Kamis, 04 Juni 2020

Menulis untuk Uang


Pada suatu hari dan itu hari yang cukup baik, saya nongkrong bersama seorang teman. Pikiran kawan saya tertuju pada zaman ketika ia menjadi mahasiswa yang serba mengutamakan ilmu di atas uang. Sekarang kondisinya sudah berubah: menghadapi kehidupan yang tidak lagi ditanggung orang tua, menurutnya, membuka mata bahwa uang menjadi orientasi utama untuk menopang hidup.

“Sekarang yang penting adalah uang,” katanya, “kau bisa ndakik-ndakik mengatakan uang bukan segalanya, tapi kelak, jika kau sudah dihadapkan dengan realitas, kau akan berpikir berbeda.”

Saya setuju padanya. Sejak remaja, saya sudah mulai meninggalkan ketergantungan pada orangtua, dan mendapati bahwa uang cukup penting—untuk tidak mengatakan yang paling penting. Kesadaran itu membuat cara pandang saya berimbas pada sikap: saya masih sering mengutamakan uang di atas hal-hal lain, dunia akademik misalnya.

Sebagian besar saudara dan kawan memandang saya serba idealis ketika menyangkut dunia akademik, atau keilmuan. Padahal tidak. Banyak hal-hal yang saya lakukan di bidang akademik hanya berorientasi uang. Ketika semester tiga, saya mendapati tawaran untuk menulis makalah dosen, dengan jumlah bayaran tertentu, dan saya setuju. Ternyata menulis makalah bisa dapat uang, pikir saya saat itu. Enak juga.

Di semester-semester berikutnya, ada beberapa dosen yang mulai melirik makalah yang saya tulis untuk kelas perkuliahan sehari-hari. Mereka yang cukup tertarik mulai menghubungi saya dan meminta untuk menuliskan jurnal untuk mereka, dan saya setuju selama honornya sesuai. Pada masa-masa itu—hingga sekarang—saya terus melatih skill menulis untuk dapat bersaing saat “duet” bersama atasan.

 Sampai suatu ketika, seorang dosen melibatkan saya dalam proyek penelitian dengan jumlah honor yang cukup besar. O, saya makin menikmati dunia tulis-menulis untuk uang. Sebenarnya, sebagai mahasiswa, saya akan memiliki tingkat karir akademik yang cukup cemerlang jika mau menulis jurnal untuk diterbitkan atas nama saya sendiri. Tapi tidak, saya lebih menikmati uang.

Orang bisa membaca tulisan saya, tanpa tahu saya. Jurnal yang saya tulis pernah menjadi obrolan hangat di tengah lingkungan saya, meski mereka tidak tahu bahwa saya penulisnya—karena terbit atas nama orang, dan saya cukup puas. Anda tahu, orang dengan antusias mendiskusikan tulisan anda tanpa tahu bahwa anda sosok penting di balik layar, memiliki tingkat kepuasan tersendiri. Tentu selama anda termasuk orang yang gemar berada di balik layar.

Kelak saya tahu bahwa sebutan untuk penulis semacam ini adalah ghost writer.

Siapa tahu tulisan ini dibaca orang-orang yang menganggap saya idealis, dalam arti mengutamakan karir akademik di banding uang, oh, kalian keliru. Saya menulis kebanyakan untuk uang.

Saya pikir, menulis dengan sistem seperti ini, saya mendapat uang dan ilmu sekaligus. Pernah suatu ketika saya harus menulis laporan tentang pupuk organik. Hal ini membuat saya harus riset dari awal tentang topik yang saya tulis, seperti apa itu unsur hara tanah, komponen pupuk, kenapa pupuk itu penting, kenapa pestisida itu tidak baik, dan semacamnya, dan seterusnya.

Di satu kesempatan, saya menulis proposal disertasi tentang dunia pendidikan. O, saya sedikit mulai mengenal dunia pendidikan dari situ, melalui riset yang cukup panjang dan melelahkan. Sekali lagi, keilmuan dan uang saya dapat sekaligus.

Yang ingin saya katakan: saya menulis jurnal ya untuk uang; saya menulis laporan orang ya untuk uang; saya menulis proposal orang ya untuk uang; dan untuk sedikit keilmuan. Bahkan, jika saya diminta menulis dan honornya tidak memadai saya akan menolak. Sedikit sekali saya menulis untuk tujuan yang agak mulia, dua hal diantaranya untuk konferensi dan tugas-tugas kuliah.

Atas dasar kebiasaan saya itu, seorang kawan nyeletuk, “Sumber penghasilanmu hina sekali.”

“Ya,” kata saya, “inilah dunia kita: seorang bisa mendapat keuntungan dari kebobrokan orang lain.”

“Dan kau menikmati?”

“Dan aku menikmati. Sementara.”

Sementara saya masih bisa bersenang-senang dengan menulis yang menghasilkan uang. Tentu uang bukan segalanya, saya setuju; ada beberapa hal yang tidak dapat dicapai dengan uang. Tapi, seperti kata teman saya, kenyataan di lapangan akan menuntut kita untuk memiliki cara pandang yang sedikit materil. “Kalau melihat orang idealis, kita berpikir positif saja, mungkin mereka memang idealis, atau tunggu tanggal mainnya,” katanya.

Lagi-lagi saya setuju. Tanpa uang, bagaimana saya memiliki Mbakyu?

Uoppooohhhh.