Saya banyak menerima pesan bertulis: “Sibuk nggak?”. Seringkali
pesan semacam itu membuat saya terpatung, sedikit jengkel, dan bingung hendak
dijawab bagaimana. Syukur pesan itu belum membikin sakit perut, kejang-kejang,
atau asam urat.
Pesan itu, sekali lagi, susah dijawab. Atau setidaknya
gampang-gampang susah. Karena menyangkut apa yang saya anggap penting dan tidak
penting. Pertanyaan itu ingin saya jawab dengan sedikit panjang, maka saya
menulis catatan ini: tentang aktivitas sehari-hari saya.
Baca Buku
Sebagaimana umumnya manusia normal, saya bangun di
waktu pagi, di sebuah kamar yang tak terlalu luas, tapi bagi saya sangat mewah,
karena banyak buku. Dan dengan buku-buku itu saya memulai aktivitas, bukan cuci
muka dan gosok gigi. Tentu saja kadang saya membuka hp—jika sedang khilaf. Dulu
hal ini menjadi kebiasaan, sebelum saya berjanji mengubah kebiasaan ini saat
tahun baru kemarin. Begitu bangun tidur—demikian ikrar saya, hp bukan benda
pertama yang saya sentuh. Tapi buku.
Dan kadang saya khilaf.
Buku termasuk hal penting bagi saya, tunggu, bukan
karena saya bocah rajin yang akan ngoceh bahwa membaca buku dapat mengubah
kehidupan umat manusia—meski saya setuju, tapi karena saya memang suka membaca
dan saya tak punya banyak teman. Sejak kecil entah mengapa teman saya sedikit,
jadi saya berteman dengan buku. Karenanya, membaca membawa energi positif bagi
saya, selain untuk menambah pengetahuan, ia menjadi sarana untuk tidak merasa
kesepian. Buku yang baik serupa pelukan Mbakyu di tengah kedinginan malam.
Yeah, pelukan dan...
Sori, fantasi saya kadang memang tidak jelas. Saya tahu,
seharusnya saya istighfar, tapi saya sering lupa, terutama ketika menyangkut
pelukan mbak-mbak.
Kembali lagi soal buku, saya memiliki peraturan
kecil: harus membaca di atas 50 halaman tiap hari. Dulu bahkan 100, tapi saya
keteteran karena sering alih profesi jadi supir. Terpaksa saya turunkan
angkanya, minimal di atas 50, syukur kalau menyentuh 100 halaman atau lebih. Dan
ternyata masih tak jauh dari target awal. Peraturan itu saya terapkan karena
koleksi buku saya cukup banyak, setidaknya menurut saya. Di kamar hampir ada
2000-an judul buku, separuh buku kepunyaan dosen. Dan kemungkinan masih akan
saya tambah.
Setidaknya ada 1000 eksemplar buku yang harus saya
baca. Jika dalam sepekan saya menghabiskan dua buku, dalam satu bulan bisa
delapan, setahun 96. Dengan perhitungan lain, saya butuh waktu 10 tahun untuk
melahap 1000 buku! Padahal jumlah buku akan akan saya tambah. Belum lagi buku
di perpus online: Ipusnas, yang mungkin memuat ratusan ribu judul buku. (Bagi
yang belum punya saya sarankan segera install. Jika kau termasuk pecinta buku,
banyak buku bagus di sana.)
Itu baru soal baca buku, padahal hidup bukan hanya
soal baca buku.
Belajar Menulis
Saya masih belajar menulis, terutama menulis kalimat.
Karena kalimat adalah senjata utama penulis, ia menentukan apakah tulisan akan
dibaca sampai selesai atau akan berakhir dengan umpatan. Jadi, saya masih
belajar menulis kalimat.
Itu bukan perkara mudah. Banyak para penulis memakan
waktu bertahun-tahun hanya untuk belajar bagaimana menulis kalimat yang
memikat. Padahal mereka penulis yang menurut saya tergolong berbakat. Jadi,
jika mereka melewati bertahun-tahun untuk belajar menulis, entah berapa waktu
yang saya butuhkan untuk bisa semahir mereka.
Meski demikian, saya tetap belajar, setidaknya, saya
sudah memulai. Menurut As Laksana, penulis yang telah hebat tidak berhenti
melatih dan menempa diri, mereka terus berlatih dan belajar. Saya harus
belajar.
Kadang menulis kalimat menjadi soal yang rumit. Saya bisa
duduk dua jam di depan laptop—menghabiskan segelas susu, dan segelas lagi, dan
masih belum lahir kalimat bagus. Saya bikin susu dan menulis lagi. Bersenang-senang
lagi. Berlatih lagi.
Setelah cukup melatih, dan belum menghasilkan
kemajuan, biasanya saya akan menggarap beberapa tulisan dari dosen. Banyak
tugas mereka saya bantu tuliskan. Bahkan baru-baru ini saya diminta mengedit
belasan tulisan yang akan dimuat di jurnal fakultas saya. Dan itu cukup membuat
saya berlama-lama di depan laptop, karena aktivitas ini yang menambah
pundi-pundi rekening..
Intinya, selain belajar menulis, saya sudah cukup
ngawur berani mencari uang dari menulis asal-asalan: mengerjakan tugas atasan
atau mengedit atau... yeah, semacamnya. Dan itu menjadi rutinitas sehari-hari. Setidaknya
hingga beberapa bulan ke depan.
Sambil lalu, saya menulis catatan-catatan di laptop. Sebagian
saya baca sendiri. Sebagian saya posting di sini. Saya bersyukur, meski masih
belajar menulis, saya masih bisa bersenang-senang karena kebiasaan menulis. Beberapa
kawan berkenan datang ke sini. Membaca apa yang saya tulis. Merasakan kegelisahan
saya. Menemani kehidupan saya.
Dua kegiatan di atas: membaca dan menulis, adalah
aktivitas utama saya. Besar harapan ini akan menjadi pekerjaan saya, hingga
bertahun-tahun mendatang. Saya benar-benar menikmatinya. Saya tak tertarik
mengikuti workshop, seminar, atau semacamnya. Menurut saya, hal itu akan
berguna besar jika saya memiliki bacaan banyak. Bahkan di kelas perkuliahan
kita tak bisa banyak bicara jika tak memiliki bahan bacaan.
Kalau boleh jujur,
semua workshop dan kelas perkuliahan yang saya ikuti, tidak lebih membentuk
saya ketimbang proses menempa diri yang saya jalani secara mandiri.
Oh, saya tidak bermaksud sombong. Saya ingin
menegaskan bahwa menikmati belajar harus dilatih. Agar kita terbentuk dari
kebiasaan ini. Tanpa terlalu bergantung pada workshop maupun kelas perkuliahan.
Membalas Chat
Seperti yang saya ceritakan di sini, membalas chat
termasuk aktivitas saya, setidaknya hingga kawan-kawan saya lulus kuliah. Karena
umumya chat itu adalah soal skripsi mereka. Saya menyediakan diri untuk menjadi
teman diskusi, meski saya tak menyediakan solusi problem mereka, saya berharap
sudah sedikit membantu.
Saya harap tidak dianggap keminter, sok pintar,
gara-gara terlibat diskusi dengan mereka. Harus saya akui, saya masih akan
terus berusaha belajar, dan mereka perlu tahu itu, agar tidak terlalu
menjadikan acuan saran yang saya berikan.
Membalas chat kadang butuh kesabaran tersendiri. Juga
hiburan tersendiri. Di antara mereka mengirim chat dengan cara bertele-tele,
tidak to the poin. padahal cukup banyak hal yang saya kerjakan, masih banyak
pesan yang perlu saya respon. Karenanya, saya melewati pesan yang tidak to the
poin. Tentu saja tidak masalah jika memang mereka berniat menyapa ringan atau
semacamnya. Tapi selama menyangkut diskusi, saya suka langsung pada poin inti.
Saya membalas diskusi mereka dengan perasaan ngeri-ngeri
konyol, saya meladeni pertanyaan soal skripsi mereka, memberikan masukan dan
solusi, padahal saya sendiri belum mulai nulis skripsi. Itu seperti diminta
solusi atas problem suami-istri, padahal saya masih jomblo. Hahaha.
Semoga saya tidak menyesatkan.
Di luar diskusi, chat dari kawan-kawan kadang juga
banyak. Dan tak sedikit mereka menghibur dengan pertanyaan konyol, “Sampean
pernah jatuh cinta?”, “Beneran suka ke dosen A?”, “Kamu pakai susuk, ya?”,
“Bagaimana rasanya melihat mantan punya anak?”, “Bagaimana menertawakan
kejombloan diri sendiri saat kawan lain sudah memajang foto pernikahan di
medsos?”
Oke, yang terakhir saya tulis sendiri.
Di sela kesibukan baca-tulis, membuka ponsel adalah
kelaziman, kalau bukan kewajiban. Dari ponsel, terutama dari chat, saya dapat
mengerti kabar kawan-kawan. Dari story yang mereka unggah, saya bisa tahu
aktivitas mereka, tanpa harus mengganggu dengan bertanya mengirim pesan.
Dan dari grup, saya bisa melihat soal apa yang diributkan
para kenalan saya. Yang bikin adem panas, grup kawan pecinta vespa. Saya masuk
grup ini karena dulu punya vespa. sekarang tidak. Yang tersisa hanya grup WA. Grup
ini hampir selalu ramai, tak dibuka dua hari pesan sudah ribuan. Saya cukup
enggan membuka grup ini karena... mereka—orang-orang dewasa—gemar mengirim foto
wanita nyaris tanpa pakaian.
Saya tahu, tentu saja seharusnya saya istighfar saat
melihat foto semacam itu. Tapi saya sering lupa, terutama saat di grup sialan
ini.
Saya hanya seekor bocah. Bocah yang normal. Ya, nanti
saya istighfar.
Masak
Aktivitas belajar dan menulis di atas bisa dibilang
bisa saya lakukan di kamar. Tanpa harus keluar disentuh matahari. Selama ada
buku, dan laptop, dan koneksi internet, saya mampu tak keluar berhari-hari.
Karena saya adalah manusia kamar. Atau bocah rumahan. Tapi saya butuh makan. Untuk meminimalisir
keluar sarang, karena ngopi dan jalan-jalan sebagaimana nanti saya ceritakan,
saya masak sendiri.
Makan saya tidak ribet, yang penting ada sayur di
kulkas, ikan tuna kecil, dan telur, sudah cukup. Saat sibuk, setelah menanak
nasi, mungkin saya hanya butuh sebutir telur untuk lauk sarapan. Kadang ditambah
ikan tuna. Dan kerupuk tentu saja. Soal makanan yang dimasak sendiri, selera
saya tidak ribet. Saya bersyukur soal itu.
Tapi saat lumayan senggang, saya akan masak sedikit “bermutu”,
ada sayur, lauk, sambal, dan seperangkat penghias meja lainnya.
Jalan-jalan & Ngopi
Saya harus jalan-jalan karena saya seorang supir,
setidaknya hingga sekarang. Saya harus ngopi—meskipun di warkop pesan es susu—karena
melepas rindu pada kawan-kawan.
Sering saat nyupir, perjalanan yang ditempuh
berratus-ratus kilometer. Menguras tenaga dan waktu. Untuk itu, selain
keperluan nyupir, saya meminimalisir keluar kamar, karena hal itu hanya akan
menumpuk pekerjaan nulis.
Selain itu, ngopi, lebih tepatnya nongkrog bareng
kawan-kawan, juga menjadi pemicu bagi saya untuk keluar sarang. Kadang karena
diminta membaca skripsi kawan-kawan, kadang dimintai masukan lebih lanjut dari
chat, karena interaksi chating begitu terbatas, kadang mendengar keluh kesah
mereka soal patah hati.
Jika menyentuh persoalan di luar diskusi maupun
skripsi, saya hanya akan sibuk mendengarkan, tak baik menasihati jika tak
diminta, bahkan diminta pun saya mungkin menolak ngoceh. Intinya saya hanya
diam, ngoceh di saat mereka sedang galau—jika tidak tepat—akan membuat seolah
kita menganggap remeh persoalan mereka. Bukan hal baik.
Saya menyediakan waktu—dengan konsekuensi menumpuk
pekerjaan di kamar—untuk menemani mereka. Tak apa, selama mereka merasa lebih
baik. Toh sesekali kadang saya butuh teman ngobrol.
***
Begitulah, saat bangun tidur saya akan bersentuhan
dengan buku, hingga suntuk. Kemudian mulai menulis, menyiapkan makanan kecil,
membaca lagi, menulis lagi, belajar lagi. Kadang harus nyupir dan sesekali
ngopi. Saya bingung jika ditanya sedang sibuk atau tidak.