Sepupu saya mulai sering membaca. Ia
minta dibawakan oleh-oleh novel. Saya suka melihat perkembangan ini. Biasa
membaca atau tidak itu urusan pribadi, dan saya tak acuh apakah orang dekat
saya gemar baca atau sebaliknya. Tapi sepupu saya termasuk pengecualian, saya
peduli padanya. Karena bagaimanapun, membaca bukan kebiasaan yang diajarkan di
sekolah. Apalagi menulis.
Dan mendapati ia suka baca membuktikan kemandirian belajar.
Dalam kelas sekolah, biasanya memang terdapat satu atau dua murid yang belajar tanpa menunggu instruksi guru, mereka selalu mengambil langkah lebih dulu, umumnya mereka bocah-bocah pintar. Saya harap sepupu termasuk di dalam golongan ini.
Baru-baru ini ia mengingatkan via chat, “Kak, kalau pulang lagi jangan lupa oleh-oleh novel. Kalau bisa Tere Liye.”
Lama saya berpikir untuk menjawab pesan itu. Saya ingin ngoceh padanya tentang banyak buku. Tentu saja buku yang menurut saya bagus. Buku David J. Schwartz dan Dale Carnegie sepertinya wajib ia baca, jaga-jaga suatu saat ia ada di kondisi terburuk kehidupan, buku itu dapat membantu menenangkannya dari pikiran mengakhiri hidup, atau setidaknya mencaci maki hidup.
Dulu saya membaca dua buku itu saat usia 13 tahun, seorang teman memberi pinjaman karena mungkin paham saya tak akan mampu beli buku, karena mungkin ia sadar saya tak akan menabung untuk beli buku. Dan saat itu saya bersyukur selama hidup diberi kesempatan membacanya: buku yang mengajarkan optimisme dengan cara yang tidak klise—setidaknya menurut saya; buku yang dengan sabar mengajarkan dewasa tanpa sedikit pun menghakimi sikap naif; buku yang membuat seorang gelandangan mungkin dapat mendongkak merasa lebih hidup.
Saya juga ingin bercerita pada sepupu bahwa Hemingway harus dibaca, ia dekat dengan nelayan sebagaimana sepupu saya, Lelaki Tua dan Laut mungkin mengajari tentang arti kesendirian. Dalam novel pendek ini, dikisahkan Santiago tak mendapat ikan selama 85 hari, hingga kemudian kailnya dimakan ikan marli ungu raksasa, indah, agung. Ikan ini menyeret perahunya berhari-hari di tengah lautan terik, ia bertarung sebatang kara. “Ikan,” kata Santiago, “aku akan bersamamu sampai aku mati.”
Dengan rasa sayang pada si marli, ia menusukkan harpu tepat pada jantungnya, dan ia bayar dengan punggung tercabik, tangan berdarah, jiwa letih. Membunuh atau dibunuh. Syahdan, ikan itu ia ikat pada perahu. Darah dari tubuhnya tercium hiu, secara bergantian, hiu datang mencabik daging. Perjuangan lelaki tua belum di pucuk. Ia serang hiu-hiu yang menyisakan kepala, tulang, dan ekor ikan tangkapannya, ia meludah ke laut, “Makanlah itu, Ganos. Dan bermimpilah kalian telah membubuh seorang lelaki.”
Ikan tangkapannya hancur, “Aku telah menghancurkan kau dan aku sendiri,” kata lelaki tua. Santiago pulang dengan ekor dan tulang ikan. Sepupu, kau bagus melihat pergulatan lelaki tua ini. Hemingway—melalui novel berjudul asli the Old Man and the Sea, meraih Nobel sastra. Layak dibaca.
Selain itu, saya harap sepupu juga tertarik pada Haruki Murakami. Dunia Kafka, misalnya, membuat kita memasuki kisah cinta tanpa terjebak pada klise. Kafka jatuh cinta pada ibu dan kakak perempuannya. Bocah berusia 15 tahun ini meniduri keduanya. Kafka terjebak pada kutukan ayah yang masyhur sebagai pematung hebat. Ayah yang secara tidak langsung ia bunuh.
Kafka mengajari bahwa kehampaan bisa berada pada titik yang kita sangka puncak. Kafka mengajari bahwa menyayangi seseorang kerap kali harus berarti menyakitinya juga. Kafka mengajari berpegang pada kenangan kadang menyakitkan, tapi kita tetap melakukannya, kita hidup karena kesakitan itu. Kafka mengajari, bahwa kehidupan penuh simbol, simbol bahwa ironi kadang mengantar pada kematangan, menjadi pintu masuk keselamatan. Kegelisahan Kafka menghadapi hidup perlu diresapi sepenuh hati.
Dunia Kafka, bagi saya, seperti buku filsafat. Temanya sebagian besar soal cinta, tapi pergulatannya kontemplatif, hingga sama sekali elegan.
Buku-buku bagus membuat kita melakukan kebiasaan seorang A Kempis, “Dalam segala hal saya telah mencari ketenteraman dan saya tak menemukan di mana pun kecuali di pojok bersama buku.” Jadi saya ingin sepupu membaca buku bagus, yang ditulis oleh maestro: As Laksana, Goenawan Mohamad, Dan Brown, Sydney Sheldon, Pramodya Ananta Toer, Umberto Eco, Ayu Utami, Nirwan Dewanto, Cak Nun, Mark Twain, Franz Kafka, Dewi Lestari, Yuval Noah Harari, Voltaire, dan bocah-bocah hebat lainnya.
Tapi saya tak berhak apapun atas
sepupu saya, dan saya khawatir ia punya selera baca yang tak sama dengan saya. Jadi
saat ia menulis pesan, “Kak, kalau pulang lagi jangan lupa oleh-oleh novel.
Kalau bisa Tere Liye.” Saya tak bisa menjawab ndakik-ndakik, meskipun sangat
ingin.
Akhirnya pesan itu saya jawab, “Ya.”