Rabu, 30 September 2020

Yth. Tuan Ide

 

Akhirnya saya memutuskan menulis surat kepada Anda, Tuan Ide, sebab Anda makhluk yang menjengkelkan: Anda tiba-tiba mengetuk otak saya seringkali ketika saya dalam kondisi tidak siap: kadang ketika mata saya sudah hampir terlelap, kadang ketika bercakap-cakap dengan orang, dan yang paling sering ketika saya berkendara di jalanan. 

 

Apakah Anda mengerti betapa saya jatuh cinta pada Anda sehingga kehadiran Anda selalu merupakan momen yang tidak akan pernah saya lewatkan. Tetapi ketika Anda hadir dengan tiba-tiba, dalam waktu yang tidak tepat, saya tidak bisa mengajak Anda diam sebentar pada catatan saya dan, segera setelah aktivitas saya selesai, Anda sudah pergi.

 

Ketika mata saya nyaris terlelap, Anda datang, dan saya sudah kehilangan kemampuan untuk bangkit menyalakan laptop atau bahkan sekedar untuk mencatat di ponsel. Maka, saya mencoba menuliskannya di otak kalimat demi kalimat dan begitu bangun saya sudah melupakan susunan kalimat itu.

 

Saya juga tidak mungkin mencatat apa yang Anda sampaikan ketika sedang bercakap-cakap dengan kawan. Saya menghargai momen bersama mereka dan tidak baik membuka ponsel ketika tidak terlalu mendesak, apalagi mencatat poin-poin yang tiba-tiba Anda sampaikan. Kita tahu, menulis catatan kecil tentang ide bukan perkara yang baik dilakukan tanpa daya fokus yang tinggi. Sebab catatan yang melantur tidak tahan lama: ketika catatan itu ditengok pada kesempatan berikutnya, seringkali ide awal telah lenyap.

 

Apalagi, ketika saya bercakap-cakap dengan Mbakyu! Saya berusaha keras menaruh ponsel, atau alat catatan lain, sejauh mungkin! Tetapi, saya sering berpikir Anda bukan makhluk yang menyenangi saya bercakap-cakap dengan Mbakyu karena Anda selalu mengganggu kebersamaan kami. Seharusnya Anda tahu duduk bersama Mbakyu adalah momen langka. Pertama, karena saya kesulitan mengajaknya bertemu. Wong ngechat dia saja saya butuh berpikir seribu kali. 

 

Kedua, karena saya kesulitan mengajak Mbakyu bertemu. Saya menyukainya dan saya tidak tahu apakah dia juga demikian. Yang jelas saya tidak keberatan bertemu dengan dia. Masalahnya, apakah dia berpikiran ringan untuk bertemu saya? Tidak tahu. Dengan demikian mengajaknya bertemu bukan perkara mudah, karena bisa jadi ia keberatan.

 

Ketiga, karena saya kesulitan mengajak Mbakyu bertemu! O, ini penting saya sebut tiga kali sebab Anda, tuan ide, benar-benar sering menari-nari di depan saya ketika keadaan tidak memungkinkan untuk menangkap Anda. 

 

Selain ketiga hal di atas, saya juga menyimpan prasangka bahwa Anda menunggu saya mengendarai kendaraan. Saya tidak pernah menebar pesona—bahkan saya tidak yakin memiliki pesona; saya juga tidak yakin apa itu pesona—ketika sedang berkendara, tetapi Anda sering menggoda saya ketika saya berkendara. 

 

Cara-cara anda muncul ketika saya berada di jalan memang memudahkan saya untuk berpikir tentang banyak hal yang menarik. Ketika di belakang kemudi mobil, misalnya, Anda mendorong saya untuk menulis tentang bagaimana sopir berusaha menyeimbangkan kendaraan ketika mendahului kendaraan lain; bagaimana sopir mengukur jarak ideal antar kendaraannya dengan kendaraan lain; bagaimana susahnya menahan bokong panas selama mengemudi enam hari. 

 

Di jalan Anda juga sering menggoda saya tentang sopir bus yang begitu santai membawa badan kendaraan yang bongsor dan panjangnya mencapai enam meter itu. Kadang Anda sayup-sayup berbisik dari mana sopir truk mendapat kesabaran filsuf menghadapi kendaraan-kendaraan kecil yang mendahului dengan memotong jalur si sopir secara paksa.

 

Sama seperti ketika Anda muncul ketika saya hendak memejamkan mata, saya hanya bisa menulis apa-apa yang Anda isyaratkan terbatas secara imajinatif dalam kepala. Dan begitu kaki sudah menginjak pada tanah, Anda sudah lenyap digilis roda. 

 

Yang terhormat Tuan Ide. Anda akan lebih cantik—atau tampan—saya yakin tentang ini, jika Anda muncul pada saat-saat saya sedang bersantai di kamar. Saya akan menyambut Anda dengan senang hati dan membuatkan Anda teh jika Anda berharap demikian. Sebagai makhluk yang bertamu, tentu saja saya tidak layak mengharap anda berkunjung sesering mungkin. Anda mungkin memiliki tugas lain di luar berkunjung pada kepala-kepala manusia.

 

Ah, ya, Anda akan mengatakan pada saya bahwa Anda tidak suka berkunjung, bukan? Saya dan kawan-kawan lain mafhum. Anda lebih suka dijemput dan ditangkap secara paksa. Kesimpulan ini saya dapatkan setelah bertahun-tahun (setidaknya empat tahun) bersentuhan dengan Anda. Kami para manusia kadang tidak dapat memahami watak Anda. Dalam hitungan yang tidak dapat dijumlah, Anda datang dan menggoda kepala-kepala. Dalam kesempatan lain, alih-alih datang, Anda bersembunyi atau lari menuntut untuk dicari dan ditangkap.

 

Sebagai makhluk, Anda begitu membingungkan. 

 

Persoalan tarik-ulur bersama Anda inilah, yang membuat saya menyusun trik untuk menangkap atau menjebak Anda. Mulai pagi, saya membaca puisi dan mencoba mencari Anda di balik kalimat-kalimat membingungkan para penyair. Tidak jarang saya membaca puisi sambil menyalakan laptop, berjaga-jaga mendapati Anda sedang tidur pulas dan bisa segera ditangkap ke dalam microsoft. 

 

Jika peruntungan pagi hari tidak baik, saya akan mencari Anda dalam buku-buku fiksi—bisa cerpen maupun novel—yang saya baca di sela waktu santai. Siapa tahu Anda sedang menunggangi tokoh-tokoh di sana. Lebih mudah jika dalam kepala saya tertanam gambar Anda adalah sosok konkret seperti para tokoh fiksi yang saya kenali. 

 

Misalnya, Anda adalah Tuan Nakata—tokoh gubahan Haruki Murakami dalam Kafka on the Shoreyang mampu berbicara dengan kucing dan tidak mampu membaca dan menulis dan memiliki selera humor yang aneh. Seperti yang sering Tuan Nakata katakan pada Hoshino, “Wah, karena Anda mengingatkan saya, Tuan Hoshino, ya, saya lapar.” Atau kalimat sejenisnya, “Wah, karena Anda mengingatkan saya, Tuan Hoshino, ya, saya perlu ke kamar kecil.

 

Tuan Ide, menyenangkan sekali jika Anda serupa dengan Tuan Nakata. Saya bisa mengatakan, “Hei, Tuan Ide, bukankah Anda akan memberi saya banyak bahan tulisan?” dan Anda akan menjawab, “Karena Anda mengingatkan, ya, saya akan memberi Anda banyak bahan.”

 

Nah, Tuan Ide, saya sepenuhnya sadar, Anda bukan Tuan Nakata yang saya senangi itu—hal di atas hanya bayangan simulasi, oke. Anda akan tetap menjadi makhluk misterius yang muncul seenak udel tanpa mempertimbangkan apa saja selain selera Anda pribadi. Karena itu, trik untuk menangkap Anda harus saya upayakan dengan cara-cara yang efektif.

 

Tafsir kata efektif ini, tentu saja, bisa sangat beragam. Bagi saya, menghidupkan laptop, lalu memasang sepatu dan lari di sekitar kompleks termasuk efektif. Ini saya contoh dari para penulis besar, mereka sering menghidupkan laptop, lalu menyulut rokok. Lalu menyulut lagi, begitu seterusnya hingga berjam-jam lewat. Yah, memang duduk lama di depan laptop membuat kami—yang tampak kebingungan—benar-benar merefleksikan ciri seorang yang gemar merenung. 

 

Penulis bukan tukang ketik, katanya. Itulah mengapa saya menghidupkan laptop lalu berlari.

Kosong


Ingin Piala

 

Dengan perasaan takjub seperti manusia purba yang pertama kali melihat pesawat terbang, saya terpaku memandangi tim sepak Brazil yang keluar sebagai pemenang piala dunia tahun 2002. Bagaimana ekspresi kesebelasan, gemuruh penonton, cara asap dan pita menyembur keluar ketika piala berkilau diangkat, melekat di benak saya dan itulah yang membuat saya takjub. 

 

“Kenapa orang berebut piala? Piala terbuat dari emas?” tanya saya pada Ayah.

 

“Ya, Piala terbuat dari emas,” kata Ayah dengan wajah yang masih fokus pada kotak televisi dan melupakan pertanyaan pertama.

 

Saya manggut-manggut percaya. Piala itu makin menghipnotis saya. Pasti hebat memiliki piala, pikir saya. Sejak itu tumbuh ambisi untuk memiliki, atau bahkan mengoleksi piala. Ketika saya bertanya pada ayah bagaimana cara mendapat piala, ia menjawab singkat, “Kau harus menjadi yang terbaik. Harus menjadi nomor satu.”

 

Ketika kelas satu SD, kebetulan saya diumumkan rangking satu. Saya maju di depan kawan-kawan dengan perasaan berdebar, dan bangga tingkat puncak. Begini rasanya jadi nomor satu. Perasaan naif seorang bocah. Tetapi perasaan bangga itu sedikit memudar ketika hadiah yang saya dapat hanya beberapa buku tulis. 

 

Saya heran sekali, setelah menjadi nomor satu, ternyata tidak menghasilkan piala. “jajal melu lomba, kue menang wis pasti entuk piala.” Coba ikut lomba, jika menang kau pasti dapat piala, kata Nurul, kawan dan famili saya. 

 

Di kelas dua, di kelas tiga, pada tiap semester, saya masih rangking, meski seringkali menempati posisi kedua. Sama seperti di kelas satu, tidak ada piala bagi pemegang rangking. Maka, demi memiliki piala, saya mencoba mengikuti nasihat Nurul. Jika ingatan saya tidak meleset, ketika kelas empat, saya mengikuti seleksi sekolah untuk dikirim lomba lari maraton tingkat SD sekecamatan. 

 

Tidak mudah untuk dipilih guru olahraga pada cabang ini sebab kawan-kawan saya memiliki ketahanan dan kecepatan lari seperti anjing. Tetapi, jauh-jauh hari sebelum seleksi, saya sudah cukup sering berlatih lari tiap hari Minggu. Dan ketika seleksi dimulai, saya mati-matian untuk terpilih. 

 

Hari di mana seleksi berlangsung, para siswa diminta untuk lari sejauh—kira-kira—tiga KM. Supeno, kawan sekelas saya, berhasil melesat lari di depan jauh meninggalkan peserta lain. Ia keluar menjadi nomor satu, saya di belakangnya. Supeno dan saya akhirnya terpilih sebagai perwakilan sekolah. 

 

Hari H lomba tiba. Arena lari tenyata jauh lebih panjang: 8 KM. Kali ini saya tertinggal di belakang banyak peserta lain. Di tengah cucuran keringat dan terik matahari, perut saya terasa nyeri, seperti dihantam batu. Ini adalah rasa sakit yang biasa muncul ketika kita lari jarak jauh. Sepanjang arena, saya lebih banyak lari-lari kecil dan berjalan, karena tak kuat menahan sakit. Dan sudah jelas saya tidak mendapat piala. Supeno berhasil juara satu. 

 

Ketika menginjak kelas 5, saya menjadi perwakilan sekolah untuk ikut lomba IPA, dan lagi-lagi saya kalah. Ikut lomba keagamaan, kalah. Lomba voli, kalah, bahkan saya hanya diam di bangku cadangan. Lomba senam, juga kalah. 

 

Lomba demi lomba hanya serangkaian celengan kekalahan yang pahit dan membawa pulang piala—yang belakangan saya ketahui tidak terbuat dari emas—masih menjadi impian tak terpenuhi. Sedangkan rangking demi rangking di sekolah tak kunjung berhadiah piala.

 

Di kelas enam saya insaf tidak mengikuti lomba apapun, saya sudah skeptis dapat menjadi yang terbaik. Ketika SMP, hanya lomba catur yang saya ikuti, dan seperti biasa, saya kalah. Di SMP saya hanya bertahan hingga kelas dua, setelah itu saya pindah ke pesantren, tidak betah, lalu pulang, dan tidak melanjutkan pendidikan formal.

 

Setahun setelah nganggur di rumah saya kembali lagi masuk pesantren, dan tidak melanjutkan sekolah formal. Karena itu, saya tidak memiliki kesempatan untuk ikut lomba. Pesantren saya pun tergolong kecil, tidak mengadakan lomba dan tidak menyediakan piala bagi rangking sekolah diniyah. Pun saya tidak pernah juara kelas.

 

Di pesantren, saya banyak sibuk mengabdi. Dari mengurus keuangan dapur pesantren, hingga urusan KBIH. Tentu saja banyak pengalaman menarik dan berdarah-darah yang saya dapat. Hari-hari di pesantren rasanya sangat sibuk, hingga saya tidak banyak memiliki waktu khusyuk untuk belajar, dan saya malas belajar. Tidak peduli seberapa saya sibuk dan berdarah-darah memikul tugas-tugas, tidak akan ada yang memberi piala. 

 

Memiliki piala masih menjadi ambisi terpendam dalam diri saya, maka ketika memasuki kampus, setelah mengikuti dua ujian persamaan tingkat SMP dan SMA, saya menghidupkan kembali ambisi itu. Tetapi rasanya tidak ada skill yang dapat diandalkan untuk ikut lomba, hingga akhirnya saya mendapat nilai A+ untuk Bahasa Indonesia. Gara-gara nilai itu saya merasa mampu menulis baik. 

 

Maka saya mulai belajar menulis. 

 

Bahan bacaan ketika awal kuliah saya dapat dari dosen yang tinggal satu atap. Saya mulai menggandrungi esai-esai Emha Ainun Nadjib, Goenawan Mohamad, dan Prie GS. Di masa kuliah sebenarnya saya mengoleksi berbagai jadwal lomba menulis, tetapi saya tidak memiliki keberanian untuk ikut serta. Baru di semester lima, seorang dosen melirik tulisan saya dan meminta saya untuk mengikuti lomba menulis, di tingkat provinsi langsung!

 

Karena memiliki mentor yang telah terbukti selalu menelurkan para juara, kepercayaan diri saya melambung terlalu tinggi. Saya dilatih menulis beberapa bulan, dan itu merupakan bulan-bulan paling menyiksa dalam sejarah pembelajaran saya: Terlalu banyak deadline dengan kualitas tulisan yang harus terjaga. Cukup banyak biaya yang saya keluarkan untuk berburu bahan tulisan. 

 

Singkat cerita, saya tidak berhasil memenuhi deadline mentor, dan ia memilih kandidat lain. Meski demikian saya tetap mengikuti lomba ini karena ditarik kafilah lain. Well, ketika lomba berlangsung, peserta harus menulis makalah di tempat yang telah disediakan selama 8 jam. Saya datang telat karena kendaraan panitia terjebak macet.

 

Saya memasuki ruangan dengan perasaan haru, tidak pernah menyangka dapat mengikuti lomba tersebut. Dan ketika laptop mulai saya nyalakan, mata saya panas dan sedikit terasa cairan mulai menggenang: Saya tiba-tiba teringat perjuangan hingga dapat memasuki ruangan itu dan duduk di kursi panas, saya merasa menjadi pemenang atas diri sendiri. Hasil lomba masih seperti biasa, saya kalah.

 

Karena terlalu percaya diri, saya kadang mencari-cari alasan bahwa dewan juri kurang objektif memberi nilai. Atau saya mencoba menutupi rasa kecewa dengan meromantisasi kekalahan dengan membuat keyakinan bahwa kalah lomba bisa diambil hikmahnya—maaf, ini klise sekali. Sekarang saya harus mengakui, kekalahan tetap kekalahan. 

 

Yeah... lomba terakhir yang saya ikuti dengan kepercayaan diri sepenuhnya masih belum mampu membuat saya membawa pulang piala. Meski demikian lomba itu tetap mengglorifikasi diri saya bahwa ada sedikit kemampuan menulis yang bisa diasah. Tentu saja banyak dari kawan-kawan yang memberi komentar—dengan gaya khutbah—bahwa memiliki piala bukan berarti seseorang hebat. Saya hanya manggut-manggut.

 

Sekarang saya sudah lulus kuliah dan dinyatakan sebagai wisudawan terbaik fakultas. Oh, saya ingin tegaskan pada anda bahwa saya menyatakan itu tidak dengan kebanggaan menyala-nyala dan saya tidak mendapat piala.