Senin, 17 Februari 2020

Langit Awan


Dua tahun lalu saya baru tahu burung garuda itu fiksi. Kenyataan itu cukup meredam diri saya yang merasa pintar, karena mengetahui ternyata logis dan rasional adalah dua hal yang berbeda. Hampir setiap bertemu kawan, saat itu, saya tergelitik pamer pengetahuan soal logis dan rasional ini. Untunglah burung garuda itu menyadarkan betapa bodohnya saya. Dan baru-baru ini saya juga baru tahu bahwa awan dan langit adalah dua benda berbeda! 

Makin menyedihkan rasanya, saya baru tahu hal itu saat usia sudah tak bisa dibilang remaja. 
 
“Awan gelap menutupi langit di atasnya,” begitu kalimat yang tertulis dalam novel Dunia Kafka, kita tahu penulisnya Haruki Murakami. Banyak jahitan kalimat bagus dalam novel ini hingga membuat terus ingin mengulangnya, disamping filosofi yang tersebar dalam dialognya dan tokoh yang sangat berkarakter. Pendeknya, Murakami mencerahkan. Kalimat sederhana yang saya kutip semata menjadi menarik sebab menyentak ketololan saya. 

Loh, jadi awan dan langit itu berbeda, begitu gumam heran dalam kepala. Untuk memastikan, saya langsung membuka KBBI online, dan di sana tertulis seperti ini:

Awan: kelompok butiran air, es, atau keduanya yang tampak mengelompok di atmosfer; mega.
Langit: ruang luas yang terbentang di atas bumi, tempat beradanya bulan, bintang, matahari, dan planet lain.

Begitulah, langit dan awan bukan satu benda. Saya jadi ngeri, setelah sering ngomong ndakik-ndakik di depan banyak orang, eh soal awan dan langit saja baru tahu. Bicara soal berbagai konsep memang cukup asyik, saya melakukannya setelah meriset dari berbagai buku. Teman-teman juga sering merespon dengan baik hingga menambah pengetahuan saya. Lagi dan lagi.

Tapi tetap ada beberapa orang yang dengan kepintaran mereka membuat tidur saya tak nyenyak. Orang-orang ini seperti komputer dengan big data dari abad kegelapan hingga zaman revolusi informasi sekarang. Mereka tampak tahu segala hal, menganalisis menggunakan pikiran yang tajam, dengan ketenangan seolah sedang memotong wortel di dapur. Saya selalu heran bagaimana orang-orang "brengsek" ini belajar. Tapi mereka biasanya menjawab ringan: baca buku.

Karenanya, menuruti saran orang yang saya anggap pintar itu, saya cukup sering membaca buku, dari fiksi hingga non-fiksi, jurnal maupun makalah, di kampus maupun di kamar. Tentu saja kadang saya lelah membaca topik yang ditulis dengan njelimet, tak mudah dipahami. Tentu saja kadang saya malas, lebih enak nongkrong di kafe berhaha-hihi dengan video lucu. Tapi jika terlalu sering saya lakukan hanya berujung pada tidur yang tak nyeyak: saya ingat kepintaran orang-orang.

Itu sedikit motivasi belajar saya. Dan saat menemukan pengetahuan baru selalu menyegarkan badan dan suasana: ia membikin saya seolah menang gulat dengan musuh diri sendiri. Hal itu kadang mengantarkan pada rasa bahwa saya sudah tak bodoh. Sekarang saya sadar itu hanya kepolosan, karena tiap buku bagus memang dapat mengantarkan pada momen kebodohan di lapisan yang lain. Seperti Dunia Kafka. 

Barangkali pengetahuan adalah lapisan luar dari ketitaktahuan itu sendiri. Saya bisa tersesat jika menganggap dengan membaca dua buku tiap pekan berhak merasa pandai. Sama sesatnya dengan percaya bahwa menggenggam erat batu adalah penunda kebelet beol. Juga sama sesatnya dengan meyakini wanita racun dunia atau semua lelaki buaya darat.

Untunglah saya sekarang tak tersesat. Setidaknya tidak sangat tersesat. Buku-buku yang telah saya baca mengajarkan banyak hal kecuali soal langit dan awan. Mungkin saya melupakan pelajaran sekolah dasar itu. Tiap melihat sesuatu saya lebih banyak berpikir tidak tahu banyak hal. Memandang hp, misalnya, cukup membuat bingung bagaimana benda kecil yang menghipnotis manusia ini berkerja? Dari mana energi yang ia hasilkan?

Pertanyaan itu tak mampu saya jawab. Apalagi melihat hewan, saya tak tahu apakah mereka memiliki rasa rumit jatuh cinta, apakah mereka selingkuh. Kadang melihat ular pun saya tak tahu bagaimana cara mereka kawin. O, banyak hal yang saya tak tahu. Saatnya menertawakan diri sendiri.

Sejauh menyangkut soal pengetahuan, seharusnya saya mengaca pada apa yang dikatakan Socrates: Satu hal yang saya ketahui, yakni saya tidak mengetahui apa-apa. Socrates seorang filsuf, ia tahu banyak hal, dan kebijaksaannya susah ditandingi. Karenanya, kalimat itu mungkin hanya untuk mengolok-ngolok dirinya dan membuat orang lain hati-hati. Ia menularkan pengetahuan berikut kebijaksanaan dengan kalimat sederhana dan jernih.

Dan kalimat itu sering saya lupakan. Kalimat itu sering kita lupakan.