Selasa, 30 Juni 2020

Orang Fanatik


Kewarasan pikiran sepertinya akan tetap menjadi sesuatu yang tidak mudah didapat, atau dipertahankan. Saya dan Anda bisa menilai pidato politikus ketika kampanye tidak lebih dari kebohongan yang dirancang dan para pendukungnya pun tahu bahwa itu sebuah kebohongan dan mereka tetap mempercayai kebohongan.

Sepanjang masa politik tahun lalu seorang kenalan saya memuja Pak Jokowi dan di kepalanya tidak ada setitik pun keburukan pada presiden itu, jika toh ada ia akan membuat alasan seolah-olah itu bukan keburukan atau kesalahan. Setiap keburukan bagaimanapun akan tetap memiliki dalih. Dan, kenalan saya ini melihat langkah-langkah politik Pak Prabowo pada masa kampanye adalah janji-janji yang harus diwaspadai, karena menurutnya cara memimpin Pak Prabowo tidak akan membuat Indonesia maju.

Seorang kenalan lain memuja Pak Prabowo dan melihat janji-janjinya ketika kampanye adalah solusi untuk memperbaiki Indonesia. “Sejarah mencatat banyak pemimpin Indonesia adalah sosok yang dibesarkan dalam dunia militer, mereka membawa dampak yang baik. Prabowo dibesarkan dalam dunia militer, ia berpotensi besar,” katanya.

Mereka hanya sebagian kecil dari kenalan saya yang memiliki spektrum politik yang fanatik. Artinya, ada sekian banyak kawan lain memiliki keyakinan serupa: melihat dukungan mereka seperti tuhan dan lawan politiknya sebagai setan. Hingga musim covid seperti sekarang, yang memperlihatkan kinerja pemerintah cukup tersendat-sendat, kenalan pemuja Jokowi tetap memproduksi alasan-alasan bahwa langkah Jokowi sudah tepat.

Di perjalanan, di kampus, di warkop, dan mungkin di kamar mandi jika kami memiliki kesempatan satu bilik, sepertinya ia akan memproduksi wacana itu-itu saja. Saya khawatir menjadi waras akan menjadi langka kian hari.

Sampai hari ini, ketika anjuran untuk berpikir jernih sudah menginjak usia ribuan tahun, kita seperti gagap saja menjalankan nasihat penting itu. Angan-angan tentang apa yang ideal, efektif menutup akal dari kemungkinan-kemungkinan lain dari angan-angan itu.

Saya sendiri tidak gemar melibatkan diri dalam obrolan politik. Anda tahu, ada hal yang lebih sia-sia ketimbang menyembah batu kali, yakni terlibat dalam obrolan politik, kecuali kita memang praktisi di bidang tersebut. Saya paham, politik adalah alat paling efektif untuk membuat kehidupan bernegara menjadi baik. Tapi saya tidak sepakat untuk menutup mata dari kesalahan yang dilakukan pemimpin, padahal ia mampu untuk menghindari kesalahan itu.

Dari seorang kawan ahli pajak, saya diberi tahu urusan berbelit tentang pajak yang, selama Indonesia berdiri, masih menunjukkan fakta bahwa di sana-sini berjubel keruwetan. Dari guru pendidikan dan dari guru-guru ahli pada bidangnya masing-masing saya mendapat pengetahuan bahwa Indonesia masih merangkak tertatih menuju ideal.

Penyebab utama dari itu semua adalah ketidak beresan politik negara ini. Dan mendengar kawan menyemburkan pikirannya tentang tokoh politik yang ia puja seringkali membuat saya jenuh. Bercakap-cakap dengan orang ini kadang sia-sia belaka. Saya bisa saja menyanggah apa yang ia yakini dan sepertinya ia akan merelakan dirinya menjadi mesin pembela tokoh yang ia puja dengan menyerang balik saya tanpa kenal ampun.

Pada kasus-kasus lain, Anda akan mendapati banyak sekali orang demikian. Maksud saya, jika kita perhatikan satu tokoh terkenal, siapapun itu, dapat dipastikan mereka memiliki pengikut fanatik. Tentu saja hal itu wajar belaka. Saya juga memiliki sosok yang sering saya glorifikasi buah otaknya pada diri saya sendiri sebagai pembelajaran.

Namun seringkali saya kehilangan selera untuk menyebarkan glorifikasi itu pada orang-orang lain karena, berkaca pada persoalan fanatik di atas, saya berpikir apa yang orang lain anggap ideal belum tentu ideal bagi saya; apa yang hebat bagi saya belum tentu demikian bagi orang lain. Oh, ini rumus yang anak SD pun saya pikir pasti paham.

Dilihat lebih dekat tentu saja soal sosok idola tidak lebih dari refleksi kecenderungan personal masing-masing orang. Tapi ada persoalan lain yang samar: dalam sebuah keterpesonaan kita pada seorang sosok, kita memiliki parameter tersendiri. Maka, kecanggihan parameter itulah yang sesungguhnya menentukan kualitas kita sebagai penggemar pada satu sisi, dan kualitas tokoh pada sisi yang lain.

Bung Karno, misalnya, bagi sebagian mahasiswa merupakan sosok yang gemar menikmati gundik dan berfoya-foya. Golongan ini suatu ketika, di masa lampau, berdemo anti Bung Karno, dan mengajak Pak Said—tokoh penting Taman Siswa—untuk ikut serta. Pak Said dengan kata-kata terukur menjawab bahwa ia memahami betul kenapa mahasiswa itu berdemo namun ia menolak dengan pernyataan, “Bung Karno sosok yang menggugah kebangsaan saya.”

Bung Karno dapat dilihat dari berbagai sisi. Pada sisi mana kita melihat, di situlah persona kita hadir. Ketika Pak Said memilih melihat Bung Karno sebagai tokoh bangsa, ia mengeliminasi kecenderungan lain yang dibenci mahasiswa: foya-foya. Namun eliminasi itu disertai kesadaran.

Anda menyukai Fiersa Besari, maka hal itu merefleksikan sebagian cara berpikir Anda. Anda menyukai Hemingway, itu juga refleksi dari selera Anda. Apapun itu, saya harap kita memiliki parameter yang melibatkan nalar.

Maklum


Ketika S1: nulis skripsi nggak usah bagus-bagus. Toh Cuma skripsi, nanti saja pas thesis.

Ketika S2: eh, nulis thesis biasa aja lah. Banyak yang biasa-biasa aja. Yang serius itu disertasi. Harus ada temuan.

Ketika S3: nulis disertasi yang penting lulus aja, deh. Dari pada nggak lulus kan sayang. Disertasi yang jelek itu banyak di Indonesia.

Jadi kapan kita mau serius?

Minggu, 21 Juni 2020

Soal Menghabiskan Uang 5 Triliun


Berkat kebiasaan bermalas-malasan di kamar dan hanya berselancar di Twitter atau di dunia maya—dengan rebahan—saya bisa tahu, beberapa bulan lalu, orang-orang meributkan uang 5 Triliun rupiah yang diberikan oleh pemerintah pada salah satu perusahaan start up teknologi. Uang itu, menurut beberapa berita yang saya baca, dikucurkan untuk mengembangkan kompetensi kerja, yang disebut pemerintah dengan program Pra Kerja.

Kawan saya menyarankan saya ikut program itu karena ada uang insentif. Saya tidak ikut.

Sebenarnya, anggaran yang dihabiskan untuk program Pra Kerja ini mencapai 20 T. Saya pura-pura tidak menganggap fantastis angka itu, sebagai upaya menunjukkan bahwa uang itu tampak sedikit bagi rekening saya. Dengan kata lain saya sedang berpura-pura kaya. Saat membaca berita tentang bagaimana uang itu tidak menghasilkan efektifitas yang memuaskan untuk meningkatkan kompetensi masyarakat, saya benar-benar kecewa dan mengambil kalkulator untuk kepura-puraan selanjutnya.

Waktu itu, dan mungkin waktu yang sungguh sia-sia, saya mulai berpura-pura memiliki uang 5 T. Karena khayalan saya ini bermula dari kekecewaan pada pemerintah dalam menggunakan uang rakyat, tentu saja saya berkhayal menggunakan uang itu untuk kepentingan rakyat. Jika khayalan saya ini tidak diawali kedongkolan pada pemerintah, tentu saja saya akan berkhayal menggunakan uang itu untuk melamar Mbakyu! Dan mulai membangun masa depan bersama. 

Oh, saya tidak berpikir atas penggunaan uang 20 T: saya belum terbiasa dengan jumlah angka nol di belakang angka dua itu.

Langkah selanjutnya adalah saya melihat apa dan bagaimana pemerintah melakukan upaya untuk melatih skill kerja masyarakat. Menurut Twitter, satu materi yang diberikan melalui video, adalah tutorial memasukkan senar pada kail pancing. Saya tidak tahu pernyataan itu benar atau satire, tapi ocehan soal itu benar-benar riuh, dan, jika benar, saya pikir pemerintah adalah orang-orang yang punya pengalaman buruk dengan memancing seperti saya.

Dulu ayah membuat saya gemar memancing dan masalah pertama saya adalah kehilangan sabar ketika kesulitan memasukkan senar ke dalam kail pancing. Sebagai bocah kecil, saya uring-uringan dan menyalahkan siapa saja yang sedang berada di sekitar. Nenek saya di kemudian hari mulai memberi saya tugas memasukkan benang jahit pada lubang jarum, sebagai latihan berkala.

Masalah berikutnya adalah kail saya seperti benda yang tidak menarik bagi mulut-mulut ikan: mereka menjauh dan lebih memilih kail-kail kawan-kawan saya. Jadi, selama memancing, kebanyakan saya hanya bengong seperti orang frustasi. Dan sekarang anda bisa melihat bagaimana pemancing memang tampak seperti merenung saat menunggu kailnya digondol ikan, apalagi jika mereka mancing sendirian. Bahkan, pada saat tertentu, mereka mungkin merenung seperti penyair yang kehilangan kebahagiaan. Saya khawatir mereka seperti itu karena stress menghadapi pasangan di rumah dan mencari kesempatan merenung.

Maka, soal materi tutorial memasukkan senar pada kail itu jangan-jangan merefleksikan bahwa pemerintah adalah orang-orang yang hobi memancing, dan hobi melamun. Sebab tutorial memasukkan benang pasti dihasilkan dari pikiran melamun. Anda tahu, orang waras tidak akan menghabiskan anggaran untuk membuat materi sederhana dengan menghabiskan banyak anggaran.

Baiklah, bahkan jika perkara benang-kail di atas hanya celoteh warga dan pemerintah tidak membuat materi demikian, kita sudah sama-sama diberi informasi bahwa materi dalam Pra Kerja bisa didapatkan di internet secara gratis. Nah, saya tidak perlu mengulang betapa bobrok program ini dan hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu: Anda paham bahwa pelatihan-pelatihan di dalam sana harus dibayar dengan jumlah tentu. Katakanlah, untuk materi bagaimana menggoreng telur, peserta diharuskan membayar 500 ribu (uang yang diberi oleh pemerintah), dan 500 ribu tersebut masuk pada rekening penyedia materi.

Tampaknya yang diuntungkan dari program ini hanya orang-orang tertentu, eh?

Sekarang saya mengajak anda pada lamunan tentang bagaimana saya membuat tandingan program pemerintah itu, jika saya mempunyai uang 5 T. karena saya memiliki kepercayaan bahwa hal baik dimulai dari bagaimana cara berpikir kita, maka saya akan mengupayakan masyarakat memiliki tradisi berpikir yang bagus, yakni dengan menyediakan bahan-bahan bacaan bagus dan membuat kampanye membaca.

Saya tahu, tidak ada yang baru dari usulan di atas, bahkan terlampau klise. Tapi bagaimanapun selama ini kita diperlihatkan bahwa pemerintah tidak memikirkan upaya serius bagaimana membuat masyarakat gemar belajar. Saya belum membaca, misalnya, tentang tindakan atau kebijakan pemerintah, bekerja sama dengan lembaga-lembaga terkait untuk membuat perpustakaan di setiap desa atau bagaimana membuat peserta didik memiliki keberanian bertanya di berbagai kesempatan. Anda tahu, kecerdasan bertanya berbanding lurus dengan kecerdasan ingin tahu tentang suatu persoalan.

Jika masyarakat gemar bertanya, barangkali pemerintah akan lebih hati-hati dalam membuat kebijakan. Mereka tidak bisa lagi mengatakan bahwa onta akan turun dari langit, dan masyarakat manggut-manggut seolah itu sebuah firman. Pemerintah akan membuat kebijakan yang baik untuk menjalankan, paling tidak, fungsinya sebagai penyelenggara negara.

Kembali pada soal rancangan program saya. Sekarang, saya berencana membuat sarana bacaan yang bagus untuk masyarakat, bahkan di desa. Saya butuh beberapa buku bagus. Harga buku bagus biasanya sedikit mahal dan untuk kepentingan generalisir, katakanlah, ambil harga 80 ribu pereksemplar. Buku ini akan dibagi untuk seluruh kabupaten di Indonesia yang berjumlah kurang lebih 415.

Saya akan membuat perhitungan seperti ini: 5 T dibagi 80 ribu dibagi 415 (jumlah kabupaten). Saya mendapat angka 150.602.41. Akan ada sekitar 150 ribu buku bagus pada setiap kabupaten. Pemerintah setempat bisa membuat perpustakaan keliling hingga semua daerah dapat membaca.

Tunggu, saya tahu, rancangan ini kurang efektif karena saya dapat membuat perpustakaan digital. Baiklah, sekarang saya dapat mengalihkan rancangan untuk memperkaya perpustakaan digital; menerjemahkan sebanyak-banyaknya karya bermutu, dan memastikan kampanye membaca berjalan dengan semarak.

Anda tentu saja bisa tidak setuju dengan program saya. Sah saja, dan saya menyarankan, jika anda cukup mempunyai waktu luang, untuk ikut berkhayal tentang bagaimana kira-kira anda mengalokasikan dana sebanyak itu untuk kepentingan bersama.

Berkhayal toh masih gratis dan saya berkhayal demikian karena menjadi pintar adalah hal paling substansial sebagai bekal hidup dengan masa depan lebih cerah.

Intinya, bagaimana uang tersebut dapat membangun masyarakat yang lebih baik; yang tidak mudah dibodohi pemerintah. Saya kadang curiga pemerintah tidak akan suka jika masyarakat pintar: tidak ada lagi orang-orang yang akan mereka bodohi dan diperas uang pajak.

Kerinduan


Dulu, di Facebook saya pernah menulis: “Yang paling kesepian adalah yang tertusuk kerinduan, dan yang paling tersayat adalah yang tidak tahu bagaimana mengatasinya.”

Selasa, 16 Juni 2020

Menipu Kawan


—Catatan untuk Anis, Rika, dan Artha

Saya senang membaca pernyataan Aristoteles tentang pertemanan, bahwa jenis pertemanan—berdasarkan motifnya—ada tiga: utilitas, kepuasan, dan keutamaan.

Utilitas adalah pertemanan yang bertujuan mengandalkan nilai kebaikan tertentu yang dapat diperoleh dari seseorang, entah dari pikiran, kemampuan, energi, dan sebagainya. Kepuasan, sebagaimana arti kepuasan, adalah pertemanan yang mengandalkan aspek kepuasan, terlepas dari apa yang kita anggap sebagai kepuasan itu. Keutamaan, adalah jenis pertemanan ketika kita melihat nilai kebaikan itu sendiri dari karakter atau perilaku seseorang. Demikian penjabaran Yasraf Amir Piliang tentang paragraf pertama di atas.

Anis, Rika, dan Artha, oh saya mengurutkan demikian untuk mendapat efek irama. Anda bisa menyusun secara berbeda dan, percayalah, anda akan kehilangan irama. Jadi Anis, Rika, dan Artha, mereka adalah kawan yang saya tidak tahu apa motif pertemanan di antara kami dan saya tidak ingin mencari tahu dan saya ingin memberi tahu bahwa saya pernah menipu mereka, dengan cara yang entah baik atau buruk.

Saya memiliki sedikit kegemaran menulis, dan saya sedikit gemar menyebarkan kebiasaan ini pada teman-teman yang juga berminat dalam dunia tulis menulis. Anda tahu, sebenarnya ini gejala yang cukup biasa pada manusia: ia gemar sekali membicarakan minatnya pada orang lain dengan tujuan mereka juga tertular minat tersebut.

Sebenarnya saya kurang tahu apakah ketiga teman itu menyimak cerita saya tentang tulis menulis. Mungkin mereka bosan dan mendengar dengan enggan. O, tunggu, sebenarnya saya jarang bercerita kepada mereka tentang dunia tulis menulis, lebih tepatnya saya memprovokasi mereka, jika boleh dikatakan demikian, dengan cara yang cukup brengsek.

Pada Anis dan Rika saya pernah berjanji untuk menulis artikel bersama dan berangkat ke Yogyakarta untuk konferensi ilmiah. Pada Artha saya pernah sesekali memprovokasi untuk menulis, ia menulis sebuah cerita saat ada di Mesir dan mengirim pada saya, untuk saya komentari. Saya katakan akan lebih mudah mengedit bersama nanti jika ia telah pulang, itu kata-kata yang belum sempat kami tunaikan.

Singkat cerita, Anis dan Rika berangkat konferensi, setelah merampungkan tulisan yang, pada banyak kesempatan, saya tanya progresnya saat proses penulisan. Kata Anis itu pertanyaan seperti kompor. Sebenarnya saya tidak berniat jadi kompor, karena menjadi tiang listrik atau patung pahlawan atau enceng gondok lebih menyenangkan. Menjadi tiang listrik berpotensi menangkap koruptor; menjadi patung pahlawan bisa sering diajak selfi para Mbakyu; menjadi enceng gondok adalah cara praktis meraih keinginan masa kecil saya: mengapung di atas air.

Di awal-awal rencana konferensi saya berjanji membantu penulisan artikel mereka, minimal bersedia membaca dan memberi sedikit sumbangan. Tapi saya harus macak sibuk hal-hal lain dan hingga mereka berangkat saya tidak berkesempatan membaca tulisan mereka. Anis dan Rika bahkan sudah tidak mengirim tulisan pada saya, saya pikir itu bagus karena mereka bisa mencari bantuan pada orang yang lebih ahli. Belakangan saya membaca tulisan mereka di prosiding.

Satu-satunya hal yang mereka tanyakan pada saya adalah dua opsi judul yang mereka tawarkan. Dan saya sedikit memberi pertimbangan untuk memilih judul berbasis riset lapangan: mereka KKN di Samarinda dan memiliki pengetahuan lapangan tentang isu yang mereka jadikan opsi judul. Sudah, hanya itu.

Saya merasa sedikit berhasil menipu Anis dan Rika untuk berangkat konferensi, hanya sedikit berhasil karena porsi yang banyak adalah niat mereka. Anda tahu, manusia menempa diri sejauh dan seberat yang mereka mau, untuk menjadi sebaik dan secakap yang mereka mau. Dengan kata lain, dalam soal pengembangan diri, adalah soal keuletan.

Dan Artha, saya merasa tidak melakukan provokasi berlebihan kepadanya, namun belakangan ia mengikuti lomba puisi dan tulisannya terpilih menjadi salah satu tulisan yang dibukukan, ia menulis bahwa itu salah satu efek dari pesan saya untuk mengisi blognya. Saya rasa pengakuan itu berlebihan karena dilihat dari sudut manapun saran itu tidak memiliki daya provokasi.

Di story WhatsApp-nya ia menyebut nama saya dan menulis: “Terima kasih, setidaknya tulisanku nyangkut di buku The Magnificient Jingle.” O, saya ingin mengucap terima kasih kembali tapi sepertinya kurang pantas. Saya merasa tidak melakukan apa-apa. Tapi, saya senang atas kabar itu. Maksud saya, senang sekali.

Kawan-kawanku, begitulah dunia tulis menulis. Saya bukan penulis dalam arti yang sebenarnya, meski begitu dunia ini telah membawa saya pada tempat-tempat yang saya tidak pernah duga sebelumnya. Saya bodoh, dan belajar menulis, dan saya mendapat banyak pengalaman yang bagi saya menyenangkan.

Saya masih belajar menulis dan banyak mempelajari teknik menulis, namun menulis masih belum menjadi urusan yang mudah, tentu saja jika itu adalah menulis dengan baik. Sebab menulis dengan buruk tidak pernah memiliki aturan, kita tinggal duduk di depan alat tulis dan melantur seperti layaknya tukang ketik. Tukang ketik bukan penulis, mereka hanya mengetik seolah-olah penulis.

Saya berharap di masa-masa berikutnya, menulis menjadi urusan yang mudah bagi kita dan siapapun yang memiliki minat di dunia tulis menulis. Penipuan iseng saya mungkin telah membuat mereka sedikit kerepotan (atau ini dugaan yang berlebihan). Tapi mendengar ucapan terima kasih dari mereka, membuat saya sedikit cengeng dan terharu.

Maaf tulisan ini agak melantur, saya ingin mengucapkan terima kasih karena telah bersabar untuk tetap menjadi seorang teman meski telah saya tipu. Kalian kawan yang teripu. Meski demikian sepertinya pertemanan kita—meminjam istilah Pak Aristo—pertemanan keutamaan.

Tapi kalian tetap kawan yang saya tipu. Ingat itu. Yang lain silakan hati-hati.

Merasa

Tuan-tuan, jika anda punya mantan pacar yang dulu kuliah sekampus, dan anda mendapati ia ngoceh di media sosialnya bahwa sedang kangen kampus, percayalah, demi kewarasan, anda tidak perlu merasa menjadi sebuah kampus.

Kamis, 04 Juni 2020

Menulis untuk Uang


Pada suatu hari dan itu hari yang cukup baik, saya nongkrong bersama seorang teman. Pikiran kawan saya tertuju pada zaman ketika ia menjadi mahasiswa yang serba mengutamakan ilmu di atas uang. Sekarang kondisinya sudah berubah: menghadapi kehidupan yang tidak lagi ditanggung orang tua, menurutnya, membuka mata bahwa uang menjadi orientasi utama untuk menopang hidup.

“Sekarang yang penting adalah uang,” katanya, “kau bisa ndakik-ndakik mengatakan uang bukan segalanya, tapi kelak, jika kau sudah dihadapkan dengan realitas, kau akan berpikir berbeda.”

Saya setuju padanya. Sejak remaja, saya sudah mulai meninggalkan ketergantungan pada orangtua, dan mendapati bahwa uang cukup penting—untuk tidak mengatakan yang paling penting. Kesadaran itu membuat cara pandang saya berimbas pada sikap: saya masih sering mengutamakan uang di atas hal-hal lain, dunia akademik misalnya.

Sebagian besar saudara dan kawan memandang saya serba idealis ketika menyangkut dunia akademik, atau keilmuan. Padahal tidak. Banyak hal-hal yang saya lakukan di bidang akademik hanya berorientasi uang. Ketika semester tiga, saya mendapati tawaran untuk menulis makalah dosen, dengan jumlah bayaran tertentu, dan saya setuju. Ternyata menulis makalah bisa dapat uang, pikir saya saat itu. Enak juga.

Di semester-semester berikutnya, ada beberapa dosen yang mulai melirik makalah yang saya tulis untuk kelas perkuliahan sehari-hari. Mereka yang cukup tertarik mulai menghubungi saya dan meminta untuk menuliskan jurnal untuk mereka, dan saya setuju selama honornya sesuai. Pada masa-masa itu—hingga sekarang—saya terus melatih skill menulis untuk dapat bersaing saat “duet” bersama atasan.

 Sampai suatu ketika, seorang dosen melibatkan saya dalam proyek penelitian dengan jumlah honor yang cukup besar. O, saya makin menikmati dunia tulis-menulis untuk uang. Sebenarnya, sebagai mahasiswa, saya akan memiliki tingkat karir akademik yang cukup cemerlang jika mau menulis jurnal untuk diterbitkan atas nama saya sendiri. Tapi tidak, saya lebih menikmati uang.

Orang bisa membaca tulisan saya, tanpa tahu saya. Jurnal yang saya tulis pernah menjadi obrolan hangat di tengah lingkungan saya, meski mereka tidak tahu bahwa saya penulisnya—karena terbit atas nama orang, dan saya cukup puas. Anda tahu, orang dengan antusias mendiskusikan tulisan anda tanpa tahu bahwa anda sosok penting di balik layar, memiliki tingkat kepuasan tersendiri. Tentu selama anda termasuk orang yang gemar berada di balik layar.

Kelak saya tahu bahwa sebutan untuk penulis semacam ini adalah ghost writer.

Siapa tahu tulisan ini dibaca orang-orang yang menganggap saya idealis, dalam arti mengutamakan karir akademik di banding uang, oh, kalian keliru. Saya menulis kebanyakan untuk uang.

Saya pikir, menulis dengan sistem seperti ini, saya mendapat uang dan ilmu sekaligus. Pernah suatu ketika saya harus menulis laporan tentang pupuk organik. Hal ini membuat saya harus riset dari awal tentang topik yang saya tulis, seperti apa itu unsur hara tanah, komponen pupuk, kenapa pupuk itu penting, kenapa pestisida itu tidak baik, dan semacamnya, dan seterusnya.

Di satu kesempatan, saya menulis proposal disertasi tentang dunia pendidikan. O, saya sedikit mulai mengenal dunia pendidikan dari situ, melalui riset yang cukup panjang dan melelahkan. Sekali lagi, keilmuan dan uang saya dapat sekaligus.

Yang ingin saya katakan: saya menulis jurnal ya untuk uang; saya menulis laporan orang ya untuk uang; saya menulis proposal orang ya untuk uang; dan untuk sedikit keilmuan. Bahkan, jika saya diminta menulis dan honornya tidak memadai saya akan menolak. Sedikit sekali saya menulis untuk tujuan yang agak mulia, dua hal diantaranya untuk konferensi dan tugas-tugas kuliah.

Atas dasar kebiasaan saya itu, seorang kawan nyeletuk, “Sumber penghasilanmu hina sekali.”

“Ya,” kata saya, “inilah dunia kita: seorang bisa mendapat keuntungan dari kebobrokan orang lain.”

“Dan kau menikmati?”

“Dan aku menikmati. Sementara.”

Sementara saya masih bisa bersenang-senang dengan menulis yang menghasilkan uang. Tentu uang bukan segalanya, saya setuju; ada beberapa hal yang tidak dapat dicapai dengan uang. Tapi, seperti kata teman saya, kenyataan di lapangan akan menuntut kita untuk memiliki cara pandang yang sedikit materil. “Kalau melihat orang idealis, kita berpikir positif saja, mungkin mereka memang idealis, atau tunggu tanggal mainnya,” katanya.

Lagi-lagi saya setuju. Tanpa uang, bagaimana saya memiliki Mbakyu?

Uoppooohhhh.

Kekeyi

Beberapa hari yang lalu kami bersantai bersama di suatu tempat. Seorang kawan terlihat asik nonton video di YouTube. Ia tampak serius dan ngobrol menyebut nama yang tak saya kenal dan kemudian ia menoleh ke arah saya dengan melempar pertanyaan, “Kau tahu Kekeyi, Pal?

“Uh, siapa? Sepertinya tidak,” jawab saya. 

“Ha, kamu tidak kenal Kekeyi?” tanya kawan yang lain.

“Tidak,” jawab saya mantap.

Saya merasa kikuk dan pandangan mereka kepada saya menyiratkan bahwa saya telah melewatkan sesuatu yang besar. Untuk mencari teman senasib, saya menanyakan kepada bocah yang dari tadi hanya diam, “Kau tahu Kekeyi?”

“Ya, tahu.” Katanya.

O, saya benar-benar satu-satunya orang yang tidak tahu Kekeyi di ruangan itu. kepada mereka bertiga saya katakan, “Baiklah, aku tidak tahu Kekeyi dan tatapan kalian menyiratkan bahwa hidupku sia-sia selama ini karena tidak tahu Kekeyi. Jadi, siapa Kekeyi itu?”

Sebagian mereka tertawa geli dan menjawab, “Sebaiknya kau tidak usah tahu.” Tapi akhirnya ia memberi tahu juga.

Sekarang saya tahu Kekeyi. Meski tidak tahu apa kegunaan mengetahui Kekeyi.