Berkat kebiasaan bermalas-malasan di
kamar dan hanya berselancar di Twitter atau di dunia maya—dengan rebahan—saya
bisa tahu, beberapa bulan lalu, orang-orang meributkan uang 5 Triliun rupiah
yang diberikan oleh pemerintah pada salah satu perusahaan start up teknologi. Uang
itu, menurut beberapa berita yang saya baca, dikucurkan untuk mengembangkan
kompetensi kerja, yang disebut pemerintah dengan program Pra Kerja.
Kawan saya menyarankan saya ikut
program itu karena ada uang insentif. Saya tidak ikut.
Sebenarnya, anggaran yang dihabiskan
untuk program Pra Kerja ini mencapai 20 T. Saya pura-pura tidak menganggap
fantastis angka itu, sebagai upaya menunjukkan bahwa uang itu tampak sedikit
bagi rekening saya. Dengan kata lain saya sedang berpura-pura kaya. Saat membaca
berita tentang bagaimana uang itu tidak menghasilkan efektifitas yang memuaskan
untuk meningkatkan kompetensi masyarakat, saya benar-benar kecewa dan mengambil
kalkulator untuk kepura-puraan selanjutnya.
Waktu itu, dan mungkin waktu yang sungguh
sia-sia, saya mulai berpura-pura memiliki uang 5 T. Karena khayalan saya ini
bermula dari kekecewaan pada pemerintah dalam menggunakan uang rakyat, tentu
saja saya berkhayal menggunakan uang itu untuk kepentingan rakyat. Jika
khayalan saya ini tidak diawali kedongkolan pada pemerintah, tentu saja saya
akan berkhayal menggunakan uang itu untuk melamar Mbakyu! Dan mulai membangun
masa depan bersama.
Oh, saya tidak berpikir atas penggunaan uang 20 T: saya belum terbiasa dengan jumlah angka nol di belakang angka dua itu.
Oh, saya tidak berpikir atas penggunaan uang 20 T: saya belum terbiasa dengan jumlah angka nol di belakang angka dua itu.
Langkah selanjutnya adalah saya
melihat apa dan bagaimana pemerintah melakukan upaya untuk melatih skill kerja
masyarakat. Menurut Twitter, satu materi yang diberikan melalui video, adalah
tutorial memasukkan senar pada kail pancing. Saya tidak tahu pernyataan itu
benar atau satire, tapi ocehan soal itu benar-benar riuh, dan, jika benar, saya
pikir pemerintah adalah orang-orang yang punya pengalaman buruk dengan
memancing seperti saya.
Dulu ayah membuat saya gemar
memancing dan masalah pertama saya adalah kehilangan sabar ketika kesulitan
memasukkan senar ke dalam kail pancing. Sebagai bocah kecil, saya uring-uringan
dan menyalahkan siapa saja yang sedang berada di sekitar. Nenek saya di kemudian hari mulai
memberi saya tugas memasukkan benang jahit pada lubang jarum, sebagai latihan
berkala.
Masalah berikutnya adalah kail saya
seperti benda yang tidak menarik bagi mulut-mulut ikan: mereka menjauh dan
lebih memilih kail-kail kawan-kawan saya. Jadi, selama memancing, kebanyakan
saya hanya bengong seperti orang frustasi. Dan sekarang anda bisa melihat
bagaimana pemancing memang tampak seperti merenung saat menunggu kailnya
digondol ikan, apalagi jika mereka mancing sendirian. Bahkan, pada saat
tertentu, mereka mungkin merenung seperti penyair yang kehilangan kebahagiaan. Saya
khawatir mereka seperti itu karena stress menghadapi pasangan di rumah dan
mencari kesempatan merenung.
Maka, soal materi tutorial
memasukkan senar pada kail itu jangan-jangan merefleksikan bahwa pemerintah
adalah orang-orang yang hobi memancing, dan hobi melamun. Sebab tutorial
memasukkan benang pasti dihasilkan dari pikiran melamun. Anda tahu, orang
waras tidak akan menghabiskan anggaran untuk membuat materi sederhana dengan menghabiskan banyak anggaran.
Baiklah, bahkan jika perkara
benang-kail di atas hanya celoteh warga dan pemerintah tidak membuat materi
demikian, kita sudah sama-sama diberi informasi bahwa materi dalam Pra Kerja
bisa didapatkan di internet secara gratis. Nah, saya tidak perlu mengulang
betapa bobrok program ini dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu: Anda paham bahwa pelatihan-pelatihan di dalam sana harus dibayar dengan jumlah
tentu. Katakanlah, untuk materi bagaimana menggoreng telur, peserta diharuskan
membayar 500 ribu (uang yang diberi oleh pemerintah), dan 500 ribu tersebut
masuk pada rekening penyedia materi.
Tampaknya yang diuntungkan dari
program ini hanya orang-orang tertentu, eh?
Sekarang saya mengajak anda pada
lamunan tentang bagaimana saya membuat tandingan program pemerintah itu,
jika saya mempunyai uang 5 T. karena saya memiliki kepercayaan bahwa hal baik
dimulai dari bagaimana cara berpikir kita, maka saya akan mengupayakan
masyarakat memiliki tradisi berpikir yang bagus, yakni dengan menyediakan
bahan-bahan bacaan bagus dan membuat kampanye membaca.
Saya tahu, tidak ada yang baru dari
usulan di atas, bahkan terlampau klise. Tapi bagaimanapun selama ini kita
diperlihatkan bahwa pemerintah tidak memikirkan upaya serius bagaimana membuat
masyarakat gemar belajar. Saya belum membaca, misalnya, tentang tindakan atau kebijakan pemerintah, bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait untuk membuat
perpustakaan di setiap desa atau bagaimana membuat peserta didik memiliki keberanian
bertanya di berbagai kesempatan. Anda tahu, kecerdasan bertanya berbanding
lurus dengan kecerdasan ingin tahu tentang suatu persoalan.
Jika masyarakat gemar bertanya,
barangkali pemerintah akan lebih hati-hati dalam membuat kebijakan. Mereka tidak
bisa lagi mengatakan bahwa onta akan turun dari langit, dan masyarakat
manggut-manggut seolah itu sebuah firman. Pemerintah akan membuat kebijakan yang
baik untuk menjalankan, paling tidak, fungsinya sebagai penyelenggara negara.
Kembali pada soal rancangan program
saya. Sekarang, saya berencana membuat sarana bacaan yang bagus untuk
masyarakat, bahkan di desa. Saya butuh beberapa buku bagus. Harga buku
bagus biasanya sedikit mahal dan untuk kepentingan generalisir, katakanlah, ambil
harga 80 ribu pereksemplar. Buku ini akan dibagi untuk seluruh kabupaten di
Indonesia yang berjumlah kurang lebih 415.
Saya akan membuat perhitungan
seperti ini: 5 T dibagi 80 ribu dibagi 415 (jumlah kabupaten). Saya mendapat
angka 150.602.41. Akan ada sekitar 150 ribu buku bagus pada setiap kabupaten. Pemerintah
setempat bisa membuat perpustakaan keliling hingga semua daerah dapat membaca.
Tunggu, saya tahu, rancangan ini
kurang efektif karena saya dapat membuat perpustakaan digital. Baiklah, sekarang
saya dapat mengalihkan rancangan untuk memperkaya perpustakaan digital;
menerjemahkan sebanyak-banyaknya karya bermutu, dan memastikan kampanye membaca
berjalan dengan semarak.
Anda tentu saja bisa tidak setuju
dengan program saya. Sah saja, dan saya menyarankan, jika anda cukup mempunyai
waktu luang, untuk ikut berkhayal tentang bagaimana kira-kira anda
mengalokasikan dana sebanyak itu untuk kepentingan bersama.
Berkhayal toh masih gratis dan saya
berkhayal demikian karena menjadi pintar adalah hal paling substansial sebagai
bekal hidup dengan masa depan lebih cerah.
Intinya, bagaimana uang tersebut
dapat membangun masyarakat yang lebih baik; yang tidak mudah dibodohi
pemerintah. Saya kadang curiga pemerintah tidak akan suka jika masyarakat
pintar: tidak ada lagi orang-orang yang akan mereka bodohi dan diperas uang
pajak.