Kamis, 02 Januari 2020

Catatan Bingung 1

26 Desember tahun lalu, saya ingin update catatan di blog. Namun ide yang ada masih membutuhkan beberapa bahan bacaan yang hingga sekarang belum rampung saya pelajari. Jadi, saya punya inisiatif menulis story di WhatsApp, untuk meminta pertanyaan dari kawan-kawan, terkait hal apa pun, sekonyol apa pun. Untuk saya post di sini dan dibaca publik. Sekedar iseng. 

Sialnya, setelah beberapa pertanyaan sudah diajukan, saya kehilangan mood nulis. Ditambah ada kesibukan tetek bengek lain. Jadi ini sebuah catatan dengan ide bingung, yang kemudian ditopang pertanyaan serius, guyon, dan konyol dari kawan-kawan. Kepada kalian, saya haturkan terima kasih.

Nama teman-teman tentu tak saya sebut, untuk menjaga privasi mereka. Baiklah, berikut pertanyaan dari kawan-kawan yang saya jawab dengan “perspektif” saya—yang sudah disetujui mereka, tentu saja.

***
Suka cewek manja atau tegas mandiri? Maksudnya manja ke kamu saja.

Harus saya katakan, kawan satu ini tak berkenan saya menjawab di blog. “Jangan... jangan,” cegahnya. “Pertanyaan itu jangan dijawab di publik.”

Dengan bingung saya balas pesan itu, “Loh, justru pertanyaan ini genre subjektif, mudah aku jawab.”

“Jangan. Nanti yang deketin kamu berubah haluan. Misal dia aslinya manja bisa mandiri-mandiriin diri. Pokoknya jangan jawab di publik. Jawab di aku aja. Wkwkwkwk.”

Ujung pesan itu tertawa. Saya juga tertawa, bahkan kebingungan membaca pesan itu. Tentu saya menyadari potensi cinta yang dapat merubah drastis perilaku seseorang. Mahasiswa yang sering bolos kuliah bisa tiba-tiba rajin karena ada si dia. Mahasiswa yang banyak nunggak tugas tiba-tiba menjadi peneliti yang jeli demi membantu si dia menulis tugas akhir. Dan saya berharap orang macam ini tidak menjadi pemabuk jika ternyata cintanya ditolak.

Itu baru satu alasan kenapa saya tertawa. Alasan lain, kenapa juga saya harus merasa ada orang yang diam-diam rela melakukan itu untuk saya? Atau kenapa saya harus merasa GR bahwa di luar sana ada orang-orang yang sedang menaruh hati untuk saya?

Sungguh, itu bukan ungkapan “kerendahhatian” bernada sombong atau semacamnya. Dalam keyakinan kecil saya, lebih baik berpikir bahwa tak ada cewek cukup sinting yang diam-diam menyimpan rasa, setidaknya dari pada petatang-peteteng mengira ada wanita sedang merindukan saya karena kasmaran. Bukankah GR terlalu konyol, eh?

Kalau-kalau kamu yang bertanya kebetulan membaca kalimat di atas, percayalah saya tidak sedang “marah” atau semacamnya. Saya hanya ingin menjawab pertanyaan di atas. Sesederhana itu. Semoga kamu berkenan. Well, jadi saya suka cewek manja atau mandiri?

Sependek yang saya tahu, setiap cewek, barangkali juga cowok, tidak ada yang sepenuhnya mandiri. Pun tidak ada yang sepenuhnya manja. Yang saya maksud jika terkait dengan pasangan. Namun, memang ada sifat dominan yang menjadi ciri utama sifat seseorang. Dan dalam hal ini, saya tentu lebih “suka” cewek mandiri. Dengan pertimbangan bahwa ia juga memiliki sifat manja pada saya. 

Bagi saya, mandiri, dalam arti enggan merepotkan orang lain, pastilah sikap yang penuh kematangan. Yang mencerminkan kedewasaan. Dan saya selalu jatuh cinta pada segala bentuk kedewasaan.

***
Sakralitas ajaran Islam yang mendarah-daging di Jawa?

Saya senyum-senyum membaca pertanyaan yang begitu teoritis di atas. Saya punya keyakinan bahwa ajaran sakral Islam, di mana pun ia tumbuh, termasuk di Jawa, adalah tauhid. Namun saya yakin jawaban ini bukan arah dari pertanyaan itu. Baiklah, biar saya dudukkan hal itu semampu saya.

Pertanyaan di atas mengandaikan adanya dua entitas dikotomis: Islam dan Jawa. Paradigma semacam itu tidak mengherankan, karena penelitian javanolog luar hampir sepakat menyebut Islam hanya “lapisan tipis” yang melingkupi masyarakat Jawa. Narasi itu hampir diamini oleh Zoet Moelder, Geertz, Snouck Hurgronje, Pigeaud, De Graff. Yang ingin dikatakan oleh bocah-bocah ini adalah corak Islam Jawa tak lebih dari sinkretis belaka. Yakni Islam yang diterima secara enggan, dan karenanya orang Jawa mencampurkannya dengan ajaran Hindu atau Buddha.

Tentu banyak sarjana kita yang “nggerundel” tak menerima gagasan itu, tanpa ada sanggahan karya yang sepadan. Dan barangkali saya termasuk golongan orang “nyinyir” tersebut.

Di akhir abad ke-20 dan awal abad 21, tesis orientalis di atas berhasil dipatahkan, kalau boleh saya katakan demikian, salah satunya oleh Nancy K. Florida. Ia mengkaji 1450 manuskrip kuno. Dan dengan ringkas dapat menyimpulkan dari 500 manuskrip, hanya terdapat 17 genre Hinduisme, selebihnya Islam. Dengan kata lain, Islam tak diterima dengan enggan; Islam berkembang dengan adaptatif.

Lantas bagaimana menjelaskan ajaran Islam yang “seolah” bercampur dengan Hindu atau Buddha?

Saya harus menyinggung sedikit sejarah agama Jawa untuk mengintip jawaban soal itu. Masyarakat Jawa tidak bisa dipisahkan dengan ajaran mistis. Dulu tanah ini dihuni warga pemeluk Kapitayan, agama yang percaya keesaan Tuhannya: Sanghyang Taya. Sama dengan Islam, Tuhan agama ini tak dapat diraba secara fisik keberadaannya, ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada. Dalam bahasa Jawa disebut, “Tan kena kinaya ngapa”. Supaya bisa dikenal dan disembah, ia diyakini mempribadi dalam nama dan sifat ilahiyah yang disebut Tu atau To, yang bermakna daya gaib.

Tu lazim juga disebut Sanghyang Tunggal yang memiliki sifat baik: Sanghyang Wenang. Pun sifat buruk: Sang Manikmaya. Untuk memudahkan penyembahan, Tu yang juga bermakna “bersembunyi" kemudian dianggap menjelma dalam benda yang dapat dirasa pancaindera: wa-Tu (batu mulia), Tu-gu (bagunan suci), Tu-nggul (panji), Tu-ban (air terjun).

Argumen yang ingin saya bangun adalah, corak agama Jawa kuno bersifat tauhid, dan bercorak mistis. Tak beda jauh dengan Islam. Pertanyaannya, adakah ajaran Islam yang sedikit bercorak mistis? Yang kemungkinan sangat mudah diterima oleh warga Jawa? Yang juga fleksibel berinteraksi dengan ajaran Hindu? Benar, tasawuf jawabannya.

Di situlah yang barangkali disalahpahami oleh orientalis, mereka tak melihat Islam dari sisi tasawuf yang cukup lentur berinteraksi dengan berbagai budaya. Kenyataannya, manuskrip kuno penuh dengan tembang tasawuf, setidaknya demikian yang diungkap oleh Nancy K. Florida. Bahkan corak Islam yang diajarkan Wali Sanga tak dapat dikatakan keluar dari garis tersebut. Saya tak perlu mengulang tesis bahwa Wali Sanga juga mengajarkan Islam dengan corak tasawuf.

Sudah melihat benang merahnya? Well, dari sini saya harap cukup memperlihatkan bahwa Islam dan Jawa bukan entitas yang dikotomis, sebaliknya, keduanya berinteraksi dengan hubungan baik.

Lalu ajaran apa yang mendarah-daging di Jawa? 

Kalau boleh saya simpulkan, ajaran kental pada proses pribumisasi Islam di Indonesia adalah tasawuf akhlaqi, dengan segala variabelnya, dan ajaran puncaknya: wahdah al-wujud. Namun sayang, corak yang berkembang sekarang hampir seluruhnya fiqhi.

Saya paham, jawaban ini mungkin terlalu melantur, terutama bagi yang bersangkutan. Kalau saya tak salah, ia sedang mempelajari living Islam, dengan segala riil di lapangan. Well, mencari ajaran sakral akan menarik jika membedah sisi tasawuf akhlaqi, terutama dari sisi manuskrip.

Dari Prof. Oman kita bisa tahu, banyak ajaran tasawuf yang tertulis di manuskrip dengan simbol-simbol sangat kaya. Begitu semiotis. Kalau tak bisa akses manuskrip, pertanyaan yang cukup menarik dijawab adalah kenapa dan sejak kapan ajaran tasawuf di Indonesia bergeser ke fiqih? Apakah corak khutbah di daerah tertentu? acata TV tertentu? bahkan konten “Ustad sosmed”?

Saya yakin, itu dapat menjadi sumbangan yang berbobot. Setidaknya jejak pergeseran itu makin jelas garisnya. Dan tentu saja, agar sedikit mengejar ketertinggalan pada Nancy. Sungguh saya pernah tersindir kalimat yang ia tulis, “Kegeniusan yang cenderung radikal dalam penulisan di Jawa tradisional belum juga terwujud di Indonesia masa kini.”

Baiklah, maaf terlalu ngalor-ngidul.  

***
Lebih bagus mana, antara kontol dan penis?

Oh, sori, tidak usah terkejut. Ini pertanyaan konyol yang tentu juga harus saya post.

Saya tidak paham apa yang ada di kepala bocah yang bertanya itu, mungkin untuk “menguji” kebebasan ekspresi saya. Tentu saja saya bisa memilih tidak post pertanyaan ini, tapi bisa jadi ia tepuk tangan dengan “kepengecutan” saya. Dan kamu tidak akan mendapatkannya.

Saya pilih yang kedua, Bastard! Semoga kamu puas. Heuheu.

***

Lanjutan klik di sini.