Manusia kadang mendapat kesadaran penting berkenaan dengan hidupnya melalui cara-cara sederhana. Saya pernah—bahkan sering—mengalami hal itu. Beberapa bulan lalu saya bersama kawan-kawan sedang nyangkruk dan, sebagaimana maklumnya, obrolan kami ngalor ngidul lalu saya samar-samar mengeluh pada kawan tentang deadline yang numpuk.
Dalam sehari waktu saya nyaris habis untuk merampungkan tulisan dan otak saya berpacu menyusun dan memadukan berbagai data. Seperti yang saya ceritakan di sini, menulis bisa dibilang pekerjaan sampingan, dan membuat saya memiliki sedikit uang tanpa banyak merepotkan orang tua. Dan semua tulisan itu membikin berpacu dengan waktu. Itulah yang saya keluhkan pada kawan.
Seorang kawan, setelah mendengar keluhan saya, lantas menjawab, “Setiap orang perlu istirahat, Pal.” Saya mendengarnya sambil lalu dan kalimat selanjutnya membuat saya tertegun. Dengan suara dan ekspresi teduh, pelan-pelan ia mengingatkan kondisi saya di awal kuliah: masih menggunakan hp jadul, kemana-mana jalan kaki, sering cari pinjaman laptop, dan setumpuk hal lain.
Saya terdiam menyimak apa yang ia katakan, lalu ia melanjutkan, “Sekarang kau sudah bisa beli hp sendiri, motor, buku, juga barang lain, tanpa hutang! Kau perlu istirahat dan sedikit bersyukur.”
Kalimat yang ia ucapkan bagai kilat di dalam kepala dan terus bergemuruh hingga beberapa hari setelahnya. Saya melupakan anjurannya untuk bersyukur; yang terngiang hanya hasrat nostalgia, memutar ingatan pada masa awal kuliah.
Bisa dikatakan, saya tidak punya modal apapun untuk duduk di bangku kampus. Jangankan uang, modal otak pun tidak ada. Tabungan masa remaja sudah saya habiskan untuk beli motor, yang awalnya saya rahasiakan dari orang tua. Mudah saja melakukan itu sebab saya beli motor ketika di pesantren. Di tempat itu tidak ada santri yang protes saya beli motor, bahkan kyai sekalipun, sebab saya memiliki banyak tugas untuk kepentingan umum. semua orang memaklumi.
Tabungan saya kala itu tidak banyak, karenanya saya hanya mampu beli motor tua. Setelah ibu tahu, ia tidak protes. Tentu karena saya beli pakai uang sendiri. Well, saya memiliki sedikit tabungan dengan curi-curi kerja. Ketika ada kenalan butuh jasa supir, saya ambil dan kabur dari pondok. Nenek saya, jika sedang bepergian dan lewat di sekitar pondok, pasti mampir, sambil memberi sejumlah uang, tentu saja.
Motor tua itu terbeli dengan susah payah dan saya sangat menyayanginya. Anda tahu, bagi seorang remaja, nyantri pula, mampu beli motor cukup membanggakan. Sebegitu sayang saya pada motor itu hingga sesekali ia saya usap dengan lembut dan saya cium! Dan diam-diam saya membatin akan mampu membeli mobil beberapa tahun kemudian. Entah kenapa saya merasa sangat kaya.
Tetapi firasat beli mobil belum mampu terwujud. Ketika kuliah saya hanya mampu mencari “sedikit” uang, pun melalui tulis-menulis yang kadang melelahkan. Sejujurnya saya tidak lagi menyesap sensasi merasa kaya seperti ketika remaja dulu. Alih-alih, saya terus merasa kurang dan efeknya saya kerap mengambil pekerjaan yang sebenarnya di luar batas kemampuan kepala.
Dalam perasaan serba kurang itu, kalimat kawan saya terus menyihir. Bukan dalam rangka bersombong ria dengan barang-barang yang saya miliki—toh hanya barang sederhana, tapi kawan saya membuka tabir mata: Betapa kepala saya terlalu tenggelam dalam obsesi sehingga untuk sejenak saja saya abai memperhatikan apa-apa yang telah dicapai.
Setelah pulang nyangkruk hari itu, saya menenggelamkan diri dalam ingatan masa lalu, melihat-lihat apa yang telah mampu saya miliki. Tidak banyak ternyata. Tetapi saya memutar-mutarnya dalam otak, lalu mengucap syukur, dan merasakan mata menghangat oleh cairan yang turun.
Cairan mata itu menjadi saksi, bahwa saya masih belajar bersyukur.