Minggu, 15 November 2020

Nawang, Sabdo, Nohan, dan Percakapan Tentang Menikah

Nawang mengulangi rutinitas tiap paginya: Berjalan mengelilingi kompleks dengan ketenangan seperti biasa hingga ia bertemu bapak yang memperkenalkan diri dengan nama Sabdo dan, dengan tiba-tiba, meramal bahwa Nawang akan mendapat musibah. 

 

Nawang menatap lembut pria dengan rambut putih rata itu dan Sabdo mengajaknya bercakakap-cakap. Si Kakek mula-mula menegaskan perkiraan tentang masa depan Nawang yang akan mengalami musibah sebab semua orang akan mendapat musibah, dengan kadar besar atau kecil.

 

“Berarti itu bukan ramalan, semua orang akan mendapat musibah, sekecil apapun,” kata Nawang. Ucapan itu diikuti gelak tawa kecil yang sebenarnya dibuat-buat begitu Nawang sadar bahwa ramalan tersebut hanya kelakar. Mungkin ia kakek yang sedang kesepian dan butuh teman bercakap-cakap, pikirnya. 

 

“Berapa usiamu, Nak?”

 

Nawang menjawab usianya 24 dan Kakek Sabdo mengangguk-ngangguk seperti sedang menyimpulkan sesuatu dan ia dengan santai membuka percakapan mereka. “Ketika aku seusiamu, angkatan laut membuka pendaftaran, aku ikut seleksi, beberapa waktu kemudian aku resmi menjadi tentara.”

 

Sabdo menangkap gerak-gerik Nawang yang mulai mengira percakapan ini akan membosankan. Sabdo yang telah bercakap-cakap dengan banyak anak muda selama hidupnya tidak kesulitan membaca pola bahasa tubuh. 

 

“Dan ketika aku resmi mendapat pekerjaan, aku mulai berpikir untuk menikah,” ucapnya. Nawang masih mendengarkan dan ekspresinya berubah sedikit antusias ketika ia mendengar kata “menikah”, sebab ia juga sedang memikirkan persoalan itu. 

 

Kereta lewat beberapa puluh meter di depan mereka, membuat bising sejenak lalu sedikit senyap ketika kereta menjauh. Tanaman pucuk merah di belakang mereka menghentikan lambaian terakhir dari sisa angin kereta. Burung-burung terbang menuju gedung kampus yang tak jauh ada di belakang mereka juga. Sabdo membiarkan keheningan menggantung seperti memahami pikiran Nawang sedang melesat jauh dari tempat mereka duduk. Sabdo benar.

 

Beberapa waktu lalu Nawang menikmati taman asri, bersama seorang gadis yang ia kenal di kampus. Fakultas mereka berbeda. Nohan ia kenal karena suatu event dan lambat laun mereka akrab. Di banyak kesempatan, termasuk di taman, Nawang terlalu banyak berbicara tentang persoalan penelitian dan itulah kira-kira yang membuat Nohan bosan dan wanita ini memotong ocehan Nohan lantas mengajukan pertanyaan, “Kau pernah terpikir untuk menikah?”

 

“Semua lelaki pernah berpikir tentang menikah, Han.”

 

“Menarik,” respon Nohan sambil memetik satu tangkai dedaunan. “Aku pikir kau tidak berminat menikah.”

 

Nawang tersenyum. “Kau mau mendengar ocehanku tentang pernikahan?”

 

“Untuk itulah aku bertanya.”

 

Nawang memperbaiki posisi duduknya, meminum dua teguk air lalu merasa sedikit kebingungan membuka kalimatnya dari mana. “Akan aku mulai dengan kesimpulan: pernikahan itu rumit dan ngeri. Kau tahu, rumit menandakan ia tidak hanya memerlukan kematangan dua belah pihak. Ngeri adalah efek dari pernikahan di mana dua pihak sebenarnya masih tidak siap. Akan aku jelaskan lebih lanjut.

 

“Aku belum pernah merasa siap menikah, sebab merasa kurang pantas dan belum dewasa, ini adalah perpanjangan dari apa yang aku maksud rumit. Tentu saja selama melajang aku tertarik pada wanita. Bahkan mungkin si wanita juga akan tertarik jika aku mau berusaha mendekati. Di depan wanita, aku bisa mencitrakan diri sedemikian rupa. Tetapi di depan orangtuanya, siapalah aku? Bocah yang belum mandiri, apalagi mampu menghidupi anak orang dengan layak.”

 

Nohan mengangguk memberi sinyal ia masih menyimak.

 

“Tanpa persiapan materi yang matang, imbas buruk antara lain mengarah pada masa depan anak-anak. Mereka besar dengan pendidikan yang biasa-biasa saja dan menyedihkan jika dibanding dengan anak orang kaya. Pada umumnya, ekonomi yang bagus dapat mengantar anak akses pengetahuan kelas satu. Dari sini lahirlah ketimpangan-ketimpangan baru. Inilah ngeri.

 

“Pikiran murung,” kata Nohan.

 

Nawang tak bosan tersenyum. “Itu baru masalah pendidikan, belum persoalan elementer lain. Percayalah, kita sudah terjebak dalam sistem sosial-ekonomi yang mengharuskan kita memiliki keterampilan sedemikian rupa untuk dapat hidup. Di luar keberuntungan, tentu saja. Dan untuk mempermudah semuanya, kita butuh uang.”

 

Terdapat jeda sejenak, sebelum Nohan membantah Nawang.“Kita tahu, banyak orang tumbuh sukses meski mereka berasal dari keluarga miskin.”

 

“Benar,” sahut Nawang. “Tetapi aku tidak mau mengambil risiko pada sesuatu yang masih mungkin. Aku terlalu menyayangi anak-anakku. Aku hanya tidak mau menikah dengan kondisi keuangan yang tidak jelas. Kau paham maksudku? Sekarang, dengan kesadaran seperti itu, aku sudah menyayangi anakku, jauh sebelum mereka lahir.”

 

“Kau tak percaya menikah melancarkan rezeki?”

 

“Omong kosong. Jika itu benar, keluarga miskin di Indonesia sudah pasti lenyap.”

 

Percakapan mereka masih berlanjut hingga cukup lama. Nawang menjelaskan dengan ekspresi lebih santai bahwa ia hanya tidak ingin menyiksa keluarganya kelak dengan ketidaksiapan pribadinya. Sudah sejak lama, sebelum viral di media sosial, ia memiliki keyakinan bahwa tidak layak mengajak wanita menikah hanya untuk bersusah-susah.

 

Pada dasarnya ia memahami perbedaan antara berjuang dan susah. Ia bisa saja mengajak wanita menikah dan berjuang bersama. Arti berjuang ini adalah menetapkan tujuan, dan ada langkan khusus yang dipertahankan untuk mencapai tujuan. Itulah berjuang. sedangkan susah ya susah. Hanya alat legitimasi dari pria untuk mengambinghitamkan “susah” untuk kemalasan pribadinya. 

 

Setelah menjelaskan itu semua, Nawang menyudahi topik ini dengan ucapan, “Kita tidak patut bermain-main dengan masa depan orang lain. Apalagi menikah.... well, ada dua keluarga yang disatukan.”

 

Nohan pelan-pelan memahami sepenuhnya apa ia dengar dan berkomentar, “Aku bahkan tak pernah berpikir sejauh itu. Mungkin karena glorifikasi yang berlebihan.

 

“Glorifikasi yang sayangnya telah melahirkan jutaan anak terlantar. Menyadari itu kadang membuatku enggan menikah. Tapi, dasar hati sialan, aku bisa apa ketika perasaan tertarik pada wanita datang...”

 

Sebagian kecil percakapan itulah—terutama ujung-ujung percakapan—yang dipikirkan Nawang ketika duduk bersama Sabdo. Dan seperti mengetahui apa yang dipacu oleh otak bocah disampingnya, si Kakek memecah hening, “Anak lelaki sebaiknya memang menunda mendekati wanita sebelum semua siap. Kasihan wanita, mereka butuh lelaki yang siap. Dan apakah kau memiliki kekasih, Nak?”

 

“Tidak,” jawab Nawang singkat, sambil merasakan pikiran dan hatinya tertuju pada seseorang.