Minggu, 21 Juni 2020

Soal Menghabiskan Uang 5 Triliun


Berkat kebiasaan bermalas-malasan di kamar dan hanya berselancar di Twitter atau di dunia maya—dengan rebahan—saya bisa tahu, beberapa bulan lalu, orang-orang meributkan uang 5 Triliun rupiah yang diberikan oleh pemerintah pada salah satu perusahaan start up teknologi. Uang itu, menurut beberapa berita yang saya baca, dikucurkan untuk mengembangkan kompetensi kerja, yang disebut pemerintah dengan program Pra Kerja.

Kawan saya menyarankan saya ikut program itu karena ada uang insentif. Saya tidak ikut.

Sebenarnya, anggaran yang dihabiskan untuk program Pra Kerja ini mencapai 20 T. Saya pura-pura tidak menganggap fantastis angka itu, sebagai upaya menunjukkan bahwa uang itu tampak sedikit bagi rekening saya. Dengan kata lain saya sedang berpura-pura kaya. Saat membaca berita tentang bagaimana uang itu tidak menghasilkan efektifitas yang memuaskan untuk meningkatkan kompetensi masyarakat, saya benar-benar kecewa dan mengambil kalkulator untuk kepura-puraan selanjutnya.

Waktu itu, dan mungkin waktu yang sungguh sia-sia, saya mulai berpura-pura memiliki uang 5 T. Karena khayalan saya ini bermula dari kekecewaan pada pemerintah dalam menggunakan uang rakyat, tentu saja saya berkhayal menggunakan uang itu untuk kepentingan rakyat. Jika khayalan saya ini tidak diawali kedongkolan pada pemerintah, tentu saja saya akan berkhayal menggunakan uang itu untuk melamar Mbakyu! Dan mulai membangun masa depan bersama. 

Oh, saya tidak berpikir atas penggunaan uang 20 T: saya belum terbiasa dengan jumlah angka nol di belakang angka dua itu.

Langkah selanjutnya adalah saya melihat apa dan bagaimana pemerintah melakukan upaya untuk melatih skill kerja masyarakat. Menurut Twitter, satu materi yang diberikan melalui video, adalah tutorial memasukkan senar pada kail pancing. Saya tidak tahu pernyataan itu benar atau satire, tapi ocehan soal itu benar-benar riuh, dan, jika benar, saya pikir pemerintah adalah orang-orang yang punya pengalaman buruk dengan memancing seperti saya.

Dulu ayah membuat saya gemar memancing dan masalah pertama saya adalah kehilangan sabar ketika kesulitan memasukkan senar ke dalam kail pancing. Sebagai bocah kecil, saya uring-uringan dan menyalahkan siapa saja yang sedang berada di sekitar. Nenek saya di kemudian hari mulai memberi saya tugas memasukkan benang jahit pada lubang jarum, sebagai latihan berkala.

Masalah berikutnya adalah kail saya seperti benda yang tidak menarik bagi mulut-mulut ikan: mereka menjauh dan lebih memilih kail-kail kawan-kawan saya. Jadi, selama memancing, kebanyakan saya hanya bengong seperti orang frustasi. Dan sekarang anda bisa melihat bagaimana pemancing memang tampak seperti merenung saat menunggu kailnya digondol ikan, apalagi jika mereka mancing sendirian. Bahkan, pada saat tertentu, mereka mungkin merenung seperti penyair yang kehilangan kebahagiaan. Saya khawatir mereka seperti itu karena stress menghadapi pasangan di rumah dan mencari kesempatan merenung.

Maka, soal materi tutorial memasukkan senar pada kail itu jangan-jangan merefleksikan bahwa pemerintah adalah orang-orang yang hobi memancing, dan hobi melamun. Sebab tutorial memasukkan benang pasti dihasilkan dari pikiran melamun. Anda tahu, orang waras tidak akan menghabiskan anggaran untuk membuat materi sederhana dengan menghabiskan banyak anggaran.

Baiklah, bahkan jika perkara benang-kail di atas hanya celoteh warga dan pemerintah tidak membuat materi demikian, kita sudah sama-sama diberi informasi bahwa materi dalam Pra Kerja bisa didapatkan di internet secara gratis. Nah, saya tidak perlu mengulang betapa bobrok program ini dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu: Anda paham bahwa pelatihan-pelatihan di dalam sana harus dibayar dengan jumlah tentu. Katakanlah, untuk materi bagaimana menggoreng telur, peserta diharuskan membayar 500 ribu (uang yang diberi oleh pemerintah), dan 500 ribu tersebut masuk pada rekening penyedia materi.

Tampaknya yang diuntungkan dari program ini hanya orang-orang tertentu, eh?

Sekarang saya mengajak anda pada lamunan tentang bagaimana saya membuat tandingan program pemerintah itu, jika saya mempunyai uang 5 T. karena saya memiliki kepercayaan bahwa hal baik dimulai dari bagaimana cara berpikir kita, maka saya akan mengupayakan masyarakat memiliki tradisi berpikir yang bagus, yakni dengan menyediakan bahan-bahan bacaan bagus dan membuat kampanye membaca.

Saya tahu, tidak ada yang baru dari usulan di atas, bahkan terlampau klise. Tapi bagaimanapun selama ini kita diperlihatkan bahwa pemerintah tidak memikirkan upaya serius bagaimana membuat masyarakat gemar belajar. Saya belum membaca, misalnya, tentang tindakan atau kebijakan pemerintah, bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait untuk membuat perpustakaan di setiap desa atau bagaimana membuat peserta didik memiliki keberanian bertanya di berbagai kesempatan. Anda tahu, kecerdasan bertanya berbanding lurus dengan kecerdasan ingin tahu tentang suatu persoalan.

Jika masyarakat gemar bertanya, barangkali pemerintah akan lebih hati-hati dalam membuat kebijakan. Mereka tidak bisa lagi mengatakan bahwa onta akan turun dari langit, dan masyarakat manggut-manggut seolah itu sebuah firman. Pemerintah akan membuat kebijakan yang baik untuk menjalankan, paling tidak, fungsinya sebagai penyelenggara negara.

Kembali pada soal rancangan program saya. Sekarang, saya berencana membuat sarana bacaan yang bagus untuk masyarakat, bahkan di desa. Saya butuh beberapa buku bagus. Harga buku bagus biasanya sedikit mahal dan untuk kepentingan generalisir, katakanlah, ambil harga 80 ribu pereksemplar. Buku ini akan dibagi untuk seluruh kabupaten di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 415.

Saya akan membuat perhitungan seperti ini: 5 T dibagi 80 ribu dibagi 415 (jumlah kabupaten). Saya mendapat angka 150.602.41. Akan ada sekitar 150 ribu buku bagus pada setiap kabupaten. Pemerintah setempat bisa membuat perpustakaan keliling hingga semua daerah dapat membaca.

Tunggu, saya tahu, rancangan ini kurang efektif karena saya dapat membuat perpustakaan digital. Baiklah, sekarang saya dapat mengalihkan rancangan untuk memperkaya perpustakaan digital; menerjemahkan sebanyak-banyaknya karya bermutu, dan memastikan kampanye membaca berjalan dengan semarak.

Anda tentu saja bisa tidak setuju dengan program saya. Sah saja, dan saya menyarankan, jika anda cukup mempunyai waktu luang, untuk ikut berkhayal tentang bagaimana kira-kira anda mengalokasikan dana sebanyak itu untuk kepentingan bersama.

Berkhayal toh masih gratis dan saya berkhayal demikian karena menjadi pintar adalah hal paling substansial sebagai bekal hidup dengan masa depan lebih cerah.

Intinya, bagaimana uang tersebut dapat membangun masyarakat yang lebih baik; yang tidak mudah dibodohi pemerintah. Saya kadang curiga pemerintah tidak akan suka jika masyarakat pintar: tidak ada lagi orang-orang yang akan mereka bodohi dan diperas uang pajak.