Sabtu, 12 September 2020

Jangan Menyiksa Anak Yatim

Mengusap kepala anak yatim—sambil memberi mereka sejumlah uang—di tengah keramaian pada 10 Muharram, bagi saya adalah satu cara kita mengintimidasi mereka. Tentu saja tidak ada masalah jika usia mereka masih satu atau tiga tahun, mereka tidak akan mengerti dengan jelas apa yang sedang terjadi. Tapi, jika mereka sudah menginjak usia 8 tahun ke atas, sungguh mereka tidak akan menikmati “ritual” ini.


Sejak lama, setiap 10 Muharram, saya diam-diam memperhatikan wajah anak-anak itu ketika mereka duduk dan orang-orang mengusap kepala mereka. Demi Tuhan, saya belum pernah melihat wajah sumringah mereka pada momen-momen itu (kecuali anak satu sampai tiga tahun). Alih-alih, mereka tampak murung dan malu.


Jujur saja, melihat pemandangan demikian, saya tidak pernah tega. Karena itu, setiap tanggal 10 Muharram saya lebih suka nitip sejumlah uang ketimbang mengusap kepala mereka di tengah keramaian. Beberapa waktu lalu di rumah keluarga besar saya menjadi tempat “ritual” itu, saya harus hadir dan hanya melihat wajah-wajah anak yatim itu dari jauh, beberapa wajah mereka murung dan bingung. Hati saya teriris melihat itu.

 

Tentu saja kita tahu, santunan anak yatim ditujukan untuk membantu mereka, tidak ada yang salah, malah baik. Saya tidak keberatan. Yang saya kurang suka adalah cara kita menyantuni anak yatim itu: masih perlukah mereka kita usap kepalanya di tengah keramaian? Apa kita pernah bertanya, dengan sungguh-sungguh, bagaimana perasaan mereka saat disantuni dengan cara demikian? Pernahkah kita membayangkan kita yang disantuni dengan cara itu? Tak miriskah hati kita jika anak kita disantuni dengan cara itu? Atau, bagaimana perasaan kita jika saudara dekat kita—yang sangat kita sayangi—disantuni demikian?

 

Santunan di tengah keramaian akan meneguhkan sesuatu dalam benak mereka, sesuatu yang mungkin hari ini tidak mampu mereka ucapkan, namun kelak akan berbekas selamanya: Anak yatim adalah bocah yang persepsinya tentang realitas dibentuk oleh perasaan bahwa dirinya harus dikasihani. Disantuni di tengah keramaian juga tentu bukan privilise. Malah, mereka akan memandang orang lain menatapnya dengan penuh iba, iba yang alih-alih membuat mereka terhibur, tapi makin menggurat rasa sedih.


Saya cukup sensitif melihat santunan anak yatim karena saya dulu adalah anak yatim, setidaknya begitu kawan-kawan saya memandang saya. Ditinggal ayah sudah membuat saya sedih yang, membikin kebahagiaan rontok satu-satu, dan dipandang sebagai seorang yang menyedihkan, betapapun waktu itu saya memang menyedihkan, sungguh mengintimidasi.


Karena itu, saya merasa dekat dengan anak yatim—saya pernah merasakan kekosongan yang mereka rasakan. Dan saya tidak akan menambah luka mereka dengan acara santunan yang tidak berempati. Bisakah kita, menyantuni anak yatim yang benar-benar di bawah umur, sehingga mereka tidak dapat benar-benar menyadari apa yang sebenarnya kita lakukan padanya? Bisa. Bisakah kita menggalang dana lalu memberikan kepada anak yatim tanpa menghadirkan mereka? Bisa.


Saya pikir itu cara yang lebih beradab dan tidak akan melukai—besar maupun kecil—psikis mereka. Cara ini, saya pikir membantu finansial dan mental mereka sekaligus. Sambil menyodorkan uang, kita bisa katakan pada mereka, “Hai, Kawan, kau tentu butuh uang untuk beberapa kebutuhanmu, dan aku membawakan sejumlah uang untukmu. Kau bisa menggunakan ini untuk hal-hal yang kau minati.”


Atau kita bisa datang pada ibu mereka atau walinya, dan berkata, “Bu, sebagai wujud solidaritas persaudaraan, kami telah menggalang dana untuk kebutuhan anak anda. Saya harap sejumlah uang ini dapat anda gunakan untuk hal-hal bermanfaat bagi anak anda.”


Sekali lagi, saya tidak keberatan menyantuni anak yatim, malah saya mendukung. Yang saya tidak setuju adalah cara kita melakukan santunan itu. Ayolah, kita sudah cukup dewasa untuk bisa berempati dan menyantuni mereka dengan cara-cara yang merefleksikan kapasitas kita sebagai orang yang beradab.


Sungguh, anak yatim yang duduk di tengah keramaian dan disantuni, sebagian dari mereka akan besar dengan ingatan suasana hati yang menancap kuat di kepala. Bisa jadi, mereka menaruh dendam pada sistem sosial yang menganggap hal itu sebagai lumrah belaka. Sebagian dari mereka mungkin ingin menolak jika diminta hadir pada acara itu, tapi banyak dari mereka yang tidak berdaya menghadapi orangtua mereka sendiri, atau tokoh agama. Diam-diam mereka menahan sakit itu sendiri.


Kita tahu, ada perasaan traumatik yang tidak mudah dihilangkan. Sebagai niat menyantuni anak yatim, tentu saja kita tidak ingin mereka tumbuh dengan kondisi mental yang inferior; yang menyimpan dendam tersendiri, yang membuat luka menganga tak terobati. Kita tidak ingin mereka tumbuh demikian akibat cara-cara kita memperlakukan mereka.