Minggu, 18 Agustus 2019

Optimisme


Saudara Mbah Sugeng dan orang terdekatnya nyaris selalu berkaca-kaca, atau setidaknya murung, saat berbicara soal Mbah Sugeng. Sedangkan Mbah Geng sebaliknya: ia selalu menyungging senyum dan tawa saat berbicara soal apapun.

Begitulah kesan saya atas pemilik rumah yang saya tempati KKN. Beberapa minggu di sini ia selalu menampakkan sikap hangat, ditengah suhu 13 derajat celcius desa Winong yang cukup menggigit tulang.

Mbah Geng Gong—begitu panggilan akrabnya—sempat ditinggal istrinya merantau selama hampir 20 tahun. Jarak beberapa bulan setelah pulang kampung, ia meninggal, Februari lalu. Tanpa sakit. Tanpa wasiat. Itulah yang membuat orang-orang dekatnya sedu bercertia kehidupan Mbah Geng.

Kerutan di wajahnya yang membentuk bekas paras ceria itu, menunjukkan sikap optimis yang kontinu. Dan sejauh pengakuan si Mbah, ia tak pernah bersentuhan dengan literatur. Jadi, sikap optimis itu tak ia dapatkan dari menatap lembar-lembar karya David J. Schwartz atau Dale Carnegie.

“Kabeh iki wis takdir, Le. Ono sing ngatur. Anane yo ruet, digae tenang. Pinter-pinter ngatur posisi. Urip okeh perkoro lakon.” Begitu jawabnya saat saya tanya dari mana sikap optimis itu. Klise, memang. Tapi keselarasan omong dan sikap, juga kekuatan untuk menjaga semangat itu sama sekali bukan klise. Bukan mudah.

“Semua sudah takdir” mencerminkan doktrin agama yang melatarinya. Tak mengherankan, karena manusia adalah—dalam postulat Karen Armstrong—Homo religiosus.

Agama berangkat dari “rasa gaib”. Rudolf Otto percaya bahwa, gaib tersebut adalah dasar dari agama dan perasaan akan hal itu “mendahului hasrat untuk menjelaskan asal-usul dunia atau menemukan landasan beretika.” Satu dari gaib itu adalah takdir, yang manusia ada dalam garis batasnya. Dengan pengertian itu, Mbah Geng, dan mungkin juga yang lain, meyakini bahwa ia hanya penyerta bagi rencana besar. Dan takdir itu diterima, tanpa gugat.

Dengan pengertian “diterima” ini kita bisa katakan, mengikuti Leibniz, bahwa inilah “dunia terbaik dari semua dunia yang mungkin”, le meilleur des mondes possibles. Sebuah optimisme yang dikritik Voltaire dalam novel satire masyhurnya, Candide. Bagi Voltaire, kejahatan tetap kejahatan, musibah tetap musibah. Dunia ini bukan dunia terbaik yang mungkin.

Dalam Candide, Sayup-sayup saya ingat kalimat untuk tuan putri Jerman dari nenek yang kehilangan satu pantatnya,“silakan nona tanyakan pada seluruh penumpang kapal ini. Kalau ada seorang saja yang tak sering menyumpahi hidupnya, yang tak pernah menganggap diri orang termalang di dunia, ceburkan saya ke laut dengan kepala lebih dahulu.”

Maksud Voltaire barangkali menampakkan kemelut musibah manusia yang tak sepatutnya diterima sebagai sesuatu yang baik. “Aku menghormati Tuhan. Tapi aku mencintai manusia,” katanya. Dengan kata lain, ia memilih untuk lebih dekat dengan yang fana. Ia tak menerima rencana agung—yang oleh Leibniz disebut “harmoni yang sudah tersusun”, memperkuda manusia yang tak kekal.

Mbah Geng barangkali tak menahu Leibniz, Voltaire, Armstrong. Ia barangkali tak menyiapkan kondisi pikiran terbaik saat ada di titik paling buruk dengan membaca David Schwartz dan Carnegie. Ia juga tak terpaut dengan narasi raksasa: ideologi, membangun bangsa, atau meruntuhkan peradaban. Tanpa semua itu, ia, dan juga orang sejenis, meneguk optimis.

Pagi hari, dengan suara musik tradisional dari radionya, Si Mbah menyapa seperti biasa—dengan senyum dan tawa. Saya, dengan sesuatu di dalam kepala yang barangkali menumpuk kekacauan... ingin tersenyum seperti itu.