Dulu ada kepala diputus dari leher atas nama agama, hari-hari ini masih ada, kelak besar dugaan akan ada. Seolah menegaskan pada kita bahwa agama tidak serta merta menyediakan jawab pasti untuk pertanyaan: Apakah ia tidak dapat membangun pikiran manusia?
Dalam catatan sejarah, Yesus telah mengajarkan kasih sayang dan Nabi Muhammad menebar rahmat bagi alam dan tokoh lain dari agama-agama memiliki prinsip yang sama. Tetapi konflik tampil sebagai warisan yang lebih purba, lebih awet. Ia hadir bersanding dengan manusia sejengkal lebih jauh dari oksigen.
Di tengah persinggungan itu, manusia butuh oase, dari kepala-kepala dingin yang merefleksikan ajaran agama sebagai pembangun utuh peradaban, meski konflik akan terus hidup. Dan, menurut saya, salah satu orang berkepala dingin itu adalah Saryono.
Ia seorang lelaki yang lahir di Jawa Tengah dan sekarang mengabdikan diri di Maha Vihara Majapahit, Mojokerto. Saya bertemu Saryono pertengahan Juni 2019, ditemani Rahma dan Fatiha, bukan sebagai siapa-siapa kecuali orang yang ingin melakukan wawancara personal.
Kawan saya—Fatiha, mengatakan tempat itu terkenal sebagai destinasi wisata, dan setelah saya masuk, banyak orang tampak berfoto sebagai turis. Ketika Saryono mengatakan bahwa sebenarnya tempat itu adalah Maha Vihara—tempat ibadah, saya tertegun. Orang-orang datang ke rumah tuhan dan hanya bertujuan untuk berfoto seperti bukan hal yang dianggap tabu lagi. Pantas-pantas saja.
Dan saya minta tanggapan Saryono tentang itu. Ia menjawab: “Saya pikir selama tidak mengganggu ketenteraman publik, tidak ada masalah. Sebab kami—umat Buddhis—berkeyakinan bahwa Buddha itu bukan agama, Buddha itu perilaku.” Gagasan yang terang: Baginya, Buddha harus berpijak pada cita-cita luhur untuk menjadikan bumi sebagai Firdaus, melalui perilaku manusia yang mau tidak mau harus luhur.
Apa yang dikatakan Saryono saya temukan dalam bentuk lain dari Bhikkhu Uttamo. Ia menjelaskan bahwa wangi semerbak dupa dalam ibadah Buddha adalah simbol. Jika dupa dapat menjadikan seluruh ruangan wangi, maka selayaknya manusia juga mampu memberi aroma wangi, dengan pikiran, hati, dan perilaku, di lingkungan tempat ia hidup. Apa yang dikatakan Saryono maupun Bhikkhu Uttamo bermuara pada satu kesimpulan: Jangan rugikan sesama.
Bukan menjadi klandestin lagi, misi semua agama saya pikir berada dalam garis yang sama, menjadikan manusia sebaik yang ia bisa. Tetapi kata baik memang tidak mudah dijelaskan. Ia memiliki tafsir sebanyak kepala manusia. Namun kita tahu setiap perilaku tidak baik: membunuh, menipu, mengambil hak orang, dan sebagainya.
Dan agama, diakui atau tidak, menyediakan argumen legitimatif untuk menghabisi musuh. Maka, jika dipertemukan dengan ajaran agama, pada titik tertentu membunuh bisa menjadi baik. Praktis ia bertabrakan dengan prinsip dasar bahwa membunuh tidak baik. Baik dan tidak baik sepertinya tidak akan pernah hitam putih. Apa yang universal dari kata baik akan berubah ketika bersentuhan dengan gejala di dunia nyata. Tetapi, tidakkah agama mampu memperbaiki manusia? Menjadikan makhluk ini membangun secuil utopia di bumi?
Sejarah mengatakan tidak. Keadaan baik-baik saja tidak pernah bertahan lama. Kita mungkin akan selalu masuk dalam kondisi—meminjam istilah Thomas Hobbes—Homo homini lupus, manusia adalah serigala bagi manusia lain. Manusia akan merusak, bahkan melalui agama.
Agama akan merasuk dalam pikiran manusia dan dengan itulah ia melihat dunia realitas. Emile Durkheim menunjukkan dengan cerah bahwa manusia, melalui agama, memiliki dua dunia: dunia profan dan dunia sakral. Dunia profan adalah dunia ketika seseorang dapat berinteraksi dengan sesama tanpa kehilangan otoritas dirinya sendiri, atau tidak menilai orang lain dengan cara pandang kelompoknya. Ia melihat orang lain dari dirinya sendiri.
Sedangkan dunia sakral adalah dunia ketika ia masuk dalam dunia pikir kelompok. Hal ini terjadi ketika seseorang tidak memiliki cara bertindak dan berpikir yang mandiri sehingga ia mudah dikendalikan massa. Sebagai misal, seseorang yang berada dalam demonstrasi, akan terbawa suasana di lapangan, emosinya akan menyatu dengan orang banyak sebagai kelompok sehingga cara berpikirnya sebagai individu lenyap. Ia tidak lagi berdiri sebagai individu, tetapi kelompok.
Dalam skala yang sama, seseorang juga dapat larut dalam cara berpikir agama yang para tokohnya tidak pernah seragam mendefinisikan teks kitab suci, sehingga apa yang baik dan apa yang buruk akan selalu tampil dengan banyak wajah.
Manusia sebenarnya dapat menempatkan diri dengan baik, secara bergantian, apakah ia berada di dunia profan atau dunia sakral. Yudi Latif, melihat masalah kakunya beragama adalah akibat langsung dari ketidakmampuan manusia keluar dari dunia sakral, sehingga melihat orang lain dari kaca mata kelompok. Jika ia memiliki pandangan yang berbeda di bidang keyakinan, misalnya, ia akan otomatis mengidentifikasi orang itu bukan dari golongannya.
Saya pikir, bukan hanya terlalu lama seseorang berada di dunia sakral, tetapi ia tidak menyadari ia berada di dunia sakral itu. Dengan kata lain, tidak akan ada kesadaran diri yang utuh. Jika demikian, kita tidak bisa mengukur hingga kapan manusia akan beragama dengan kaku, berpikir menurut logika kelompok, dan menumpahkan nyawa sesama.
Apakah agama, seperti politik, selalu perlu dan menanti ratu adil? Saya pikir tidak. Kita perlu banyak Saryono.