Kamis, 30 April 2020

Kalimat-kalimat lucu di Story WhatsApp

Ada yang menarik hidup di tengah kepungan media sosial: Kita bisa mendapati orang cerdas menggerutu dengan gaya retoris yang nikmat dibaca; kita bisa mendapati orang cerdas mengucap selamat berbuka puasa dengan hiperbolis yang jenaka; kita bisa menemukan tulisan orang cerdas mengkritik dengan elegan; dan di media sosial ada banyak—lebih banyak dari kalimat cerdaskalimat yang tidak menarik.

Saya bisa mendapati banyak orang mengutip kalimat-kalimat bagus, setidaknya saya yakin demikian mereka beranggapan. Saya suka kalimat yang sulit dipikirkan kebanyakan orang karena menunjukkan bahwa pencipta kalimat itu adalah orang cerdas. Tapi belakangan saya menyadari kalimat bagus tidak luput dari kesalahan berpikir dan, menariknya, hal itu tidak banyak disadari orang.

Kita cenderung berpikir bahwa kalimat retoris beres dari masalah, karena diucapkan oleh orang besar. Kawan saya meng-capture kalimat dari Imam Haramain dan mengunggahnya di WhatsApp: “Menikah adalah salah satu sebab hilangnya gila, sebagaimana jomblo adalah salah satu sebab dari gila itu sendiri.”

Saya kehilangan konteks kalimat itu dan memilih menertawainya, saya menganggapnya sebagai celetukan tidak serius dari Pak Imam dan semoga Pak Imam memang memaksudkan ucapannya sebagai celetukan sambil lalu. Sebab jika kata-kata itu keluar dengan keseriusan, alangkah jomblo adalah jalan menuju gila dan cendikiawan besar muslim yang memilih jomblo hingga akhir hayat barangkali...

Menurut saya kalimat Pak Imam di atas bermasalah: Pernikahan tidak selalu membuat bahagia, seperti tidak semua jomblo pasti nestapa. Tapi seorang imam pasti memiliki pengikut setia dan apapun yang ia ucapkan akan diyakini sebagai kebenaran dan akan segera disebar dengan kemantapan kokoh. Anda tahu, imam besar bisa mengatakan besok kiamat atau kesabaran adalah puncak keimanan atau jomblo membuat gila, semua ucapan itu akan melekat di benak pengikutnya.

Pada kesempatan berbeda, kawan lain mengutip kalimat dari dosen di WhatsApp storynya: Kemenangan seorang laki-laki ketika ia dapat mencintai seorang wanita, dan kemenangan seorang wanita ketika ia dapat dicintai oleh seorang laki-laki. Sebagai penutup ia menulis tagar: kuliah cinta.

Entah menang dari siapa, saya tidak tahu. Anehnya kalimat itu juga disebar oleh seorang kawan yang di sebagian besar kesempatan mengeluh soal pasangan. Saya pikir ia kalah dari pasangan. Ia menderita ketika mencintai pacarnya. Dan, ngerinya, saya mendapati banyak pasangan menikah yang saling tertekan tapi memajang foto-foto mesra di media sosial. Kontras. Tapi tidak masalah karena dengan kalimat menghibur, persetan benar atau tidak, sudah dapat menutupi realitas.

Banyak dari saya dan anda mengutip kalimat bagus dilatari setidaknya oleh dua hal: kita mengutip karena memang kalimat itu bagus, atau kita mengutip karena kalimat itu melegitimasi keyakinan atau imajinasi kita.

Setiap ucapan pada dasarnya adalah struktur paling luar dari kerangka pikir dan pengalaman manusia. Kita bisa sering gagal dalam percintaan lalu dengan pengalaman itu kita berucap: “Cinta itu tai kucing!” Tentu saja tidak semua cinta tai kucing, tapi toh struktur pengalaman kita mendesak untuk membuat generalisir yang culun.

Menikah menghindarkan dari gila dan sebaliknya, gila adalah salah satu sebab dari jomblo, barangkali satu dari banyak kalimat yang muncul dari pengalaman si penutur: ia bahagia dengan pasangan dan akan membayangkan diri akan gila jika tidak bertemu pasangan yang membuatnya bahagia. Dan jika tidak demikian pengalamannya, kalimat itu bisa muncul dari upaya penghiburan diri karena pasangan membuatnya gila. Manusia cenderung membuat kalimat yang memuaskan imajinasi mereka setelah dikecewakan realitas.

Jadi, apakah jomblo membuat gila dan menikah membuat bahagia? Saya belum menikah. Saya tidak tahu. Mencintai wanita adalah kemenangan pria? Saya juga tidak berani menyimpulkan. Tapi mari kita lihat kalimat-kalimat cerdas yang lahir dari problematika pernikahan. Kalimat yang juga merupakan struktur pengalaman penutur. Pengalaman yang disimpulkan dengan lebih beres dan jenaka:

“Jika anda ingin membaca tentang cinta dan pernikahan, anda harus membeli dua buku terpisah.” –Alan King

“Rahasia pernikahan yang bahagia tetap menjadi rahasia.” –Henny Youngman

“Saya suka menikah. Sangat menyenangkan menemukan satu orang istimewa yang ingin anda jengkeli seumur hidup anda.” –Rita Rudner

“Cinta adalah kesalahpahaman antara dua orang bodoh.” –Oscar Wilde

“Pernikahan adalah kemenangan imajinasi atas kecerdasan. Pernikahan kedua adalah kemenangan harapan atas pengalaman.” –Oscar Wilde

“Hidup memberi tahu dirimu untuk naik lift, tapi cinta memberi tahu dirimu untuk naik tangga.” –David Levithan

“Saya sudah bertahun-tahun tidak berbicara dengan istri saya. Saya tidak ingin mengganggu dia.” –Rodney Dangerfield

“Saya menikah dengan seorang hakim. Seharusnya saya meminta juri.” –Grouco Marx  

Tahu tapi Asing


Kami saling tahu sejak lama dan tidak pernah bertegur sapa barang satu kata pun. Kami kadang berpapasan di fakultas, di jalan, di supermarket, dan entah bagaimana mulut kami seperti terganjal sesuatu untuk mengeluarkan bunyi-bunyi salam atau basa-basi.

Saya punya satu kawan yang sering menceritakan dia pada saya. Tak saya sangka, kawan saya juga kenal dia dan dengan enjoy si kawan ini kadang bercerita tentang saya pada dia. “Kau cerita apa?” tanya saya. Ia cekikikan dan menjawab, “Bahwa kau nggak doyan makan pedes dan pernah nangis gara-gara cewek.”

O, sialan.

Mengetahui kenyataan itu suatu ketika saya melihat dia dari jauh, kami berjalan di jalan yang sama dan akan segera berpapasan. Saya bersiap menyapa—untuk pertama kali setelah hampir empat tahun. Saya mulai dengan senyum kecil dan ia menatap saya dengan aneh, seolah matahari tiba-tiba menghilang. Saya salah tingkah dan segera menarik senyum dan pergi, tanpa ada satu kata terucap.
Kami masih saling asing, meski bertahun-tahun sudah saling tahu.

Rabu, 15 April 2020

Kelebihan Orang Kurus

Sejak satu juta tahun lalu saya suka mengeluh karena tubuh sepertinya kehilangan kemampuan untuk lebih berisi, tidak peduli makan tiga kali atau lima kali atau tujuh ribu kali sehari, tetap saja kurus. “Mungkin kau cacingan,” kata seorang teman. “Bukan,” sanggah saya segera, “kata peramal, aku bukan cacingan, hanya perlu menikah.”

Menurut peramal menikah adalah solusi kekurusan dan saya bersyukur ia tidak menganggap semua penyebab kurus adalah cacingan. Karena jika demikian kita bisa berkesimpulan bahwa menikah adalah obat cacingan.  

Sepertinya tuan peramal keliru dan barangkali pandangan yang ia klaim ajaib itu memang kerap meleset. Kawan saya beberapa tahun lalu menikah dan kini tubuhnya tetap saja tipis seperti tubuh saya, atau dalam pengucapan yang lebih sopan: Posturnya minimalis. Dan kawan yang demikian cukup banyak. Saya tidak akan menyarankan mereka menikah lagi dengan perkiraan bahwa pernikahan pertama mereka tidak mengandung obat cacingan.

Dengan perangai yang lebih ilmiah saya mencoba mencari musabab kurus dan apa gerangan solusinya. Dari banyak artikel yang ditampilkan mesin pencari, penjelasan cukup sederhana adalah begini. Kurus disebabkan makanan yang dikonsumsi seseorang tidak memenuhi kebutuhan standar kalori tubuhnya. Perhitungan sederhana, jika kebutuhan kalori tiap hari 1000, namun makanan yang disantap hanya mengandung 700 kalori, tidak elok berharap berat badan bertambah. Tentang cara melihat kebutuhan kalori tubuh sudah menjamur di internet.

O, ternyata biang masalahnya adalah kalori, bukan menikah, setidaknya menurut penuturan ahli gizi. Tuan peramal sepertinya perlu lebih banyak belajar.

Tanpa berupaya mempersulit keadaan, anda yang ingin lebih berisi—sebagaimana saya—jangan dulu menganggap memenuhi kebutuhan kalori adalah perkara enteng. Jika menginginkan hasil maksimal, anda perlu nyemil makanan berkelas tiap hari: Oats, peanut butter, buah (yang mengandung gula), daging, dan telur. Sekali lagi, tiap hari.

Cemilan di atas sangat baik bagi kebutuhan gizi tubuh saya namun tidak baik bagi isi dompet. Dengan demikian saya memilih tidak mengeluh lagi tentang tubuh kurus dan mencoba membuat daftar kelebihan bertubuh minimalis, atau dalam pengucapan di atas: bertubuh tipis. Berikut daftarnya.

Pertama, dianggap tirakat. Saya kira ini kelebihan yang cukup keren meski tidak ilmiah. Anda bisa mengatakan orang kurus kurang makan dan mereka bisa menjawab dengan sedikit nuansa sufistik: Saya tirakat, Kisanak, tidak ada orang tirakat yang berpipi chubby dan bertubuh bulat.

Kedua, mampu mengeluarkan bunyi. Saya tidak tahu apakah orang kurus lain mampu memproduksi bunyi-bunyian, tapi saya bisa. Sedikit memutar dengan lembut jempol kaki, tulang-tulang seperti saling bertabrakan dan mengeluarkan bunyi ritmis: Cetok! Cetok! Cetok! Beberapa kali sendi juga berbunyi demikian.

Jika saya menginginkan bunyi dengan tempo cepat, saya bisa sedikit memutar secara berlawanan antara tubuh bagian atas dan bawah, maka di bagian pinggang akan berbunyi: krutuk! Mungkin 10 atau 20 orang kurus, dengan pembagian nada ketukan sedemikian rupa, dapat membikin musik keroncong alami.

Ketiga, mudah nyelip. Saya tidak pernah berharap dikejar orang bertubuh besar di tengah kerumunan. Namun jika itu sangat sangat terpaksa terjadi, sepertinya saya akan mudah lari darinya karena anda sendiri pasti dapat membayangkan betapa mudahnya orang kurus menyelip di tengah keramaian seolah dirinya selembar kertas. Saya pernah terjebak di stadion dan berhasil menyusup keluar melalui pagar buatan yang sedikit kedodoran. “Jiamput!” kata orang yang melihat usaha saya berhasil sedangkan ia gagal.

Keempat, mudah disimpan. Ah, meski saya tidak berharap dikutuk menjadi barang, sepertinya hal ini tidak bisa dibantah: saya mudah disimpan. Tentu saja jika ada psikopat yang usil menaruh saya pada bagasi mobil atau kulkas satu pintu. Baiklah karena saya sangat tidak berharap ini terjadi, anggap saja mudah disimpan adalah perkataan lain dari hemat tempat.

Kelima, saya kehabisan ide. Silakan jika anda kurus dan merasa daftar saya masih kurang bisa menambah sendiri. Misalnya orang kurus mudah terbang ditiup angin seperti layang-layang. Tentu saja ini kelebihan karena tidak perlu sayap untuk dapat terbang. Meskipun ini cara terbang yang tidak akademis dan ilmiah, setidaknya sudah lebih baik dari pada peramal yang menganggap obat kurus adalah menikah.

Kesepian

Umumnya, kita kita tidak cakap menikmati kesendirian, maka muncul kesepian.

***

"Kesepian terburuk," kata Mark Twain, "adalah tidak nyaman dengan diri sendiri."

***

Dari cuitan @Muhafiabka.

Kamis, 09 April 2020

Cara Mengawali Pagi dengan Baik dan Benar

Saya percaya pikiran positif menggiring pada atmosfir positif, setidaknya hal-hal yang terlihat positif, karena itu di pagi hari saya menghindari kebiasaan membaca ujaran kebencian yang membuat marah atau cuitan yang menjengkelkan dan, alternatifnya, saya membaca puisi-puisi dan berkhayal sesuatu yang menyenangkan.

Saya menyukai puisi meski penyair adalah makhluk aneh yang tulisannya susah dipahami. Anda tahu, puisi kadang sukar dicerna meski ia tetap membawa energi magis. Suatu pagi saya membaca satu puisi Adonis: Cermin Untuk Mimpi:

Ambil ia, ia mimpiku
Jahit dan pakailah
Sebagai pakaian dalam
Telah kau jadikan masa lampau
Terlelap di tanganku
Mengelilingiku, berputar seperti gemuruh
Dalam gerobak matahari
Seperti burung camar yang terbang
Seolah terbang di mataku
Anda paham maksudnya? Saya tidak. Tiga baris pertama membuat saya tertawa dan baris berikutnya membuat saya merenung. Dan saya suka hal-hal yang membuat merenung: Ia lebih baik dari pada sesuatu yang membuat jengkel. Saya menghindari hal-hal menjengkelkan karena ia tak bisa dihitung jumlahnya. Dari kecoak yang tidak tahu diri tiba-tiba nongol di samping kepala saat tidur, hingga penggerutu yang menceritakan aib musuhnya dan berharap saya menyulap si musuh menjadi batu koral atau gerobak matahari atau burung camar.

Puisi memang benda aneh yang membuat saya atau anda merenung, eh? Tapi saya tidak terlalu tahan lama merenung, barangkali yang tahan lama merenung adalah filsuf dan orang-orang yang berbakat menjadi filsuf. Meski demikian saya menyenangi berkhayal.

Sebagaimana saya jelaskan di bagian awal tulisan, saya gemar berkhayal sesuatu yang menyenangkan. Meskipun menurut kawan yang taat agama berkhayal itu tidak baik, dan ia menyarankan saya baca Alquran saja, tapi bagi saya berkhayal betul-betul mengasikkan. Ia memang bertolak dari kesadaran pikiran atas segala keterbatasan diri, dan seluruh keterbatasan itu bisa digilas dalam dunia khayal.

Biasanya, mula-mula saya berkhayal tentang sesuatu yang memanjakan narsisme: saya tidak rupawan dan saya membayangkan punya wajah rupawan. Saya tidak punya rumah dan mobil maka saya berkhayal memiliki rumah dan mobil, dan uang yang banyak tentu saja.

Berparas rupawan dan memiliki banyak uang, serta rumah dan mobil adalah kesenangan hakiki bagi pria di dunia yang fana ini. Dengan kepemilikan itu orang-orang bisa lebih berhati-hati pada saya, dan, yang paling menyenangkan saya bisa membeli banyak barang, terutama buku yang bagus. Di dunia khayal semua bisa sempurna.

Sebagai warga negara yang baik, meski tidak serajin Budi dalam urusan menabung, saya kadang berkhayal sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di negara ini. Misalnya, sering saya membayangkan pemerintah mampu menjadikan warga gemar membaca, dan sekolah sebagai garda depan pendidikan menjadi mesin pencetak pembaca buku yang baik. Mungkin juga penulis yang cakap.

SD yang tak mencetak murid gemar membaca akan menghasilkan lulusan yang masuk SMP dengan minat baca rendah, dan hingga SMA kemungkinan besar murid-murid tetap tidak gemar membaca. Ketika masuk perguruan tinggi, siswa yang tak gemar membaca di SMA ini akan bertemu secuil petaka di kampus: Mereka akan bertemu dosen idealis yang di kelas suka mengolok-olok mahasiswa yang aliterasi.

Saya pikir dosen yang dengan sarkastis merendahkan mahasiswa tidak akan menuai hasil, alih-alih, dosen itu akan kehilangan respek mahasiswa dan mereka tetap menjadi makhluk yang tak menyukai membaca.

Dan begitulah, faktanya universitas pun kerap gagal mencetak lulusan yang gemar belajar atau membaca. Saya khawatir beberapa guru dan dosen juga tidak gemar membaca hingga sepertinya susah sekali menularkan kebiasaan membaca pada peserta didik.

Dosen yang aliterasi tentulah bahaya bagi kemajuan pendidikan kampus. Anda tahu, mereka bisa menjadi tuhan-tuhan dan mereka pastilah bukan tuhan yang asik disembah karena kebijakan bisa saja diputuskan berdasarkan mood belaka: Mahasiswa yang mengajukan judul ketika mood dosen sedang baik akan segera di-acc, dan sebagian mahasiswa lain akan mengalami berbagai kesulitan jika kondisi mood tuhan mereka jelek.

Pada banyak kesempatan, saya mendapati banyak dosen pembimbing yang tidak memperingan penelitian mahasiswa, bahkan tuhan-tuhan ini malah mempersulit mahasiswa dengan keterbatasan pengetahuannya. Misalnya, tanpa memberikan alternatif, Pak atau Bu tuhan dengan enteng berkata, “Ini kerangka teorinya nggak pas, ganti!”

Dan si mahasiswa mlongo karena diganti pun kemungkinan masih ditolak sebab Pak atau Bu tuhan tidak menjelaskan lebih lanjut tentang kriteria seperti apa yang mereka mau. Serupa dengan seorang ibu yang memarahi anak nakalnya, yang porsi kemarahan ibu tidak menyesuaikan dengan kapasitas anak. Dengan kata lain, si anak dituntut memahami ibu. Konyol? dalam kasus pembimbing-mahasiswa, si mahasiswa yang dituntut memahami pembimbing

Saya kira itu konyol sekaligus ironi. Beda cerita kalau tuhan pembimbing memberikan alternatif yang sesuai dan membimbing dengan edukatif. barangkali itu bisa melejit semangat mahasiswa untuk belajar lebih giat karena merasa dibimbing dengan maksimal. Kalau si mahasiswa tetap malas-malasan, baiklah biar tuhan murka saja.

Karena saya mahasiswa, dan mahasiswa yang memiliki tuhan yang tidak asik, saya berkhayal memiliki tuhan dengan pikiran terbuka: mereka tidak takut pada gagasan penelitian mahasiswa dan, tidak mempersulit jalur tanda tangan dengan pertimbangan tidak bijak. Pikiran terbuka, juga kearifan seringkali bermula dari pengetahuan dan pengetahuan selalu bermula dari belajar. Semoga tuhan saya kelak rajin belajar hingga memiliki pikiran terbuka.

Saya berharap banyak kalangan menjadi suka belajar terutama dengan bentuk gemar membaca, baik petani, nelayan, pegawai bank, satpam, marbot masjid, pak RT, guru, dosen, murid, mahasiswa, atau dalam penuturan singkat: semua orang.

Hanya dengan harapan itu terwujud, saya bisa berhenti berkhayal dan menggerutu tentang tuhan-tuhan yang tidak asik, hingga saya bisa mengawali pagi hanya dengan puisi, itu cara membuka pagi yang jauh lebih baik dan benar. 

Tertawa Absurd dan Nasib yang Menular


Di dunia ini ada hal yang membuat kita tertawa tanpa sebab yang jelas. Dan sesekali di dunia ini sepertinya ada nasib yang menular.

Saya belum beruntung dalam hal asmara dan nasib ini sepertinya menular pada dua kawan dekat saya, Doni dan Sukil. Di lain waktu Doni kehilangan STNK, dan kawan saya ini sepertinya menularkan nasibnya pada Sukil. keduanya mengalami banyak drama dalam mencari STNK, bahkan Sukil mengurus ke kantor terkait, dan ia mendapat STNK baru. Kemudian setelah keribetan yang ia jalani, suatu hari seorang tak dikenal datang mengantar STNK Sukil yang hilang. jadilah ia punya dua STNK.

Suatu hari tiba-tiba STNK saya hilang. bajingur sekali, umpat saya, ini pasti ketularan nasib si Doni dan Sukil. Setelah saya putus asa mencari di seluruh kamar, saya memanggil dua orang penular nasib itu. Dengan keyakinan bocah, saya percaya mereka dapat menemukan STNK saya.

Ndilalah, si Sukil menemukan STNK saya di buku yang sebelumnya sudah saya periksa berkali-kali. Sepertinya mata saya benar-benar ditutup dari STNK itu.

Firasat saya benar, hanya mereka yang akan menemukan STNK saya. Sontak di kamar, kami bertiga tertawa karena kejadian tak jelas ini. Dan sekali lagi, mungkin memang ada titik di mana nasib itu menular dan memunculkan tawa tak jelas. Kelak semoga hanya nasib baik yang menular dan tidak pernah ada nasib buruk.

Amin.