Senin, 30 November 2020

Agama dan Saryono

Dulu ada kepala diputus dari leher atas nama agama, hari-hari ini masih ada, kelak besar dugaan akan ada. Seolah menegaskan pada kita bahwa agama tidak serta merta menyediakan jawab pasti untuk pertanyaan: Apakah ia tidak dapat membangun pikiran manusia?

 

Dalam catatan sejarah, Yesus telah mengajarkan kasih sayang dan Nabi Muhammad menebar rahmat bagi alam dan tokoh lain dari agama-agama memiliki prinsip yang sama. Tetapi konflik tampil sebagai warisan yang lebih purba, lebih awet. Ia hadir bersanding dengan manusia sejengkal lebih jauh dari oksigen. 

 

Di tengah persinggungan itu, manusia butuh oase, dari kepala-kepala dingin yang merefleksikan ajaran agama sebagai pembangun utuh peradaban, meski konflik akan terus hidup. Dan, menurut saya, salah satu orang berkepala dingin itu adalah Saryono.

 

Ia seorang lelaki yang lahir di Jawa Tengah dan sekarang mengabdikan diri di Maha Vihara Majapahit, Mojokerto. Saya bertemu Saryono pertengahan Juni 2019, ditemani Rahma dan Fatiha, bukan sebagai siapa-siapa kecuali orang yang ingin melakukan wawancara personal. 

 

Kawan saya—Fatiha, mengatakan tempat itu terkenal sebagai destinasi wisata, dan setelah saya masuk, banyak orang tampak berfoto sebagai turis. Ketika Saryono mengatakan bahwa sebenarnya tempat itu adalah Maha Vihara—tempat ibadah, saya tertegun. Orang-orang datang ke rumah tuhan dan hanya bertujuan untuk berfoto seperti bukan hal yang dianggap tabu lagi. Pantas-pantas saja.

 

Dan saya minta tanggapan Saryono tentang itu. Ia menjawab: “Saya pikir selama tidak mengganggu ketenteraman publik, tidak ada masalah. Sebab kami—umat Buddhis—berkeyakinan bahwa Buddha itu bukan agama, Buddha itu perilaku.” Gagasan yang terang: Baginya, Buddha harus berpijak pada cita-cita luhur untuk menjadikan bumi sebagai Firdaus, melalui perilaku manusia yang mau tidak mau harus luhur. 

 

Apa yang dikatakan Saryono saya temukan dalam bentuk lain dari Bhikkhu Uttamo. Ia menjelaskan bahwa wangi semerbak dupa dalam ibadah Buddha adalah simbol. Jika dupa dapat menjadikan seluruh ruangan wangi, maka selayaknya manusia juga mampu memberi aroma wangi, dengan pikiran, hati, dan perilaku, di lingkungan tempat ia hidup. Apa yang dikatakan Saryono maupun Bhikkhu Uttamo bermuara pada satu kesimpulan: Jangan rugikan sesama. 

 

Bukan menjadi klandestin lagi, misi semua agama saya pikir berada dalam garis yang sama, menjadikan manusia sebaik yang ia bisa. Tetapi kata baik memang tidak mudah dijelaskan. Ia memiliki tafsir sebanyak kepala manusia. Namun kita tahu setiap perilaku tidak baik: membunuh, menipu, mengambil hak orang, dan sebagainya. 

 

Dan agama, diakui atau tidak, menyediakan argumen legitimatif untuk menghabisi musuh. Maka, jika dipertemukan dengan ajaran agama, pada titik tertentu membunuh bisa menjadi baik. Praktis ia bertabrakan dengan prinsip dasar bahwa membunuh tidak baik. Baik dan tidak baik sepertinya tidak akan pernah hitam putih. Apa yang universal dari kata baik akan berubah ketika bersentuhan dengan gejala di dunia nyata. Tetapi, tidakkah agama mampu memperbaiki manusia? Menjadikan makhluk ini membangun secuil utopia di bumi?

 

Sejarah mengatakan tidak. Keadaan baik-baik saja tidak pernah bertahan lama. Kita mungkin akan selalu masuk dalam kondisi—meminjam istilah Thomas Hobbes—Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Manusia akan merusak, bahkan melalui agama.

 

Agama akan merasuk dalam pikiran manusia dan dengan itulah ia melihat dunia realitas. Emile Durkheim menunjukkan dengan cerah bahwa manusia, melalui agama, memiliki dua dunia: dunia profan dan dunia sakral. Dunia profan adalah dunia ketika seseorang dapat berinteraksi dengan sesama tanpa kehilangan otoritas dirinya sendiri, atau tidak menilai orang lain dengan cara pandang kelompoknya. Ia melihat orang lain dari dirinya sendiri. 

 

Sedangkan dunia sakral adalah dunia ketika ia masuk dalam dunia pikir kelompok. Hal ini terjadi ketika seseorang tidak memiliki cara bertindak dan berpikir yang mandiri sehingga ia mudah dikendalikan massa. Sebagai misal, seseorang yang berada dalam demonstrasi, akan terbawa suasana di lapangan, emosinya akan menyatu dengan orang banyak sebagai kelompok sehingga cara berpikirnya sebagai individu lenyap. Ia tidak lagi berdiri sebagai individu, tetapi kelompok.

 

Dalam skala yang sama, seseorang juga dapat larut dalam cara berpikir agama yang para tokohnya tidak pernah seragam mendefinisikan teks kitab suci, sehingga apa yang baik dan apa yang buruk akan selalu tampil dengan banyak wajah. 

 

Manusia sebenarnya dapat menempatkan diri dengan baik, secara bergantian, apakah ia berada di dunia profan atau dunia sakral. Yudi Latif, melihat masalah kakunya beragama adalah akibat langsung dari ketidakmampuan manusia keluar dari dunia sakral, sehingga melihat orang lain dari kaca mata kelompok. Jika ia memiliki pandangan yang berbeda di bidang keyakinan, misalnya, ia akan otomatis mengidentifikasi orang itu bukan dari golongannya. 

 

Saya pikir, bukan hanya terlalu lama seseorang berada di dunia sakral, tetapi ia tidak menyadari ia berada di dunia sakral itu. Dengan kata lain, tidak akan ada kesadaran diri yang utuh. Jika demikian, kita tidak bisa mengukur hingga kapan manusia akan beragama dengan kaku, berpikir menurut logika kelompok, dan menumpahkan nyawa sesama.

 

Apakah agama, seperti politik, selalu perlu dan menanti ratu adil? Saya pikir tidak. Kita perlu banyak Saryono.

Bernyawa

 Kata Kafka, awal pemahaman adalah keinginan untuk mati.

 

Saya bayangkan Soe Hok Gie membaca pernyataan di atas dan, kita tahu, ia mengatakan nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, atau dilahirkan tetapi mati muda. 

 

Sejak lama saya setuju dan mencari-cari makna bernyawa.

Minggu, 29 November 2020

Masalah Abai

Manusia kadang mendapat kesadaran penting berkenaan dengan hidupnya melalui cara-cara sederhana. Saya pernah—bahkan sering—mengalami hal itu. Beberapa bulan lalu saya bersama kawan-kawan sedang nyangkruk dan, sebagaimana maklumnya, obrolan kami ngalor ngidul lalu saya samar-samar mengeluh pada kawan tentang deadline yang numpuk.

 

Dalam sehari waktu saya nyaris habis untuk merampungkan tulisan dan otak saya berpacu menyusun dan memadukan berbagai data. Seperti yang saya ceritakan di sini, menulis bisa dibilang pekerjaan sampingan, dan membuat saya memiliki sedikit uang tanpa banyak merepotkan orang tua. Dan semua tulisan itu membikin berpacu dengan waktu. Itulah yang saya keluhkan pada kawan.

 

Seorang kawan, setelah mendengar keluhan saya, lantas menjawab, “Setiap orang perlu istirahat, Pal.” Saya mendengarnya sambil lalu dan kalimat selanjutnya membuat saya tertegun. Dengan suara dan ekspresi teduh, pelan-pelan ia mengingatkan kondisi saya di awal kuliah: masih menggunakan hp jadul, kemana-mana jalan kaki, sering cari pinjaman laptop, dan setumpuk hal lain.

 

Saya terdiam menyimak apa yang ia katakan, lalu ia melanjutkan, “Sekarang kau sudah bisa beli hp sendiri, motor, buku, juga barang lain, tanpa hutang! Kau perlu istirahat dan sedikit bersyukur.”

 

Kalimat yang ia ucapkan bagai kilat di dalam kepala dan terus bergemuruh hingga beberapa hari setelahnya. Saya melupakan anjurannya untuk bersyukur; yang terngiang hanya hasrat nostalgia, memutar ingatan pada masa awal kuliah.

 

Bisa dikatakan, saya tidak punya modal apapun untuk duduk di bangku kampus. Jangankan uang, modal otak pun tidak ada. Tabungan masa remaja sudah saya habiskan untuk beli motor, yang awalnya saya rahasiakan dari orang tua. Mudah saja melakukan itu sebab saya beli motor ketika di pesantren. Di tempat itu tidak ada santri yang protes saya beli motor, bahkan kyai sekalipun, sebab saya memiliki banyak tugas untuk kepentingan umum. semua orang memaklumi.

 

Tabungan saya kala itu tidak banyak, karenanya saya hanya mampu beli motor tua. Setelah ibu tahu, ia tidak protes. Tentu karena saya beli pakai uang sendiri. Well, saya memiliki sedikit tabungan dengan curi-curi kerja. Ketika ada kenalan butuh jasa supir, saya ambil dan kabur dari pondok. Nenek saya, jika sedang bepergian dan lewat di sekitar pondok, pasti mampir, sambil memberi sejumlah uang, tentu saja.

 

Motor tua itu terbeli dengan susah payah dan saya sangat menyayanginya. Anda tahu, bagi seorang remaja, nyantri pula, mampu beli motor cukup membanggakan. Sebegitu sayang saya pada motor itu hingga sesekali ia saya usap dengan lembut dan saya cium! Dan diam-diam saya membatin akan mampu membeli mobil beberapa tahun kemudian. Entah kenapa saya merasa sangat kaya.

 

Tetapi firasat beli mobil belum mampu terwujud. Ketika kuliah saya hanya mampu mencari “sedikit” uang, pun melalui tulis-menulis yang kadang melelahkan. Sejujurnya saya tidak lagi menyesap sensasi merasa kaya seperti ketika remaja dulu. Alih-alih, saya terus merasa kurang dan efeknya saya kerap mengambil pekerjaan yang sebenarnya di luar batas kemampuan kepala.

 

Dalam perasaan serba kurang itu, kalimat kawan saya terus menyihir. Bukan dalam rangka bersombong ria dengan barang-barang yang saya miliki—toh hanya barang sederhana, tapi kawan saya membuka tabir mata: Betapa kepala saya terlalu tenggelam dalam obsesi sehingga untuk sejenak saja saya abai memperhatikan apa-apa yang telah dicapai.

 

Setelah pulang nyangkruk hari itu, saya menenggelamkan diri dalam ingatan masa lalu, melihat-lihat apa yang telah mampu saya miliki. Tidak banyak ternyata. Tetapi saya memutar-mutarnya dalam otak, lalu mengucap syukur, dan merasakan mata menghangat oleh cairan yang turun.

 

 

Cairan mata itu menjadi saksi, bahwa saya masih belajar bersyukur.

Pedagang

 Seorang wanita penjual makanan ringan memasuki sebuah bis yang sedang parkir di terminal menunggu tambahan penumpang. Ia menawarkan dagangan pada seorang bocah yang sedang asyik mendengarkan musik dengan penyumbat telinga. 


“Kacang, Nak, lima ribu dapat tiga,” ucap wanita itu dengan raut wajah letih. Si bocah, karena iba, mengeluarkan uang lima ribu untuk membeli makanan ringan. Ia mengambil makanan berharga dua ribu rupiah. 


“Kembaliannya tidak usah, Bu. Untuk sampean saja,” kata bocah itu. Wanita penjual makanan tampak bahagia sehingga ia mengucap terima kasih dengan cara yang sedikit berlebihan, dan matanya berkaca-kaca. Lalu wanita itu pergi dengan raut wajah lebih cerah.


Si bocah tertegun, betapa uang tiga ribu membuat si wanita begitu senang. Ia mulai berpikir mungkin dagangannya sulit laku selama pandemi. Ia mulai berpikir untuk lebih sering memberikan sedikit uang pada pedagang kecil dengan cara itu.

Minggu, 15 November 2020

Nawang, Sabdo, Nohan, dan Percakapan Tentang Menikah

Nawang mengulangi rutinitas tiap paginya: Berjalan mengelilingi kompleks dengan ketenangan seperti biasa hingga ia bertemu bapak yang memperkenalkan diri dengan nama Sabdo dan, dengan tiba-tiba, meramal bahwa Nawang akan mendapat musibah. 

 

Nawang menatap lembut pria dengan rambut putih rata itu dan Sabdo mengajaknya bercakakap-cakap. Si Kakek mula-mula menegaskan perkiraan tentang masa depan Nawang yang akan mengalami musibah sebab semua orang akan mendapat musibah, dengan kadar besar atau kecil.

 

“Berarti itu bukan ramalan, semua orang akan mendapat musibah, sekecil apapun,” kata Nawang. Ucapan itu diikuti gelak tawa kecil yang sebenarnya dibuat-buat begitu Nawang sadar bahwa ramalan tersebut hanya kelakar. Mungkin ia kakek yang sedang kesepian dan butuh teman bercakap-cakap, pikirnya. 

 

“Berapa usiamu, Nak?”

 

Nawang menjawab usianya 24 dan Kakek Sabdo mengangguk-ngangguk seperti sedang menyimpulkan sesuatu dan ia dengan santai membuka percakapan mereka. “Ketika aku seusiamu, angkatan laut membuka pendaftaran, aku ikut seleksi, beberapa waktu kemudian aku resmi menjadi tentara.”

 

Sabdo menangkap gerak-gerik Nawang yang mulai mengira percakapan ini akan membosankan. Sabdo yang telah bercakap-cakap dengan banyak anak muda selama hidupnya tidak kesulitan membaca pola bahasa tubuh. 

 

“Dan ketika aku resmi mendapat pekerjaan, aku mulai berpikir untuk menikah,” ucapnya. Nawang masih mendengarkan dan ekspresinya berubah sedikit antusias ketika ia mendengar kata “menikah”, sebab ia juga sedang memikirkan persoalan itu. 

 

Kereta lewat beberapa puluh meter di depan mereka, membuat bising sejenak lalu sedikit senyap ketika kereta menjauh. Tanaman pucuk merah di belakang mereka menghentikan lambaian terakhir dari sisa angin kereta. Burung-burung terbang menuju gedung kampus yang tak jauh ada di belakang mereka juga. Sabdo membiarkan keheningan menggantung seperti memahami pikiran Nawang sedang melesat jauh dari tempat mereka duduk. Sabdo benar.

 

Beberapa waktu lalu Nawang menikmati taman asri, bersama seorang gadis yang ia kenal di kampus. Fakultas mereka berbeda. Nohan ia kenal karena suatu event dan lambat laun mereka akrab. Di banyak kesempatan, termasuk di taman, Nawang terlalu banyak berbicara tentang persoalan penelitian dan itulah kira-kira yang membuat Nohan bosan dan wanita ini memotong ocehan Nohan lantas mengajukan pertanyaan, “Kau pernah terpikir untuk menikah?”

 

“Semua lelaki pernah berpikir tentang menikah, Han.”

 

“Menarik,” respon Nohan sambil memetik satu tangkai dedaunan. “Aku pikir kau tidak berminat menikah.”

 

Nawang tersenyum. “Kau mau mendengar ocehanku tentang pernikahan?”

 

“Untuk itulah aku bertanya.”

 

Nawang memperbaiki posisi duduknya, meminum dua teguk air lalu merasa sedikit kebingungan membuka kalimatnya dari mana. “Akan aku mulai dengan kesimpulan: pernikahan itu rumit dan ngeri. Kau tahu, rumit menandakan ia tidak hanya memerlukan kematangan dua belah pihak. Ngeri adalah efek dari pernikahan di mana dua pihak sebenarnya masih tidak siap. Akan aku jelaskan lebih lanjut.

 

“Aku belum pernah merasa siap menikah, sebab merasa kurang pantas dan belum dewasa, ini adalah perpanjangan dari apa yang aku maksud rumit. Tentu saja selama melajang aku tertarik pada wanita. Bahkan mungkin si wanita juga akan tertarik jika aku mau berusaha mendekati. Di depan wanita, aku bisa mencitrakan diri sedemikian rupa. Tetapi di depan orangtuanya, siapalah aku? Bocah yang belum mandiri, apalagi mampu menghidupi anak orang dengan layak.”

 

Nohan mengangguk memberi sinyal ia masih menyimak.

 

“Tanpa persiapan materi yang matang, imbas buruk antara lain mengarah pada masa depan anak-anak. Mereka besar dengan pendidikan yang biasa-biasa saja dan menyedihkan jika dibanding dengan anak orang kaya. Pada umumnya, ekonomi yang bagus dapat mengantar anak akses pengetahuan kelas satu. Dari sini lahirlah ketimpangan-ketimpangan baru. Inilah ngeri.

 

“Pikiran murung,” kata Nohan.

 

Nawang tak bosan tersenyum. “Itu baru masalah pendidikan, belum persoalan elementer lain. Percayalah, kita sudah terjebak dalam sistem sosial-ekonomi yang mengharuskan kita memiliki keterampilan sedemikian rupa untuk dapat hidup. Di luar keberuntungan, tentu saja. Dan untuk mempermudah semuanya, kita butuh uang.”

 

Terdapat jeda sejenak, sebelum Nohan membantah Nawang.“Kita tahu, banyak orang tumbuh sukses meski mereka berasal dari keluarga miskin.”

 

“Benar,” sahut Nawang. “Tetapi aku tidak mau mengambil risiko pada sesuatu yang masih mungkin. Aku terlalu menyayangi anak-anakku. Aku hanya tidak mau menikah dengan kondisi keuangan yang tidak jelas. Kau paham maksudku? Sekarang, dengan kesadaran seperti itu, aku sudah menyayangi anakku, jauh sebelum mereka lahir.”

 

“Kau tak percaya menikah melancarkan rezeki?”

 

“Omong kosong. Jika itu benar, keluarga miskin di Indonesia sudah pasti lenyap.”

 

Percakapan mereka masih berlanjut hingga cukup lama. Nawang menjelaskan dengan ekspresi lebih santai bahwa ia hanya tidak ingin menyiksa keluarganya kelak dengan ketidaksiapan pribadinya. Sudah sejak lama, sebelum viral di media sosial, ia memiliki keyakinan bahwa tidak layak mengajak wanita menikah hanya untuk bersusah-susah.

 

Pada dasarnya ia memahami perbedaan antara berjuang dan susah. Ia bisa saja mengajak wanita menikah dan berjuang bersama. Arti berjuang ini adalah menetapkan tujuan, dan ada langkan khusus yang dipertahankan untuk mencapai tujuan. Itulah berjuang. sedangkan susah ya susah. Hanya alat legitimasi dari pria untuk mengambinghitamkan “susah” untuk kemalasan pribadinya. 

 

Setelah menjelaskan itu semua, Nawang menyudahi topik ini dengan ucapan, “Kita tidak patut bermain-main dengan masa depan orang lain. Apalagi menikah.... well, ada dua keluarga yang disatukan.”

 

Nohan pelan-pelan memahami sepenuhnya apa ia dengar dan berkomentar, “Aku bahkan tak pernah berpikir sejauh itu. Mungkin karena glorifikasi yang berlebihan.

 

“Glorifikasi yang sayangnya telah melahirkan jutaan anak terlantar. Menyadari itu kadang membuatku enggan menikah. Tapi, dasar hati sialan, aku bisa apa ketika perasaan tertarik pada wanita datang...”

 

Sebagian kecil percakapan itulah—terutama ujung-ujung percakapan—yang dipikirkan Nawang ketika duduk bersama Sabdo. Dan seperti mengetahui apa yang dipacu oleh otak bocah disampingnya, si Kakek memecah hening, “Anak lelaki sebaiknya memang menunda mendekati wanita sebelum semua siap. Kasihan wanita, mereka butuh lelaki yang siap. Dan apakah kau memiliki kekasih, Nak?”

 

“Tidak,” jawab Nawang singkat, sambil merasakan pikiran dan hatinya tertuju pada seseorang.