Hari Selasa kemarin, dengan serba terburu-buru, saya bersiap untuk ke kampus, jam mengajar mulai sejak pukul 07.40. Setelah belanja, masak, dan mandi, jam tangan sudah melaporkan 20 menit lagi waktunya kelas. Saya bergegas berangkat jalan kaki. Biasanya saya diantar kawan kos tetapi pagi itu ia sedang pulang.
Saya berjalan
santai saja mengira waktu yang tersisa akan memihak. Biasanya memang butuh
waktu sekitar 20 menit. Jarak kos ke kampus tidak terlalu jauh, tetapi karena
harus menyebrang jalan besar, saya harus melewati garis zebra, dan butuh
memutar jalan sehingga cukup mengulur waktu. Praktisnya saya bisa saja
sembarang menyebrang untuk bergegas, tetapi itu berbahaya.
Di Surabaya,
Anda tahu, menyebrangi jalan besar bisa serupa berenang menyebrang sungai yang
penuh buaya lapar. Bedanya, di jalan raya, Anda tidak dicabik oleh gigi buaya,
tetapi diseruduk motor, atau mobil, atau truk, atau bus—yang pasti ngebut
karena mengejar waktu. Well, ini serius. Menyebrangi jalan raya di kota besar
memang bisa dramatis dan bertaruh nyawa.
Mempertimbangkan
kebrutalan jalan raya ini, dan masih sayang nyawa [memangnya siapa yang tidak?],
saya memutar untuk menggunakan garis zebra berikut klakson penyebrangan. Nah,
setelah berjalan santai melintasi trotoar sambil beberapa kali dipaksa minggir
karena pengguna motor nekat menaiki hak pejalan kaki, baru sadar waktu sudah
mepet. Jadi saya sedikit lari-lari kecil supaya tidak telat masuk kelas.
Saya benci
telat. Maksud saya… sangat membenci telat. Dalam perhitungan subjektif saya
yang mungkin bisa keliru, selama kuliah S1, saya tidak pernah telat! Kecuali
tidak lebih dalam hitungan jari, dan salah satu yang paling saya ingat adalah
matakuliah SPI semester satu. Selebihnya mungkin saya telat di perkuliahan lain,
tetapi saya yakin tidak banyak. Dua sahabat saya, Khilmi dan Mas Ahmad, menjadi
saksi akan hal ini.
Dan kebencian
itu bertahan hingga sekarang, saat saya mulai mengajar di kampus tempat saya
kuliah. Jadi, karena masih benci telat, saya lari-lari kecil. Pagi itu saya
gagal telat. Sebelum membuka pintu, saya mengengok jam tangan dan waktu
menunjukkan pukul 07.39 lebih 36 detik. Saya memotretnya dengan ponsel. Masih ada
24 detik.
Ketika masuk
kelas, perasaan kecewa langsung menyelimuti, sebab kelas itu hanya berisi 5-8
mahasiswi. Sudah dua kali perasaan penuh kecewa ini muncul, kekecewaan karena…
entah. Kecewa karena terlalu tepat waktu? Kecewa karena saya terlalu rajin?
Atau kecewa karena mahasiswa terlambat?
Jika saya
menyalahkan mereka, mungkin mereka akan berdalih sedang melalukan ini dan itu. Bagaimanapun
mereka telah memulai kelas sejak pukul enam pagi dan kelas saya adalah jam
transisi. Bahkan, di kelas lain, perkuliahan pagi—semester satu—terbiasa telat.
Sebegitu terbiasa sehingga “kesalahan” ini tampak menjadi kebiasaan normal.
Anda tahu, di
tengah dunia yang gila, menjadi waras adalah kesalahan. Di tengah dunia yang
semrawut, menjadi teratur adalah kesalahan. Di dunia yang abai akan waktu,
menjadi tepat waktu adalah kesalahan. Dan daftar ini bisa berlanjut hingga
kalian bosan.
Jadi, pagi itu,
saya memendam marah yang bagi orang lain mungkin tampak seperti marah yang
tidak perlu. Masak hanya gara-gara telat marah? Bukankah telat adalah budaya
kita? Ya. Saya akan kecewa, marah, dan sedih menghadapi orang-orang seperti
ini, terutama saat pekerjaan sedang menumpuk. Dalam konteks saya, mengajar
memang bagian dari pekerjaan. Tetapi telat adalah telat, ia dapat mengacaukan
ritme perkejaaan lain. Waktu diskusi akan terpotong; kelas bisa serba
terburu-buru; dan seterusnya.
Bayangkan jika
kita telat ketika berhadapan dengan orang yang jadwalnya sudah menumpuk, dan ia
dikejar banyak tugas. Bukankah kita telah mengacaukan rangkaian kesibukan orang
tersebut? Itulah sebenarnya apa yang ingin saya tekankan: bahwa telat selalu
membawa kemungkinan mengacaukan kesibukan orang lain.
Padahal
kesibukan itu bisa jadi adalah hidup-mati mereka; bisa jadi kesibukan itu
adalah penentu hubungan mereka dengan orang lain. Jadi, kita perlu
berhati-hati, sebab kita tidak pernah tahu apa yang dihadapi orang lain.
Jika dilihat
dari sudut pandang tersebut, on time bukan soal kaku atau tidak kaku. Lebih
dari itu, on time adalah menjaga kemaslahatan orang lain. Ini bukan hanya
tentang kita, tetapi tentang kehidupan orang lain. Jika orang lain sedang
sibuk, dan hampir bisa dipastikan orang lain selalu sibuk, maka akan lebih elok
jika kita mengusahakan on time. Jika mereka sedang senggang, kita bisa lebih
santai.
Saya juga
seperti itu: akan menjadi sangat kaku ketika sedang menhadapi banyak tumpukan
tugas. Dan ketika harus mengurus sesuatu bersama teman-teman, mereka biasanya
akan memberi konfirmasi bahwa tidak bisa tepat waktu. Maka saya akan
menyesuaikan, atau bahkan tidak perlu penyesuaian sama sekali ketika sedang
longgar.
Izinkan saya
memeras apa yang ingin saya katakan: tepat waktu kadang adalah soal menghargai
orang lain. Karena itu, on time tidak selalu mengenai kita, ia kadang terkait
dengan orang lain, yang orang lain ini terkait dengan orang lain lagi.
Sedemikian rupa panjang rantai ini hingga kita perlu mempertimbangkan untuk
tepat waktu.