Jumat, 25 September 2020

Kangen Kawan

Kangen pada seseorang adalah satu hal, dan cara kita mengungkapkan kangen itu adalah satu hal lain. Saya sedang rindu kawan-kawan dan kesusahan mengatakan pada mereka, terutama jika hanya dengan mengirim pesan pendek, “Halo, aku kangen kamu.” Kawan cowok, jika menerima pesan itu akan risih dan akan menganggap saya aneh. Kawan cewek, sepertinya akan kebingungan menerima pesan itu. Kau kangen aku, tumben bilang, begitu kira-kira reaksi mereka—dalam bayangan saya.


Di luar reaksi-reaksi di atas, masih terdapat kemungkinan lain yang tidak bisa saya jangkau berwujud seperti apa. Pada dasarnya, saya membayangkan reaksi itu karena saya tidak terbiasa mengatakan kangen pada mereka. Mengatakan kangen pada cowok? Wah, susah. Mengatakan kangen pada cewek? Ada kemungkinan salah paham akan terjadi. Semoga anda memahami maksud saya.


Beda soal jika saya terbiasa mengatakan pada mereka dan sialnya saya tidak memiliki kebiasaan itu. Bahkan saya tidak terbiasa mengatakan kangen pada siapa-siapa: tidak keluarga, tidak kawan. Pada titik tertentu, ketidakbiasaan ini menimbulkan rasa geram pada diri sendiri. Anda tahu, seperti ada sesuatu yang sebenarnya bisa anda lalukan, tapi otak dan tubuh anda tidak sudi bekerja mewujudkan hal tersebut.


Jadi sementara sedang berkelebat banyak momen bersama mereka, saya hanya dapat menahan jengkel karena tidak bisa mengatakan apa-apa kepada mereka tentang ini. Sebenarnya saya mengajak lemari, kipas angin, kalender, lampu belajar, dan benda-benda lain di kamar untuk bercakap-cakap. Dengan khidmat, saya katakan pada mereka bahwa saya kangen kawan-kawan: “Hai Tuan Kalender, saya kangen pada kawan, menurut Anda saya perlu masuk ke mesin waktu untuk kembali pada momen tertentu?”


Tentu saja Tuan Kalender diam, tapi saya bayangkan ia menjawab, “Tidak ada yang bisa kau lakukan, maupun perlu kau lakukan, mereka sudah memiliki dunia masing-masing, Nak.”


Yah, apa boleh buat, mereka memang sudah memiliki dunia masing-masing, terutama jika sudah menikah. Anda punya kawan yang sudah menikah? Anda sudah merasakan kehilangan mereka, bukan? Mereka sudah bukan lagi kawan seperti yang anda kenal dulu, begitupun anda di mata mereka—jika anda sudah menikah dan sibuk dengan keluarga anda.


Saya punya sepupu yang dari kecil sudah sangat akrab. Ketika ayah saya meninggal, ia tinggal di rumah saya untuk menemani hingga beberapa bulan. Kami sangat dekat, hingga dia menikah. Dan semuanya berubah: seperti ada warna lain pada tubuhnya yang tidak saya kenali lagi, warna itu, seolah mengatakan, “Aku memiliki keluarga kecil yang sekarang lebih penting dari pertemanan kita.”


O, jika saya menikah, tentu saja saya juga akan berkutat mengurus keluarga kecil saya. Pada banyak momen, ingatan kebersamaan dengan kawan hanya hidup sebagai kenangan yang muncul sambil lalu. Barangkali kenangan-kenangan membuat atmosfer aneh yang, tidak membutuhkan waktu lama, harus segera kembali di simpan jauh di kedalaman, sebab keluarga harus mendapat porsi utama. Sepertinya menyedihkan.


Sekarang saya belum menikah, dan kawan-kawan yang saya rindukan kebanyakan juga belum menikah, namun demikian saya sudah kesulitan mengembalikan momen-momen bersama mereka dalam dunia nyata.


Ketika dulu masih kuliah, saya sudah menyadari waktu-waktu seperti akan tiba. Karena itu, ketika bersama kawan-kawan di kampus, saya menikmati betul momen-momen itu. Selepas kuliah, kami ngobrol di kantin; ketika akhir pekan, kami jalan-jalan; pada banyak kesempatan, kami ngopi dengan penuh tawa; kadang saya menjadi sopir mereka, tukang masak mereka, dan tukang tulis di media sosial selepas acara bersama mereka berlangsung, sebagai pengingat momen-momen.


Di blog ini ada satu catatan bersama kawan-kawan, di tempat lain ada sekita empat catatan. Wah, kadang saya merasa dikepung jejak-jejak mereka dan saya menghindari membaca catatan itu ketika sedang sedih, sebab hal itu membuat waktu menyiksa dengan cara yang halus.


Sekarang saya hanya perlu kemampuan untuk mengatakan kangen pada mereka. Tunggu, jangan-jangan ini hanya kangen satu arah; kangen yang tidak akan berbalas rasa yang sama. Baiklah, sepertinya saya belum terlalu butuh untuk mengatakan pada mereka, tulisan ini sudah mewakili.