Dengan perasaan takjub seperti manusia purba yang pertama kali melihat pesawat terbang, saya terpaku memandangi tim sepak Brazil yang keluar sebagai pemenang piala dunia tahun 2002. Bagaimana ekspresi kesebelasan, gemuruh penonton, cara asap dan pita menyembur keluar ketika piala berkilau diangkat, melekat di benak saya dan itulah yang membuat saya takjub.
“Kenapa orang berebut piala? Piala terbuat dari emas?” tanya saya pada Ayah.
“Ya, Piala terbuat dari emas,” kata Ayah dengan wajah yang masih fokus pada kotak televisi dan melupakan pertanyaan pertama.
Saya manggut-manggut percaya. Piala itu makin menghipnotis saya. Pasti hebat memiliki piala, pikir saya. Sejak itu tumbuh ambisi untuk memiliki, atau bahkan mengoleksi piala. Ketika saya bertanya pada ayah bagaimana cara mendapat piala, ia menjawab singkat, “Kau harus menjadi yang terbaik. Harus menjadi nomor satu.”
Ketika kelas satu SD, kebetulan saya diumumkan rangking satu. Saya maju di depan kawan-kawan dengan perasaan berdebar, dan bangga tingkat puncak. Begini rasanya jadi nomor satu. Perasaan naif seorang bocah. Tetapi perasaan bangga itu sedikit memudar ketika hadiah yang saya dapat hanya beberapa buku tulis.
Saya heran sekali, setelah menjadi nomor satu, ternyata tidak menghasilkan piala. “jajal melu lomba, kue menang wis pasti entuk piala.” Coba ikut lomba, jika menang kau pasti dapat piala, kata Nurul, kawan dan famili saya.
Di kelas dua, di kelas tiga, pada tiap semester, saya masih rangking, meski seringkali menempati posisi kedua. Sama seperti di kelas satu, tidak ada piala bagi pemegang rangking. Maka, demi memiliki piala, saya mencoba mengikuti nasihat Nurul. Jika ingatan saya tidak meleset, ketika kelas empat, saya mengikuti seleksi sekolah untuk dikirim lomba lari maraton tingkat SD sekecamatan.
Tidak mudah untuk dipilih guru olahraga pada cabang ini sebab kawan-kawan saya memiliki ketahanan dan kecepatan lari seperti anjing. Tetapi, jauh-jauh hari sebelum seleksi, saya sudah cukup sering berlatih lari tiap hari Minggu. Dan ketika seleksi dimulai, saya mati-matian untuk terpilih.
Hari di mana seleksi berlangsung, para siswa diminta untuk lari sejauh—kira-kira—tiga KM. Supeno, kawan sekelas saya, berhasil melesat lari di depan jauh meninggalkan peserta lain. Ia keluar menjadi nomor satu, saya di belakangnya. Supeno dan saya akhirnya terpilih sebagai perwakilan sekolah.
Hari H lomba tiba. Arena lari tenyata jauh lebih panjang: 8 KM. Kali ini saya tertinggal di belakang banyak peserta lain. Di tengah cucuran keringat dan terik matahari, perut saya terasa nyeri, seperti dihantam batu. Ini adalah rasa sakit yang biasa muncul ketika kita lari jarak jauh. Sepanjang arena, saya lebih banyak lari-lari kecil dan berjalan, karena tak kuat menahan sakit. Dan sudah jelas saya tidak mendapat piala. Supeno berhasil juara satu.
Ketika menginjak kelas 5, saya menjadi perwakilan sekolah untuk ikut lomba IPA, dan lagi-lagi saya kalah. Ikut lomba keagamaan, kalah. Lomba voli, kalah, bahkan saya hanya diam di bangku cadangan. Lomba senam, juga kalah.
Lomba demi lomba hanya serangkaian celengan kekalahan yang pahit dan membawa pulang piala—yang belakangan saya ketahui tidak terbuat dari emas—masih menjadi impian tak terpenuhi. Sedangkan rangking demi rangking di sekolah tak kunjung berhadiah piala.
Di kelas enam saya insaf tidak mengikuti lomba apapun, saya sudah skeptis dapat menjadi yang terbaik. Ketika SMP, hanya lomba catur yang saya ikuti, dan seperti biasa, saya kalah. Di SMP saya hanya bertahan hingga kelas dua, setelah itu saya pindah ke pesantren, tidak betah, lalu pulang, dan tidak melanjutkan pendidikan formal.
Setahun setelah nganggur di rumah saya kembali lagi masuk pesantren, dan tidak melanjutkan sekolah formal. Karena itu, saya tidak memiliki kesempatan untuk ikut lomba. Pesantren saya pun tergolong kecil, tidak mengadakan lomba dan tidak menyediakan piala bagi rangking sekolah diniyah. Pun saya tidak pernah juara kelas.
Di pesantren, saya banyak sibuk mengabdi. Dari mengurus keuangan dapur pesantren, hingga urusan KBIH. Tentu saja banyak pengalaman menarik dan berdarah-darah yang saya dapat. Hari-hari di pesantren rasanya sangat sibuk, hingga saya tidak banyak memiliki waktu khusyuk untuk belajar, dan saya malas belajar. Tidak peduli seberapa saya sibuk dan berdarah-darah memikul tugas-tugas, tidak akan ada yang memberi piala.
Memiliki piala masih menjadi ambisi terpendam dalam diri saya, maka ketika memasuki kampus, setelah mengikuti dua ujian persamaan tingkat SMP dan SMA, saya menghidupkan kembali ambisi itu. Tetapi rasanya tidak ada skill yang dapat diandalkan untuk ikut lomba, hingga akhirnya saya mendapat nilai A+ untuk Bahasa Indonesia. Gara-gara nilai itu saya merasa mampu menulis baik.
Maka saya mulai belajar menulis.
Bahan bacaan ketika awal kuliah saya dapat dari dosen yang tinggal satu atap. Saya mulai menggandrungi esai-esai Emha Ainun Nadjib, Goenawan Mohamad, dan Prie GS. Di masa kuliah sebenarnya saya mengoleksi berbagai jadwal lomba menulis, tetapi saya tidak memiliki keberanian untuk ikut serta. Baru di semester lima, seorang dosen melirik tulisan saya dan meminta saya untuk mengikuti lomba menulis, di tingkat provinsi langsung!
Karena memiliki mentor yang telah terbukti selalu menelurkan para juara, kepercayaan diri saya melambung terlalu tinggi. Saya dilatih menulis beberapa bulan, dan itu merupakan bulan-bulan paling menyiksa dalam sejarah pembelajaran saya: Terlalu banyak deadline dengan kualitas tulisan yang harus terjaga. Cukup banyak biaya yang saya keluarkan untuk berburu bahan tulisan.
Singkat cerita, saya tidak berhasil memenuhi deadline mentor, dan ia memilih kandidat lain. Meski demikian saya tetap mengikuti lomba ini karena ditarik kafilah lain. Well, ketika lomba berlangsung, peserta harus menulis makalah di tempat yang telah disediakan selama 8 jam. Saya datang telat karena kendaraan panitia terjebak macet.
Saya memasuki ruangan dengan perasaan haru, tidak pernah menyangka dapat mengikuti lomba tersebut. Dan ketika laptop mulai saya nyalakan, mata saya panas dan sedikit terasa cairan mulai menggenang: Saya tiba-tiba teringat perjuangan hingga dapat memasuki ruangan itu dan duduk di kursi panas, saya merasa menjadi pemenang atas diri sendiri. Hasil lomba masih seperti biasa, saya kalah.
Karena terlalu percaya diri, saya kadang mencari-cari alasan bahwa dewan juri kurang objektif memberi nilai. Atau saya mencoba menutupi rasa kecewa dengan meromantisasi kekalahan dengan membuat keyakinan bahwa kalah lomba bisa diambil hikmahnya—maaf, ini klise sekali. Sekarang saya harus mengakui, kekalahan tetap kekalahan.
Yeah... lomba terakhir yang saya ikuti dengan kepercayaan diri sepenuhnya masih belum mampu membuat saya membawa pulang piala. Meski demikian lomba itu tetap mengglorifikasi diri saya bahwa ada sedikit kemampuan menulis yang bisa diasah. Tentu saja banyak dari kawan-kawan yang memberi komentar—dengan gaya khutbah—bahwa memiliki piala bukan berarti seseorang hebat. Saya hanya manggut-manggut.
Sekarang saya sudah lulus kuliah dan dinyatakan sebagai wisudawan terbaik fakultas. Oh, saya ingin tegaskan pada anda bahwa saya menyatakan itu tidak dengan kebanggaan menyala-nyala dan saya tidak mendapat piala.