Catatan ini lanjutan dari posting sebelumnya. Untuk membaca posting awal silakan klik di sini.
***
Bagaimana caramu nembak cewek?
Tidak ada teknik khusus. Saya tipe orang to the poin.
Sejak dulu langkah saya sederhana: mula-mula saya akan mendekati baik-baik.
Jika fase ini direspon dengan positif, saya maju. Jika tidak, ya mundur. Simpel.
Meski demikian, saya sekarang lebih hati-hati. Saya
akan to the poin jika semua sudah memungkinkan. Kita tahu, semakin usia
bertambah, semakin kita dituntut untuk lebih dewasa. Termasuk dalam hal
menyatakan cinta. Meski saya sedang jatuh cinta, misalnya, tapi belum mampu
menjamin untuk melamarnya, saya tidak bisa to the poin. Semata khawatir takut
berujung mengecewakan pasangan.
Dari sini timbul dilema. Kau tahu, ada rasa ingin
selalu dekat, dengan bentuk apa pun. Kita mencoba memenuhi hasrat itu: ngajak
keluar, makan, ngopi, dan semacamnya, semata memenuhi ego rindu dan cinta. Namun
tak bisa lebih dari itu. Dan si dia bisa mengira kita hanya menarik-ulur
perasaan. Well, serba salah?
Begitulah yang di rasa banyak lelaki, setidaknya
menurut saya.
***
Sebutkan
mantanmu dan kisah-kisahnya
Mantan... mantan, oh mantan. Saya sudah menyebutnya.
Dan kisahnya sangat panjang. Kau bisa mati bosan
karena klise jika aku menuliskannya. Intinya: kami jadian. Lalu ada sesuatu
yang mengharuskan kami untuk berpisah. Perjodohan, misalnya. Dus.
***
Pernah ingin kuliah keluar negeri? Wajar nggak kalau kita takut meski sudah dapat kampus full beasiswa karena perbedaan bahasa dan
susah adaptasi?
Hampir semua dari kita—terutama yang gemar belajar
sambil mengais banyak pengalaman—mencita-citakan belajar di luar negeri. Saya termasuk
salah satunya. Sekarang, seperti yang kau tahu, saya menempuh studi di dalam
negeri. Namun, awalnya saya hanya ingin menempuh studi hingga semester tiga. Intinya
tak ingin lebih dari satu tahun.
Waktu itu, saat masih di pesantren, saya sudah sangat
ingin keluar mencari tempat belajar yang sama sekali baru. Untuk lebih khusyuk
belajar (sesuatu yang tak pernah saya peroleh di pesantren) dan menjauh dari
orang-orang yang hanya memanfaatkan saya. Satu-satunya alasan untuk
bisa merealisasikan itu hanyalah kuliah di luar negeri, begitu saya pikir.
Seketika saya menyiapkan dokumen untuk pergi ke Mesir
via beasiswa. Ada beberapa orang yang membantu saya. Namun banyak
persyaratan yang belum terpenuhi. Singkat cerita, saya memilih kuliah di sini, yang
penting dapat suasana belajar baru, sambil lalu menyiapkan diri lebih matang. Dan
sialnya, atau untungnya, saya mendapat beasiswa. Jadi mikir lagi untuk pindah
kuliah.
Akhirnya, hingga sekarang saya belajar di dalam
negeri. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, saya bisa menikmati. Bahkan
saya bersyukur bisa kenal dengan orang-orang yang telaten melatih cara meneliti
dan menulis. Dari situ saya seolah menemukan inti dari belajar, tanpa harus
keluar negeri.
Dan semoga kelak masih punya kesempatan.
Terkait pertanyaanmu selanjutnya, cultural shock
mungkin adalah sesuatu yang cukup wajar. Bahkan tanpa keluar negeri pun saya
sering mengalaminya. Dan banyak yang mungkin se-pengalaman.
Sebagai bocah yang pernah tinggal di pesantren, hal
itu bukan masalah yang besar bagi saya. Entah kenapa saya merasa enjoy ketika
harus berhadapan dengan lingkungan baru. Meski tetap kesulitan adaptasi di
awal. Kau pasti paham maksudnya.
***
Mau tanya tapi bingung.
Mau jawab tapi bingung.
***
Kenapa di penginapan Mbah Geng susah
sinyal? Apakah karena pengaruh mistis?
Dia mungkin bertanya dengan kadar iseng yang luar
biasa. Sekedar info, Mbah Geng adalah orang yang pernah saya tulis di sini. Dan kenapa di rumahnya susah sinyal? Padahal 10 Meter keluar dari rumah
sudah numpuk sinyal?
Iya, ya. kenapa, ya?
***
Bagaimana cara jadi wanita anggun dan
elegan?
Karena pertanyaan itu ditujukan pada saya, seekor
cowok bocah, saya menjawab dengan sudut pandang saya. Jadi, kalau Anda punya
parameter lain, ya silakan.
Saya melihat keanggunan dan eleganitas itu pada dua
hal. Pertama, kedewasaan. Uh, wanita dewasa dapat menempatkan dirinya dengan
bijak. Wanita dewasa dapat menyikapi seorang bocah dengan kalem. Tanpa ribut-ribut,
apa lagi menghakimi.
Saya pernah terang-terangan bilang pada kawan-kawan,
bahwa tertarik pada seorang dosen wanita yang lebih tua dari saya, tentu saja. Sebelum
saya tahu bahwa ia punya suami. Hahaha.
Dari sikapnya, yang kata kawan-kawan cukup judes,
saya melihat keseimbangan: tegas namun penuh empatik; to the poin namun
disampaikan dengan bijak; pandai bicara namun gemar mendengarkan.
Sayang punya suami. Hmmmm.
Yeah, bercanda. Saya mengagumi siapa pun wanita
semacam itu. Meski saya tak mengharap punya pasangan seideal itu. Yang saya
harapkan adalah kategori wanita anggun dan ideal kedua: wanita yang dapat
dipercaya.
Pada wanita itulah, saya berharap menyerahkan
pikiran, tubuh, atau apa pun yang saya miliki. Dan karena alasan itulah, saya
akan mencintainya. Jadi, kalau ada orang yang mengatakan cinta tak beralasan,
saya tak setuju. Kalau ia bertanya mengapa saya mencintainya, saya akan
tersenyum, menatapnya, dan berbisik di telinganya, “Karena aku mempercayaimu,
Sayang.”
Itulah wanita yang layak dicintai pria. Kenapa kepercayaan?
Karena kita membutuhkan integritas untuk membangunnya. Kau hanya butuh tebar
pesona untuk membuat orang tertarik padamu. Namun kau butuh waktu
bertahun-tahun, dan usaha tak kenal lelah, untuk dipercayai.
Selain itu, apa yang dibutuhkan hati yang kerap
disakiti, selain orang yang dapat ia percayai? Jadi, sekali lagi, kalau saya
punya wanita spesial dan ia bertanya mengapa saya mencintainya, saya akan
tersenyum, menatapnya, dan berbisik di telinganya, “Karena aku mempercayaimu,
Sayang.”