Rabu, 12 Mei 2021

Kontradiksi yang Mbuh

Beberapa orang pernah mengatakan merasa bahagia dan sedih dalam satu waktu. Tidak mudah dijelaskan, dan mungkin anda akan setuju dengan perasaan orang itu jika pernah merasakan langsung. Jika tidak, susah dinalar. Sesuatu yang kontradiksi akan tetap menjadi kontradiksi, begitu saya merasakan. 

 

Kita susah menerima pernyataan: ada tetapi tidak ada, kenyang tetapi lapar, ringan tetapi berat. 

 

Mungkinkah ada penjelasan tentang sesuatu yang nampak kontradiksi tersebut, mungkinkah ia menampung beberapa irisan kemungkinan persentuhan. Maksud saya, adakah kontradiksi tidak hitam putih. Sebenarnya saya gelisah untuk sesuatu yang sederhana: saya menyukai daging ayam, tetapi tidak tega menyembelih ayam. 

 

Kasus saya, jika boleh dikatakan kasus, sebenarnya tidak terlalu kontradiktif secara langsung sebagaimana contoh sebelumnya. Meski demikian hal tersebut tetap kontradiktif, setidaknya menurut saya, terutama dalam koteks moral. Ia sama seperti seseorang mengutuk sebuah swalayan tetapi menyukai belanja di sana. Anda bisa membuat daftar serupa. 

 

Guru saya pernah menjelaskan, pemenang nobel fisika, Niels Bohr, tidak setuju terhadap konsep kontradiksi pada mekanika kuantum. Saya manggut-manggut meski sebenarnya tidak mengerti makhluk apa itu mekanika kuantum. “Semua hal saling komplemen, yang ada hanya komplemen, tidak ada kontradiksi baginya,” kata guru saya. 

 

Antara kegemaran makan daging ayam dengan tidak tega menyembelih ayam adalah hubungan yang rumit. Ketidaktegaan saya itu muncul tidak terlalu lama, sebelumnya saya biasa-biasa saja melakukannya. Lalu saya melihat ayam-ayam itu (para ayam di rumah) tiba-tiba seperti makhluk yang berhak bersenang-senang sebagaimana mestinya, ia saya pikir telah menderita cukup lama diikat kakinya, lalu hendak dicabut nyawanya. 

 

Saya melihat mata ayam itu baik-baik, mata yang biasa-biasa saja, sebenarnya, tetapi tidak bagi pikiran saya, mata itu seperti pandangan manusia yang tidak berhak berdosa, tidak berhak bersalah, atau ia praktis sesuci para bayi. Melihat kepalanya berjalan mengangguk-ngangguk makin membuat suasana di dapur kian dramatis. 

 

Ketika suara si ayam terdengar memberontak, ia terasa seperti memohon untuk dilepaskan. Saya benar-benar tidak tega. “Pisaunya kurang tajam,” kata saya pada Ibu, ingin memastikan leher ayam putus dengan mudah melalui sayatan pisau tajam. Pisau tumpul akan memberikan siksaan tak terperi. Saya pernah membaca, jika kepada manusia lepas dari badan, ia masih akan sadar selama delapan detik.

 

Mungkin ayam lebih lama dari itu, pikir saya, bisa 10 atau 20 detik. 

 

“Sudah cukup tajam,” kata Ibu. Ia menyarankan untuk diasah ulang jika memang kurang tajam. Dan saya merasakan mata pisau itu cukup licin menggesek ujung jari saya. Memang tajam. Saya tidak menemukan alasan kembali untuk menunda. Tangan Ibu meraih dua kaki ayam dan menguci sayapnya dengan sigap. Ibu tampak seperti algojo jagoan yang telah biasa melakukan bunuh-membuhuh, betapapun hanya hewan.

 

Si ayam menghadap ke barat, saya meraih urat lehernya, pelan-pelan, dan melihat matanya yang tampak kebingungan, juga memancarkan kilatan pasrah tak berdaya, ditambah suara kokok yang melemah. “Cabuti bulunya,” suara ibu mengingatkan. Bulu dileher itu saya cabuti, dan sesekali mata itu terpejam ketika bulu-bulu dilehernya terpaksa lepas. Saya tidak tega.

 

Ibu meraih leher itu, mencabuti bulunya seringan bersiul di pagi hari. Saya mulai lemas memikirkan kenapa rasa iba ini tiba-tiba muncul dengan perasaan sentimentil.

 

Eksekusi dilakukan. Saya meraih leher itu, menyayatkan pisau pada urat-urat kehidupan ayam. Darah itu mengucur di mata pisau, terus mengalir dan berpisah di ujung pisau, sepetak bumi berwarna merah. Suara rintihan berat terus keluar. Suara yang terasa menggores gendang telinga saya. sesekali mata itu terbelalak, seolah menyesali dan terkejut pada nasib yang tak adil.

 

Kami melepas ayam itu. Ia tampak kejang-kejang seperti ingin lari dari maut. Tetapi maut tetap mengejar, menyiksanya pelan-pelan. Cukup  lama nyawanya masih terkumpul setelah leher itu tidak utuh. Hati saya remuk redam. Dan sedikit kaget ketika mendengar susulan suara Ibu, “Masih ada satu lagi.”

 

Astaga. Si ayam kedua, yang lebih kecil, makin membuat saya linglung, dan mengulang dari awal, Ibu mencabuti sedikit bulu di lehernya karena saya masih tidak tega. Lalu saya menyebut nama Tuhan sambil merasakan gerakan pisau memutus satu lagi urat leher. Si ayam kedua juga kejang-kejang setelah nyawa itu melayang pelan-pelan.

 

Saya buru-buru menyiram sisa darah pada tangan, dan masuk kamar, berbaring menatap pintu, terbayang mata-mata membelalak si ayam. Saya tidak ingin menyakiti makhluk-makhluk lagi.

 

Namun beberapa hari kemudian mulut saya masih mampu menelan ayam-ayam itu, tetapi dengan perasaan sangat bersalah.