tulisan akan dibaca sampai selesai atau akan berakhir dengan umpatan. Jadi, saya masih belajar menulis kalimat.

Itu bukan perkara mudah. Banyak para penulis memakan waktu bertahun-tahun hanya untuk belajar bagaimana menulis kalimat yang memikat. Padahal mereka penulis yang menurut saya tergolong berbakat. Jadi, jika mereka melewati bertahun-tahun untuk belajar menulis, entah berapa waktu yang saya butuhkan untuk bisa semahir mereka.

Meski demikian, saya tetap belajar, setidaknya, saya sudah memulai. Menurut As Laksana, penulis yang telah hebat tidak berhenti melatih dan menempa diri, mereka terus berlatih dan belajar. Saya harus belajar.

Kadang menulis kalimat menjadi soal yang rumit. Saya bisa duduk dua jam di depan laptop—menghabiskan segelas susu, dan segelas lagi, dan masih belum lahir kalimat bagus. Saya bikin susu dan menulis lagi. Bersenang-senang lagi. Berlatih lagi.

Setelah cukup melatih, dan belum menghasilkan kemajuan, biasanya saya akan menggarap beberapa tulisan dari dosen. Banyak tugas mereka saya bantu tuliskan. Bahkan baru-baru ini saya diminta mengedit belasan tulisan yang akan dimuat di jurnal fakultas saya. Dan itu cukup membuat saya berlama-lama di depan laptop, karena aktivitas ini yang menambah pundi-pundi rekening..

Intinya, selain belajar menulis, saya sudah cukup ngawur berani mencari uang dari menulis asal-asalan: mengerjakan tugas atasan atau mengedit atau... yeah, semacamnya. Dan itu menjadi rutinitas sehari-hari. Setidaknya hingga beberapa bulan ke depan.

Sambil lalu, saya menulis catatan-catatan di laptop. Sebagian saya baca sendiri. Sebagian saya posting di sini. Saya bersyukur, meski masih belajar menulis, saya masih bisa bersenang-senang karena kebiasaan menulis. Beberapa kawan berkenan datang ke sini. Membaca apa yang saya tulis. Merasakan kegelisahan saya. Menemani kehidupan saya.

Dua kegiatan di atas: membaca dan menulis, adalah aktivitas utama saya. Besar harapan ini akan menjadi pekerjaan saya, hingga bertahun-tahun mendatang. Saya benar-benar menikmatinya. Saya tak tertarik mengikuti workshop, seminar, atau semacamnya. Menurut saya, hal itu akan berguna besar jika saya memiliki bacaan banyak. Bahkan di kelas perkuliahan kita tak bisa banyak bicara jika tak memiliki bahan bacaan. 

Kalau boleh jujur, semua workshop dan kelas perkuliahan yang saya ikuti, tidak lebih membentuk saya ketimbang proses menempa diri yang saya jalani secara mandiri.
Oh, saya tidak bermaksud sombong. Saya ingin menegaskan bahwa menikmati belajar harus dilatih. Agar kita terbentuk dari kebiasaan ini. Tanpa terlalu bergantung pada workshop maupun kelas perkuliahan.  

Membalas Chat

Seperti yang saya ceritakan di sini, membalas chat termasuk aktivitas saya, setidaknya hingga kawan-kawan saya lulus kuliah. Karena umumya chat itu adalah soal skripsi mereka. Saya menyediakan diri untuk menjadi teman diskusi, meski saya tak menyediakan solusi problem mereka, saya berharap sudah sedikit membantu.

Saya harap tidak dianggap keminter, sok pintar, gara-gara terlibat diskusi dengan mereka. Harus saya akui, saya masih akan terus berusaha belajar, dan mereka perlu tahu itu, agar tidak terlalu menjadikan acuan saran yang saya berikan.

Membalas chat kadang butuh kesabaran tersendiri. Juga hiburan tersendiri. Di antara mereka mengirim chat dengan cara bertele-tele, tidak to the poin. padahal cukup banyak hal yang saya kerjakan, masih banyak pesan yang perlu saya respon. Karenanya, saya melewati pesan yang tidak to the poin. Tentu saja tidak masalah jika memang mereka berniat menyapa ringan atau semacamnya. Tapi selama menyangkut diskusi, saya suka langsung pada poin inti.

Saya membalas diskusi mereka dengan perasaan ngeri-ngeri konyol, saya meladeni pertanyaan soal skripsi mereka, memberikan masukan dan solusi, padahal saya sendiri belum mulai nulis skripsi. Itu seperti diminta solusi atas problem suami-istri, padahal saya masih jomblo. Hahaha.
Semoga saya tidak menyesatkan.

Di luar diskusi, chat dari kawan-kawan kadang juga banyak. Dan tak sedikit mereka menghibur dengan pertanyaan konyol, “Sampean pernah jatuh cinta?”, “Beneran suka ke dosen A?”, “Kamu pakai susuk, ya?”, “Bagaimana rasanya melihat mantan punya anak?”, “Bagaimana menertawakan kejombloan diri sendiri saat kawan lain sudah memajang foto pernikahan di medsos?”

Oke, yang terakhir saya tulis sendiri.

Di sela kesibukan baca-tulis, membuka ponsel adalah kelaziman, kalau bukan kewajiban. Dari ponsel, terutama dari chat, saya dapat mengerti kabar kawan-kawan. Dari story yang mereka unggah, saya bisa tahu aktivitas mereka, tanpa harus mengganggu dengan bertanya mengirim pesan.

Dan dari grup, saya bisa melihat soal apa yang diributkan para kenalan saya. Yang bikin adem panas, grup kawan pecinta vespa. Saya masuk grup ini karena dulu punya vespa. sekarang tidak. Yang tersisa hanya grup WA. Grup ini hampir selalu ramai, tak dibuka dua hari pesan sudah ribuan. Saya cukup enggan membuka grup ini karena... mereka—orang-orang dewasa—gemar mengirim foto wanita nyaris tanpa pakaian.

Saya tahu, tentu saja seharusnya saya istighfar saat melihat foto semacam itu. Tapi saya sering lupa, terutama saat di grup sialan ini.

Saya hanya seekor bocah. Bocah yang normal. Ya, nanti saya istighfar.

Masak

Aktivitas belajar dan menulis di atas bisa dibilang bisa saya lakukan di kamar. Tanpa harus keluar disentuh matahari. Selama ada buku, dan laptop, dan koneksi internet, saya mampu tak keluar berhari-hari. Karena saya adalah manusia kamar. Atau bocah rumahan. Tapi saya butuh makan. Untuk meminimalisir keluar sarang, karena ngopi dan jalan-jalan sebagaimana nanti saya ceritakan, saya masak sendiri.

Makan saya tidak ribet, yang penting ada sayur di kulkas, ikan tuna kecil, dan telur, sudah cukup. Saat sibuk, setelah menanak nasi, mungkin saya hanya butuh sebutir telur untuk lauk sarapan. Kadang ditambah ikan tuna. Dan kerupuk tentu saja. Soal makanan yang dimasak sendiri, selera saya tidak ribet. Saya bersyukur soal itu.

Tapi saat lumayan senggang, saya akan masak sedikit “bermutu”, ada sayur, lauk, sambal, dan seperangkat penghias meja lainnya.

Jalan-jalan & Ngopi

Saya harus jalan-jalan karena saya seorang supir, setidaknya hingga sekarang. Saya harus ngopi—meskipun di warkop pesan es susu—karena melepas rindu pada kawan-kawan.

Sering saat nyupir, perjalanan yang ditempuh berratus-ratus kilometer. Menguras tenaga dan waktu. Untuk itu, selain keperluan nyupir, saya meminimalisir keluar kamar, karena hal itu hanya akan menumpuk pekerjaan nulis.

Selain itu, ngopi, lebih tepatnya nongkrog bareng kawan-kawan, juga menjadi pemicu bagi saya untuk keluar sarang. Kadang karena diminta membaca skripsi kawan-kawan, kadang dimintai masukan lebih lanjut dari chat, karena interaksi chating begitu terbatas, kadang mendengar keluh kesah mereka soal patah hati.

Jika menyentuh persoalan di luar diskusi maupun skripsi, saya hanya akan sibuk mendengarkan, tak baik menasihati jika tak diminta, bahkan diminta pun saya mungkin menolak ngoceh. Intinya saya hanya diam, ngoceh di saat mereka sedang galau—jika tidak tepat—akan membuat seolah kita menganggap remeh persoalan mereka. Bukan hal baik.

Saya menyediakan waktu—dengan konsekuensi menumpuk pekerjaan di kamar—untuk menemani mereka. Tak apa, selama mereka merasa lebih baik. Toh sesekali kadang saya butuh teman ngobrol.

***

Begitulah, saat bangun tidur saya akan bersentuhan dengan buku, hingga suntuk. Kemudian mulai menulis, menyiapkan makanan kecil, membaca lagi, menulis lagi, belajar lagi. Kadang harus nyupir dan sesekali ngopi. Saya bingung jika ditanya sedang sibuk atau tidak.

Tabir


Agama, juga cinta, kadang membuat kita punya alasan untuk tidak berbahagia.

Minggu, 23 Februari 2020

Pesan dari Sepupu

Sepupu saya mulai sering membaca. Ia minta dibawakan oleh-oleh novel. Saya suka melihat perkembangan ini. Biasa membaca atau tidak itu urusan pribadi, dan saya tak acuh apakah orang dekat saya gemar baca atau sebaliknya. Tapi sepupu saya termasuk pengecualian, saya peduli padanya. Karena bagaimanapun, membaca bukan kebiasaan yang diajarkan di sekolah. Apalagi menulis.

Dan mendapati ia suka baca membuktikan kemandirian belajar.

Dalam kelas sekolah, biasanya memang terdapat satu atau dua murid yang belajar tanpa menunggu instruksi guru, mereka selalu mengambil langkah lebih dulu, umumnya mereka bocah-bocah pintar. Saya harap sepupu termasuk di dalam golongan ini.

Baru-baru ini ia mengingatkan via chat, “Kak, kalau pulang lagi jangan lupa oleh-oleh novel. Kalau bisa Tere Liye.”

Lama saya berpikir untuk menjawab pesan itu. Saya ingin ngoceh padanya tentang banyak buku. Tentu saja buku yang menurut saya bagus. Buku David J. Schwartz dan Dale Carnegie sepertinya wajib ia baca, jaga-jaga suatu saat ia ada di kondisi terburuk kehidupan, buku itu dapat membantu menenangkannya dari pikiran mengakhiri hidup, atau setidaknya mencaci maki hidup.

Dulu saya membaca dua buku itu saat usia 13 tahun, seorang teman memberi pinjaman karena mungkin paham saya tak akan mampu beli buku, karena mungkin ia sadar saya tak akan menabung untuk beli buku. Dan saat itu saya bersyukur selama hidup diberi kesempatan membacanya: buku yang mengajarkan optimisme dengan cara yang tidak klise—setidaknya menurut saya; buku yang dengan sabar mengajarkan dewasa tanpa sedikit pun menghakimi sikap naif; buku yang membuat seorang gelandangan mungkin dapat mendongkak merasa lebih hidup.

Saya juga ingin bercerita pada sepupu bahwa Hemingway harus dibaca, ia dekat dengan nelayan sebagaimana sepupu saya, Lelaki Tua dan Laut mungkin mengajari tentang arti kesendirian. Dalam novel pendek ini, dikisahkan Santiago tak mendapat ikan selama 85 hari, hingga kemudian kailnya dimakan ikan marli ungu raksasa, indah, agung. Ikan ini menyeret perahunya berhari-hari di tengah lautan terik, ia bertarung sebatang kara. “Ikan,” kata Santiago, “aku akan bersamamu sampai aku mati.”

Dengan rasa sayang pada si marli, ia menusukkan harpu tepat pada jantungnya, dan ia bayar dengan punggung tercabik, tangan berdarah, jiwa letih. Membunuh atau dibunuh. Syahdan, ikan itu ia ikat pada perahu. Darah dari tubuhnya tercium hiu, secara bergantian, hiu datang mencabik daging. Perjuangan lelaki tua belum di pucuk. Ia serang hiu-hiu yang menyisakan kepala, tulang, dan ekor ikan tangkapannya, ia meludah ke laut, “Makanlah itu, Ganos. Dan bermimpilah kalian telah membubuh seorang lelaki.”

Ikan tangkapannya hancur, “Aku telah menghancurkan kau dan aku sendiri,” kata lelaki tua. Santiago pulang dengan ekor dan tulang ikan. Sepupu, kau bagus melihat pergulatan lelaki tua ini. Hemingway—melalui novel berjudul asli the Old Man and the Sea, meraih Nobel sastra. Layak dibaca.

Selain itu, saya harap sepupu juga tertarik pada Haruki MurakamiDunia Kafka, misalnya, membuat kita memasuki kisah cinta tanpa terjebak pada klise. Kafka jatuh cinta pada ibu dan kakak perempuannya. Bocah berusia 15 tahun ini meniduri keduanya. Kafka terjebak pada kutukan ayah yang masyhur sebagai pematung hebat. Ayah yang secara tidak langsung ia bunuh.

Kafka mengajari bahwa kehampaan bisa berada pada titik yang kita sangka puncak. Kafka mengajari bahwa menyayangi seseorang kerap kali harus berarti menyakitinya juga. Kafka mengajari berpegang pada kenangan kadang menyakitkan, tapi kita tetap melakukannya, kita hidup karena kesakitan itu. Kafka mengajari, bahwa kehidupan penuh simbol, simbol bahwa ironi kadang mengantar pada kematangan, menjadi pintu masuk keselamatan. Kegelisahan Kafka menghadapi hidup perlu diresapi sepenuh hati.

Dunia Kafka, bagi saya, seperti buku filsafat. Temanya sebagian besar soal cinta, tapi pergulatannya kontemplatif, hingga sama sekali elegan.

Buku-buku bagus membuat kita melakukan kebiasaan seorang A Kempis, “Dalam segala hal saya telah mencari ketenteraman dan saya tak menemukan di mana pun kecuali di pojok bersama buku.” Jadi saya ingin sepupu membaca buku bagus, yang ditulis oleh maestro: As Laksana, Goenawan Mohamad, Dan Brown, Sydney Sheldon, Pramodya Ananta Toer, Umberto Eco, Ayu Utami, Nirwan Dewanto, Cak Nun, Mark Twain, Franz Kafka, Dewi Lestari, Yuval Noah Harari, Voltaire, dan bocah-bocah hebat lainnya.

Tapi saya tak berhak apapun atas sepupu saya, dan saya khawatir ia punya selera baca yang tak sama dengan saya. Jadi saat ia menulis pesan, “Kak, kalau pulang lagi jangan lupa oleh-oleh novel. Kalau bisa Tere Liye.” Saya tak bisa menjawab ndakik-ndakik, meskipun sangat ingin.

Akhirnya pesan itu saya jawab, “Ya.”

Memang Begitu


Memang begitu, Nak. Maju kau akan sakit, dan menyesal. Mundur kau akan menyesal, dan sakit.

Senin, 17 Februari 2020

Langit Awan


Dua tahun lalu saya baru tahu burung garuda itu fiksi. Kenyataan itu cukup meredam diri saya yang merasa pintar, karena mengetahui ternyata logis dan rasional adalah dua hal yang berbeda. Hampir setiap bertemu kawan, saat itu, saya tergelitik pamer pengetahuan soal logis dan rasional ini. Untunglah burung garuda itu menyadarkan betapa bodohnya saya. Dan baru-baru ini saya juga baru tahu bahwa awan dan langit adalah dua benda berbeda! 

Makin menyedihkan rasanya, saya baru tahu hal itu saat usia sudah tak bisa dibilang remaja. 
 
“Awan gelap menutupi langit di atasnya,” begitu kalimat yang tertulis dalam novel Dunia Kafka, kita tahu penulisnya Haruki Murakami. Banyak jahitan kalimat bagus dalam novel ini hingga membuat terus ingin mengulangnya, disamping filosofi yang tersebar dalam dialognya dan tokoh yang sangat berkarakter. Pendeknya, Murakami mencerahkan. Kalimat sederhana yang saya kutip semata menjadi menarik sebab menyentak ketololan saya. 

Loh, jadi awan dan langit itu berbeda, begitu gumam heran dalam kepala. Untuk memastikan, saya langsung membuka KBBI online, dan di sana tertulis seperti ini:

Awan: kelompok butiran air, es, atau keduanya yang tampak mengelompok di atmosfer; mega.
Langit: ruang luas yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya bulan, bintang, matahari, dan planet lain.

Begitulah, langit dan awan bukan satu benda. Saya jadi ngeri, setelah sering ngomong ndakik-ndakik di depan banyak orang, eh soal awan dan langit saja baru tahu. Bicara soal berbagai konsep memang cukup asyik, saya melakukannya setelah meriset dari berbagai buku. Teman-teman juga sering merespon dengan baik hingga menambah pengetahuan saya. Lagi dan lagi.

Tapi tetap ada beberapa orang yang dengan kepintaran mereka membuat tidur saya tak nyenyak. Orang-orang ini seperti komputer dengan big data dari abad kegelapan hingga zaman revolusi informasi sekarang. Mereka tampak tahu segala hal, menganalisis menggunakan pikiran yang tajam, dengan ketenangan seolah sedang memotong wortel di dapur. Saya selalu heran bagaimana orang-orang "brengsek" ini belajar. Tapi mereka biasanya menjawab ringan: baca buku.

Karenanya, menuruti saran orang yang saya anggap pintar itu, saya cukup sering membaca buku, dari fiksi hingga non-fiksi, jurnal maupun makalah, di kampus maupun di kamar. Tentu saja kadang saya lelah membaca topik yang ditulis dengan njelimet, tak mudah dipahami. Tentu saja kadang saya malas, lebih enak nongkrong di kafe berhaha-hihi dengan video lucu. Tapi jika terlalu sering saya lakukan hanya berujung pada tidur yang tak nyeyak: saya ingat kepintaran orang-orang.

Itu sedikit motivasi belajar saya. Dan saat menemukan pengetahuan baru selalu menyegarkan badan dan suasana: ia membikin saya seolah menang gulat dengan musuh diri sendiri. Hal itu kadang mengantarkan pada rasa bahwa saya sudah tak bodoh. Sekarang saya sadar itu hanya kepolosan, karena tiap buku bagus memang dapat mengantarkan pada momen kebodohan di lapisan yang lain. Seperti Dunia Kafka. 

Barangkali pengetahuan adalah lapisan luar dari ketitaktahuan itu sendiri. Saya bisa tersesat jika menganggap dengan membaca dua buku tiap pekan berhak merasa pandai. Sama sesatnya dengan percaya bahwa menggenggam erat batu adalah penunda kebelet beol. Juga sama sesatnya dengan meyakini wanita racun dunia atau semua lelaki buaya darat.

Untunglah saya sekarang tak tersesat. Setidaknya tidak sangat tersesat. Buku-buku yang telah saya baca mengajarkan banyak hal kecuali soal langit dan awan. Mungkin saya melupakan pelajaran sekolah dasar itu. Tiap melihat sesuatu saya lebih banyak berpikir tidak tahu banyak hal. Memandang hp, misalnya, cukup membuat bingung bagaimana benda kecil yang menghipnotis manusia ini berkerja? Dari mana energi yang ia hasilkan?

Pertanyaan itu tak mampu saya jawab. Apalagi melihat hewan, saya tak tahu apakah mereka memiliki rasa rumit jatuh cinta, apakah mereka selingkuh. Kadang melihat ular pun saya tak tahu bagaimana cara mereka kawin. O, banyak hal yang saya tak tahu. Saatnya menertawakan diri sendiri.

Sejauh menyangkut soal pengetahuan, seharusnya saya mengaca pada apa yang dikatakan Socrates: Satu hal yang saya ketahui, yakni saya tidak mengetahui apa-apa. Socrates seorang filsuf, ia tahu banyak hal, dan kebijaksaannya susah ditandingi. Karenanya, kalimat itu mungkin hanya untuk mengolok-ngolok dirinya dan membuat orang lain hati-hati. Ia menularkan pengetahuan berikut kebijaksanaan dengan kalimat sederhana dan jernih.

Dan kalimat itu sering saya lupakan. Kalimat itu sering kita lupakan.