Pada suatu hari dan itu hari yang cukup baik, saya
nongkrong bersama seorang teman. Pikiran kawan saya tertuju pada zaman ketika
ia menjadi mahasiswa yang serba mengutamakan ilmu di atas uang. Sekarang
kondisinya sudah berubah: menghadapi kehidupan yang tidak lagi ditanggung orang
tua, menurutnya, membuka mata bahwa uang menjadi orientasi utama untuk menopang
hidup.
“Sekarang yang penting adalah uang,” katanya, “kau
bisa ndakik-ndakik mengatakan uang bukan segalanya, tapi kelak, jika kau sudah
dihadapkan dengan realitas, kau akan berpikir berbeda.”
Saya setuju padanya. Sejak remaja, saya sudah mulai
meninggalkan ketergantungan pada orangtua, dan mendapati bahwa uang cukup
penting—untuk tidak mengatakan yang paling penting. Kesadaran itu membuat cara
pandang saya berimbas pada sikap: saya masih sering mengutamakan uang di atas
hal-hal lain, dunia akademik misalnya.
Sebagian besar saudara dan kawan memandang saya serba
idealis ketika menyangkut dunia akademik, atau keilmuan. Padahal tidak. Banyak
hal-hal yang saya lakukan di bidang akademik hanya berorientasi uang. Ketika
semester tiga, saya mendapati tawaran untuk menulis makalah dosen, dengan
jumlah bayaran tertentu, dan saya setuju. Ternyata menulis makalah bisa dapat
uang, pikir saya saat itu. Enak juga.
Di semester-semester berikutnya, ada beberapa dosen
yang mulai melirik makalah yang saya tulis untuk kelas perkuliahan sehari-hari.
Mereka yang cukup tertarik mulai menghubungi saya dan meminta untuk menuliskan
jurnal untuk mereka, dan saya setuju selama honornya sesuai. Pada masa-masa
itu—hingga sekarang—saya terus melatih skill menulis untuk dapat bersaing saat
“duet” bersama atasan.
Sampai suatu
ketika, seorang dosen melibatkan saya dalam proyek penelitian dengan jumlah
honor yang cukup besar. O, saya makin menikmati dunia tulis-menulis untuk uang.
Sebenarnya, sebagai mahasiswa, saya akan memiliki tingkat karir akademik yang
cukup cemerlang jika mau menulis jurnal untuk diterbitkan atas nama saya
sendiri. Tapi tidak, saya lebih menikmati uang.
Orang bisa membaca tulisan saya, tanpa tahu saya.
Jurnal yang saya tulis pernah menjadi obrolan hangat di tengah lingkungan saya,
meski mereka tidak tahu bahwa saya penulisnya—karena terbit atas nama orang,
dan saya cukup puas. Anda tahu, orang dengan antusias mendiskusikan tulisan anda
tanpa tahu bahwa anda sosok penting di balik layar, memiliki tingkat kepuasan
tersendiri. Tentu selama anda termasuk orang yang gemar berada di balik layar.
Kelak saya tahu bahwa sebutan untuk penulis semacam
ini adalah ghost writer.
Siapa tahu tulisan ini dibaca orang-orang yang
menganggap saya idealis, dalam arti mengutamakan karir akademik di banding
uang, oh, kalian keliru. Saya menulis kebanyakan untuk uang.
Saya pikir, menulis dengan sistem seperti ini, saya
mendapat uang dan ilmu sekaligus. Pernah suatu ketika saya harus menulis laporan
tentang pupuk organik. Hal ini membuat saya harus riset dari awal tentang topik
yang saya tulis, seperti apa itu unsur hara tanah, komponen pupuk, kenapa pupuk
itu penting, kenapa pestisida itu tidak baik, dan semacamnya, dan seterusnya.
Di satu kesempatan, saya menulis proposal disertasi
tentang dunia pendidikan. O, saya sedikit mulai mengenal dunia pendidikan dari
situ, melalui riset yang cukup panjang dan melelahkan. Sekali lagi, keilmuan
dan uang saya dapat sekaligus.
Yang ingin saya katakan: saya menulis jurnal ya untuk
uang; saya menulis laporan orang ya untuk uang; saya menulis proposal orang ya
untuk uang; dan untuk sedikit keilmuan. Bahkan, jika saya diminta menulis dan
honornya tidak memadai saya akan menolak. Sedikit sekali saya menulis untuk
tujuan yang agak mulia, dua hal diantaranya untuk konferensi dan tugas-tugas
kuliah.
Atas dasar kebiasaan saya itu, seorang kawan nyeletuk,
“Sumber penghasilanmu hina sekali.”
“Ya,” kata saya, “inilah dunia kita: seorang bisa
mendapat keuntungan dari kebobrokan orang lain.”
“Dan kau menikmati?”
“Dan aku menikmati. Sementara.”
Sementara saya masih bisa bersenang-senang dengan menulis
yang menghasilkan uang. Tentu uang bukan segalanya, saya setuju; ada beberapa
hal yang tidak dapat dicapai dengan uang. Tapi, seperti kata teman saya,
kenyataan di lapangan akan menuntut kita untuk memiliki cara pandang yang
sedikit materil. “Kalau melihat orang idealis, kita berpikir positif saja,
mungkin mereka memang idealis, atau tunggu tanggal mainnya,” katanya.
Lagi-lagi saya setuju. Tanpa uang, bagaimana saya
memiliki Mbakyu?
Uoppooohhhh.