Senin, 06 Januari 2020

Catatan Bingung 2


Catatan ini lanjutan dari posting sebelumnya. Untuk membaca posting awal silakan klik di sini.

***
Bagaimana caramu nembak cewek?

Tidak ada teknik khusus. Saya tipe orang to the poin. Sejak dulu langkah saya sederhana: mula-mula saya akan mendekati baik-baik. Jika fase ini direspon dengan positif, saya maju. Jika tidak, ya mundur. Simpel.

Meski demikian, saya sekarang lebih hati-hati. Saya akan to the poin jika semua sudah memungkinkan. Kita tahu, semakin usia bertambah, semakin kita dituntut untuk lebih dewasa. Termasuk dalam hal menyatakan cinta. Meski saya sedang jatuh cinta, misalnya, tapi belum mampu menjamin untuk melamarnya, saya tidak bisa to the poin. Semata khawatir takut berujung mengecewakan pasangan.

Dari sini timbul dilema. Kau tahu, ada rasa ingin selalu dekat, dengan bentuk apa pun. Kita mencoba memenuhi hasrat itu: ngajak keluar, makan, ngopi, dan semacamnya, semata memenuhi ego rindu dan cinta. Namun tak bisa lebih dari itu. Dan si dia bisa mengira kita hanya menarik-ulur perasaan. Well, serba salah?

Begitulah yang di rasa banyak lelaki, setidaknya menurut saya.

***
Sebutkan mantanmu dan kisah-kisahnya

Mantan... mantan, oh mantan. Saya sudah menyebutnya.

Dan kisahnya sangat panjang. Kau bisa mati bosan karena klise jika aku menuliskannya. Intinya: kami jadian. Lalu ada sesuatu yang mengharuskan kami untuk berpisah. Perjodohan, misalnya. Dus.

***

Pernah ingin kuliah keluar negeri? Wajar nggak kalau kita takut meski sudah dapat kampus full beasiswa karena perbedaan bahasa dan susah adaptasi?

Hampir semua dari kita—terutama yang gemar belajar sambil mengais banyak pengalaman—mencita-citakan belajar di luar negeri. Saya termasuk salah satunya. Sekarang, seperti yang kau tahu, saya menempuh studi di dalam negeri. Namun, awalnya saya hanya ingin menempuh studi hingga semester tiga. Intinya tak ingin lebih dari satu tahun.

Waktu itu, saat masih di pesantren, saya sudah sangat ingin keluar mencari tempat belajar yang sama sekali baru. Untuk lebih khusyuk belajar (sesuatu yang tak pernah saya peroleh di pesantren) dan menjauh dari orang-orang yang hanya memanfaatkan saya. Satu-satunya alasan untuk bisa merealisasikan itu hanyalah kuliah di luar negeri, begitu saya pikir.

Seketika saya menyiapkan dokumen untuk pergi ke Mesir via beasiswa. Ada beberapa orang yang membantu saya. Namun banyak persyaratan yang belum terpenuhi. Singkat cerita, saya memilih kuliah di sini, yang penting dapat suasana belajar baru, sambil lalu menyiapkan diri lebih matang. Dan sialnya, atau untungnya, saya mendapat beasiswa. Jadi mikir lagi untuk pindah kuliah.

Akhirnya, hingga sekarang saya belajar di dalam negeri. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, saya bisa menikmati. Bahkan saya bersyukur bisa kenal dengan orang-orang yang telaten melatih cara meneliti dan menulis. Dari situ saya seolah menemukan inti dari belajar, tanpa harus keluar negeri.

Dan semoga kelak masih punya kesempatan.

Terkait pertanyaanmu selanjutnya, cultural shock mungkin adalah sesuatu yang cukup wajar. Bahkan tanpa keluar negeri pun saya sering mengalaminya. Dan banyak yang mungkin se-pengalaman.

Sebagai bocah yang pernah tinggal di pesantren, hal itu bukan masalah yang besar bagi saya. Entah kenapa saya merasa enjoy ketika harus berhadapan dengan lingkungan baru. Meski tetap kesulitan adaptasi di awal. Kau pasti paham maksudnya.

***
Mau tanya tapi bingung.

Mau jawab tapi bingung.

***

Kenapa di penginapan Mbah Geng susah sinyal? Apakah karena pengaruh mistis?

Dia mungkin bertanya dengan kadar iseng yang luar biasa. Sekedar info, Mbah Geng adalah orang yang pernah saya tulis di sini. Dan kenapa di rumahnya susah sinyal? Padahal 10 Meter keluar dari rumah sudah numpuk sinyal?

Iya, ya. kenapa, ya?

***

Bagaimana cara jadi wanita anggun dan elegan?

Karena pertanyaan itu ditujukan pada saya, seekor cowok bocah, saya menjawab dengan sudut pandang saya. Jadi, kalau Anda punya parameter lain, ya silakan.

Saya melihat keanggunan dan eleganitas itu pada dua hal. Pertama, kedewasaan. Uh, wanita dewasa dapat menempatkan dirinya dengan bijak. Wanita dewasa dapat menyikapi seorang bocah dengan kalem. Tanpa ribut-ribut, apa lagi menghakimi.

Saya pernah terang-terangan bilang pada kawan-kawan, bahwa tertarik pada seorang dosen wanita yang lebih tua dari saya, tentu saja. Sebelum saya tahu bahwa ia punya suami. Hahaha.

Dari sikapnya, yang kata kawan-kawan cukup judes, saya melihat keseimbangan: tegas namun penuh empatik; to the poin namun disampaikan dengan bijak; pandai bicara namun gemar mendengarkan.

Sayang punya suami. Hmmmm.

Yeah, bercanda. Saya mengagumi siapa pun wanita semacam itu. Meski saya tak mengharap punya pasangan seideal itu. Yang saya harapkan adalah kategori wanita anggun dan ideal kedua: wanita yang dapat dipercaya.

Pada wanita itulah, saya berharap menyerahkan pikiran, tubuh, atau apa pun yang saya miliki. Dan karena alasan itulah, saya akan mencintainya. Jadi, kalau ada orang yang mengatakan cinta tak beralasan, saya tak setuju. Kalau ia bertanya mengapa saya mencintainya, saya akan tersenyum, menatapnya, dan berbisik di telinganya, “Karena aku mempercayaimu, Sayang.”

Itulah wanita yang layak dicintai pria. Kenapa kepercayaan? Karena kita membutuhkan integritas untuk membangunnya. Kau hanya butuh tebar pesona untuk membuat orang tertarik padamu. Namun kau butuh waktu bertahun-tahun, dan usaha tak kenal lelah, untuk dipercayai.

Selain itu, apa yang dibutuhkan hati yang kerap disakiti, selain orang yang dapat ia percayai? Jadi, sekali lagi, kalau saya punya wanita spesial dan ia bertanya mengapa saya mencintainya, saya akan tersenyum, menatapnya, dan berbisik di telinganya, “Karena aku mempercayaimu, Sayang.”