Selasa, 18 Mei 2021

Idulfitri Kian Monoton

Salah satu scene Idulfitri: Orang-orang datang ke rumah kita, berbasa-basi dengan topik itu-itu saja barang lima atau sepuluh menit sambil menikmati jajanan jika kebetulan mereka menyukainya atau makan satu-dua suapan dengan enggan karena tidak selera—mereka melakukannya sekedar menghormati, lalu pamit undur diri menuju rumah lain, dengan alur serupa hingga hari sore atau hingga tubuh lelah.

 

Setidaknya, begitulah Idulfitri di tempat saya. Monoton yang terulang tiap tahun. Saya melihatnya terlalu murung, dan sinis, dan kasar. Padahal Idulfitri dari dulu masih sama, pemaknaan saya yang berubah, dari satu scene ke scene lain.

 

Scene ketika kecil sama sekali berbeda: Idulfitri menghadiahi saya kebahagian yang berat ditanggung kepala: Serupa Sisiphus yang menopang gelondongan batu jumbo seukuran gajah. Ada kebahagiaan bertakbir di musalla, dengan anggapan seluruh orang di kampung terkesan dengan suara saya—yang sebenarnya sumbang. Namun sumur kebahagiaan paling utama adalah sangu, angpau.

 

Anak-anak kecil, kita tahu, hanya mendapat sedikit uang saku harian yang seringkali kurang untuk memenuhi keinginan jajan. Maka Idulfitri adalah sumber penghasilan yang melimpah sebab orang-orang dewasa telah berbaik hati memberikan sangu. Seperti seluruh anak kecil di dunia yang menyukai uang jajan tambahan, saya “mencari” uang sebanyak-banyaknya ketika lebaran. 

 

Sanak saudara saya tidak terlalu banyak, tetapi saya sudah mahir meniru perkataan orang-orang dewasa, bahwa silaturrahim adalah tujuan utama bertamu. Itulah jurus yang saya pakai ketika bertamu dari rumah ke rumah. Tidak peduli saudara atau bukan, saya—bersama kawan—seringkali nekat masuk ke rumah orang-orang, dan mengatakan, “Niat kami cuma minta maaf, Pak/Bu/Mbah... bukan mau cari sangu.”

 

Kebanyakan orang-orang tertawa mendengar saya—yang kira-kira baru berusia lima/enam tahun—mengatakan kalimat “bijak” itu. Dan biasanya mereka tetap akan memberi saya sangu, yang, tentu saja, merupakan tujuan utama. 

 

Menanjak dewasa kegirangan semacam itu jelas luntur, berganti tradisi yang kian menjemukan karena berbagai atribut keagamaan kemudian berimbas pada hal-hal unsilaturrahim (saya tahu ini istilah ngawur). Inilah scene lain Idulfitri. Izinkan saya sedikit bercerita. 

 

Sebagaimana kita tahu, masing-masing orang menggunakan momen Idulfitri sebagai ajang berkunjung pada sanak saudara, dekat dan jauh, satu sama lain saling membalas kunjungan. Tetapi selalu ada selipan di mana orang yang dikunjungi, tidak mengunjungi balik. Katakanlah, sebagai ilustrasi, saya tidak mengunjungi sepupu yang tiap tahun datang ke rumah, lalu si sepupu pada akhirnya juga enggan datang ke rumah karena saya tidak pernah datang ke rumahnya. Ia membalas saya.

 

Hal-hal di atas sering terjadi. Ada ego pada masing-masing orang, dan, silaturrahim tidak lagi relevan diperbincangkan. Akhirnya ada sanak saudara yang tersortir karena hal-hal semacam ini. Alih-alih menjadi ajang tradisi yang menyambung persaudaraan, Idulfitri juga menyisakan tegangan. Masing-masing orang mungkin tidak akan merasa bersalah satu sama lain perkara tidak mengunjungi rumah saudara, dan tetap merasa tidak perlu mengalah. Begitu terus setiap tahun. 

 

Jujur saja, saya sering merasa demikian: merasa menjadi pihak-pihak yang tidak berbalas dikunjungi. Setelah saya pikir baik-baik, memangnya kenapa jika tidak dikunjungi? Toh saya tidak rugi apa-apa. Bahkan pada beberapa momen tertentu saya lebih suka menjadi pihak yang mengunjungi, karena saya dapat bersiap dengan baik, dan mengatur waktu dengan baik.

 

Menjadi pihak dikunjungi kadang juga repot, terutama jika sedang ada deadline tulisan, biasanya kita tidak tahu berapa lama tamu dekat akan berkunjung, belum soal persiapan suguhan. Tetapi alasan yang paling saya tekankan adalah fakta bahwa saya memang tidak mengharap kunjungan balik. Saya biasa saja menjadi orang terlupakan lantas tidak terlalu penting untuk dikunjungi. 

 

Singkatnya, saya mengunjungi orang karena memang ingin mengunjungi, memiliki waktu luang, dan energi yang cukup, tanpa berharap mereka melakukan hal yang sama. Bisa jadi mereka tidak berkunjung memang karena hal-hal mendesak. 

 

Hal-hal di atas, kadang bertumpuk menjadi satu: Saya berkunjung ke saudara yang memang jarang bertemu kecuali pada waktu Idulfitri, dan, suasana kaku tak terhindarkan sama sekali. Kami kesulitan mencari topik untuk mencairkan suasana setelah saling mengucap maaf satu sama lain, meski masing-masing pihak merasa tidak memiliki salah karena terakhir bertemu ya Idulfitri tahun lalu.

 

Pada saat-saat seperti di atas, keheningan membutuhkan banyak energi untuk dipecahkan, atau ia bisa dipecahkan dengan kalimat-kalimat klise yang kami sudah tahu: Lama tidak hujan, ya; cuaca sangat panas; sudah punya tunangan?

 

Kebetulan tahun ini, karena alasan pandemi, saya dan keluarga tidak banyak berkunjung pada saudara jauh dan memilih sanak saudara dekat. Dan lebih berkunjung pada tetangga serta orang-orang yang memang berinteraksi sehari-hari, sebab mereka adalah orang yang paling pantas untuk dimohonmaafi.

 

Saya juga memiliki kesempatan untuk berkunjung pada kawan-kawan dekat di sekitar rumah dan menghabiskan banyak waktu haha-hihi. Pada mereka ini saya tidak pernah kehabisan topik. Scene berkunjung pada kawan dekat menjadi momen yang menyenangkan, Idulfitri maupun bukan. 

 

Saya ingin menikmati Idulfitri dengan lebih baik, memaknai Idulfitri sebagi tradisi yang tidak monoton, dengan berkunjung pada orang-orang yang memang layak dikunjungi, baik sanak maupun kawan, dan meminta maaf dengan tulus. Dengan demikian atmosfer khas Idulfitri akan terus menyisakan kebahagiaan yang berat ditanggung tubuh, serupa kegembiraan anak-anak mendapat sangu. Komposisi yang menghangatkan.

 

Tanpa komposisi yang menghangatkan suasana di atas, kita akan merasakan Idulfitri sebatas masuk ke rumah orang barang beberapa menit, mengambil suguhan sekadarnya, lalu pamit ke tumah lain untuk mengulangi ritme serupa.