Kamis, 30 Januari 2020

Egois Membalas Pesan

Tempo hari saya ngoceh di Twitter, “...manusia kerap memiliki tendensi berhubungan satu sama lain berdasarkan pertimbangan untung-rugi.” Itu pengalaman pribadi yang jauh-jauh hari sudah didengungkan Marx. Diam-diam manusia memiliki kegemaran menghitung. Menghitung manusia lain sebagai alat yang melicinkan jalan menuju kepentingannya. 

Hal itu saya pikir akibat dari orientasi hidup yang niscaya berbeda antar individu. Jadi, hal yang dianggap penting pun berbeda. Maka, fungsi orang-orang sekitar pun terbagi menurut apa yang ia anggap penting: jika si A dapat membantu menuju cita-cita maka ia penting. Setidaknya, begitulah pengalaman saya.

Masing-masing kepentingan itu kemudian membentuk sikap kita yang berbeda pada tiap orang. Kita, oh... lebih tepatnya saya, mulai merumuskan sikap yang pas sesuai dengan nilai guna orang lain tersebut. Meskipun mungkin begitulah hukum alam, namun cukup ironis.

Cara saya membalas pesan, misalnya, tak lepas dari anggapan tersebut. Ketika saya dichat beberapa orang yang, katakanlah kurang bernilai bagi kepentingan saya, bisa jadi ia akan lama sekali mendapat balasan. Parahnya saya mungkin sama sekali lupa meladeni orang ini. Fitur Widget pun memfasilitasi saya membaca pesan itu tanpa membuka chat tersebut. Makin mudahlah saya “meremehkan” orang lain. Ketika saya sedang tidak sibuk, pesan itu sebenarnya bisa segera saya balas. Namun karena saya merasa pesan itu tidak penting, saya memilih menundanya.

“Merasa” pesan tidak penting itulah persoalan sebenarnya. Dengan anggapan itu saya mulai memilah pesan yang penting dan tidak penting. Dengan congkak saya menciptakan kasta pesan-pesan itu. Dan diam-diam menggumam, kenapa aku harus membalas pesan remeh ini?

Sebelumnya, harus saya akui, ada beberapa orang yang memang jarang saya balas pesannya. Semata karena ia tipe orang yang hanya datang saat butuh. Maksud saya, orang-orang ini akan datang dengan nada memerintah seolah orang lain rela dan tunduk; seolah orang lain tak punya kesibukan dan masalah. Pada orang seperti ini saya memang malas merespon pesannya. Kadang sama sekali tak saya hiruakan. Well, narsisme orang ini perlu diberi pelajaran, begitu pikir saya.

Kembali pada soal membalas pesan. Tidak perlu saya ceritakan betapa sebenarnya mereka butuh balasan chat itu. betapa saya tidak mampu menghindarkan mereka dari rasa diremehkan. Kenapa diremehkan? Karena hal itu tak mungkin kita... oh, saya lakukan ketika membalas orang yang dianggap penting.

Dan saya tak pernah mampu menghitung berapa jumlah orang-orang yang telah saya buat “menderita” karena persoalan ini. Tapi, kata orang, karma akan berlaku. Juga bagi saya. Tak perlu saya perinci terlalu panjang, suatu ketika saat saya butuh pada seseorang, saya chat dia dengan panik. Semoga segera direspon. Karena ini mungkin karma, pesan saya dibalas beberapa tahun setelahnya. Yeah, beberapa minggu tepatnya.

Pangkat saya sebagai pelaku itu pun tak terhindarkan untuk menjadi korban juga. Hal ini sebenarnya samar-samar menunjukkan bahwa tak sedikit orang yang dapat mengelak dari memperhitungkan orang lain. Barangkali hal itu sudah menjadi mental kolektif bangsa ini.

Seketika saya menyadari bahwa ternyata diremehkan dalam bentuk diabaikan pesannya cukup menyakitkan, meskipun rasanya tidak segalau ditinggal nikah pacar, atau kehilangan seluruh isi dompet, toh tetap membuat kita—yang berharap segera direspon—cukup merasa gusar. Tak lama setelah hal itu saya sadari, segera saya hapus fitur widget di ponsel.

Dari perasaan seolah saya menjadi orang “ditinggalkan” itu, saya dapat merasakan betapa jahatnya diri ini ketika sedang mencampakkan. Saya teringat teman, katakanlah Huri, ia termasuk orang penting, yang tak biasa jika pesannya direspon lamban. Sebagaimana umumnya orang yang merasa dirinya penting, si Huri ini biasa ngambek dan tidak akan pernah menghubungi lagi jika orang bersangkutan merespon di luar batas kewajaran.

Berlebihan? Mungkin iya. Tapi bukan hanya Huri—orang dengan egoisitas tinggi—yang geram pesannya tak dihiraukan. Kita semua merasa diri penting, eh? Jadi saya mulai prihatin pada diri sendiri, betapa ongkos yang harus dibayar atas kebiasaan soal pesan ini adalah perasaan terluka orang lain. Padahal setiap orang layak dihargai!

Tapi memang ada beberapa pesan yang benar-benar tidak penting. Oh, jadi lupakan saja ocehan di atas. Atau kita... oh sori, saya maksudnya, mulai belajar menghargai orang lain dengan baik dan benar.

Manusia Kamar


Kawan-kawan sibuk belajar di kampus. Saya masih meringkuk di kamar.

Kawan sibuk menulis skripsi. Bahkan beberapa sudah lulus. Saya masih nyaman di kamar.

Beberapa sahabat sudah membangun karir dan menghasilkan banyak uang. Saya masih enggan berlama-lama di luar kamar.

Orang lain sibuk liburan dan berhaha-hihi di tempat yang memanjakan mata. Saya masih di kamar.

Oh... saya masih saja di kamar.

Sabtu, 18 Januari 2020

Teh Hangat dan Momen-momen

Sebuah kenangan yang masih basah: kami berkumpul “seperti keluarga” besar, di tempat berbentuk seperti sawah Bali, satu petak lahan lebih tinggi dari lahan yang lain, persis seperti anak tangga berukuran besar. Pinus-pinus menjulang tinggi, membikin asri dan meneduhkan. Sesekali tangkai pepohonan berayun dijentik angin dan melambai pada tubuh. Segumpal syahdu merekah. Pelan-pelan. 

Pagi itu kami dipecah oleh aktivitas berbeda, sekelompok main sepak takrau, sebagian menyanyi di petak lahan paling bawah, di tempat yang lebih atas tampak ada yang bercengkrama mengelilingi meja, sebagian yang lain melihat rumah-rumah dari sudut yang tinggi, sehingga semua tampak kecil, yang sayup-sayup bersinar memukau mata di malam hari. Kawanan terakhir menyiapkan sarapan. Dan yang paling terakhir mungkin tidur renyap di tenda. 

Sebenarnya, itu bukan “seperti keluarga”, kata “seperti” layaknya dienyahkan. Oh, sekurang-kurangnya, selama tiga hari itu kami adalah keluarga! Tentu saja semoga seterusnya.

Betapa tidak? Saya tahu betul susah payah kawan-kawan panitiayang menamai acara ini dengan “One Last Skuy” (saya tak tahu artinya): dari mencari tempat dengan tubuh menggigil kehujanan, menyiapkan konsep acara agar menghibur, hingga berburu properti yang dibutuhkan. Sedang kawan lain rela meninggalkan kesibukan demi menghadiri acara ini, pun yang harus menyiapkan uang sebagai bekal. 

Saya tidak sedang ber-melankolis, untuk melebih-lebihkan sesuatu yang sebenarnya biasa-biasa saja. Jika Anda berusaha mengumpulkan selama tiga hari, 50-an orang dengan beban kesibukan masing-masing untuk acara yang barangkali kurang penting (kurang penting menurut beberapa kepala), Anda akan kesusahan. 

Ujungnya saya dan kawan-kawan ini berkumpul. Tentu saya tak menahu apa motivasi masing-masing. Namun untuk sekedar menerka-nerka, barangkali ini yang mereka rasakan—juga yang saya rasakan: ada perasaan berdebar pada tiap suatu yang sebentar; ada kesadaran akan sesuatu yang tak lama lagi akan hilang. Dan pada sesuatu yang akan hilang itu, kami mencipta ikhtiar untuk abadikan dalam kenangan. 

Saya melihat genang air hujan di sana, dan terpikir sesuatu: saat ini, kawaan-kawan, kita sudah dapat melambai pada kelas perkuliahan yang menyatukan kita. Well, si brengsek Bani Israil yang selalu bertanya di kelas—yang mengacau presentasi kita—nanti sudah dapat disalami dan seraya diucapi, “Terima kasih, Pal. Sekarang kau boleh pergi ke neraka!” Makalah kita yang ambur-adul sudah bisa dialih-fungsikan jadi jimat. Jangan lupa berterimakasih pada kawan yang mengisi absen kosong. 

Yang terpenting, kita sudah wajib melunasi segenap hutang pada bapak penjaga kantin, tetangga, pun pada teman yang sudah sial kita pinjam uangnya.

Maka, pada setiap momen di sana, hujan, dingin, tawa, dan mungkin murung, saya menikmatinya. Pada momen ini, tim acara berusaha membuat kesan masal. Untuk upaya itu, saya ucapkan terima kasih. Kalian—tim acara—tahu betul momen menjelang lulus adalah momen blak-blakan, karenanya kalian menyuruh peserta untuk menulis dengan jujur soal kenangan cinta di kampus. 

Meski klise, cinta memang selalu menarik diulik. Mendengar curhat beberapa surat yang “melo”, saya berdoa mereka tidak akan menjadi bagian orang-orang Jerman yang pilu. Maksud saya, tiap tahun  di Jerman, ada 7000 orang bunuh diri karena cinta. Oh, ini serius. Di negeri Madzhab Frankfurt itu, yang katanya rasional, nyatanya tetap takluk pada cinta. 

Bagi yang sudah terlanjur patah hati, saya beri info, rasa frustasi karena patah hati itu disebabkan oleh otak yang tidak memproduksi zat endorfin, zat yang berfungsi memberikan rasa bahagia—seperti saat baru jadian dengan pacar. Nah, bocah-bocah di Amerika sudah membuat pil endorfin ini, yang dapat memproduksi rasa bahagia, tak peduli apapun kondisi kita. Jadi silakan berburu pil patah hati ini, dan bagilah pada saya!

Untuk yang sudah curhat cinta di depan umum saat itu, saya tersenyum menikmati.

Tawa juga menyelimuti saat drama dimainkan para cowok-cowok—yang harus berdandan menor. Harus saya akui, melihat konsep drama itu, saat ada orang bosan kaya sampai pergi ke dukun untuk miskin, sudah memperlihatkan bibit satire. Ide ini, meminjam istilah Ignas Kleden, “Memancing rasa geli karena melakukan distorsi terhadap logika dan common sense. Setiap humor yang cerdas mengingatkan kita bahwa common sense is not every common.”

Diam-diam saya berpikir, drama ini sudah mulai menjajaki Agus Noor, sang maestro monolog dan sastra satire di negeri ini. 

Keping demi keping momen sudah dijahit. Jarum detik universal tak kenal ampun terus bergerak menuju menit berikutnya. Di ujung malam Minggu itu, saya buru-buru berkemas. Ketika sudah sepi, dan sudah di atas motor siap pulang awal, saya menoleh pada tenda-tenda itu. Aku pamit, semoga semuanya bermakna.

Minggu pagi, dari ponsel saya memutar video yang di dalamnya kawan-kawan sedang melingkar. Bernyanyi dengan nada perpisahan yang sendu. Tiba-tiba dingin gunung seolah kembali merayap. Melihat lingkaran itu, saya bisa sedikit menggeleng pada apa yang dikatakan Jean-Paul Sartre, “Hell is other people.” Dan saya menutup handphone dengan senyum.

Korden panggung nampaknya sudah akan ditutup, pikir saya. Semua akan memiliki kehidupan masing-masing. Tapi tetap saya berharap, kita akan berdiri bersama, meski tak saling dekat. “Karena,” kata Kahlil Gibran, “tiang-tiang kuil pun berdiri terpisah dan pohon-pohon ek serta pohon sipres tidak tumbuh dalam bayangan yang sama.”

Di dalam bis saat menuju rumah itu, muncul satu fragmen, sehari sebelumnya saat hujan mengguyur dan membikin air merayap ke dalam tenda, saya melihat kawan-kawan meringkuk kedinginan. Mungkin merasakan ingin pulang atau semacamnya. Dengan usaha kecil. Saya buatkan mereka teh hangat. 

Berbalut jas hujan yang melindungi kulit dari basah, saya keliling tenda dan tempat camp membagikan teh itu pada mereka, meskipun beberapa wajah tak saya temukan. Tentu saja itu bukan teh Yellow Gold. Itu teh biasa yang saya harap cukup menghangatkan gigil mereka. 

Maka, suatu saat jika mereka melihat hujan, atau terjebak hujan dan merasakan kedinginan merayap pelan, mungkin mereka mengingat teh hangat dan kembali muncul keping momen kebersamaan yang barangkali tak akan pernah terulang kembali.

Untuk semua, saya ingin mengucap kata yang lebih bermakna dari terima kasih. Adakah?

Senin, 06 Januari 2020

Catatan Bingung 2


Catatan ini lanjutan dari posting sebelumnya. Untuk membaca posting awal silakan klik di sini.

***
Bagaimana caramu nembak cewek?

Tidak ada teknik khusus. Saya tipe orang to the poin. Sejak dulu langkah saya sederhana: mula-mula saya akan mendekati baik-baik. Jika fase ini direspon dengan positif, saya maju. Jika tidak, ya mundur. Simpel.

Meski demikian, saya sekarang lebih hati-hati. Saya akan to the poin jika semua sudah memungkinkan. Kita tahu, semakin usia bertambah, semakin kita dituntut untuk lebih dewasa. Termasuk dalam hal menyatakan cinta. Meski saya sedang jatuh cinta, misalnya, tapi belum mampu menjamin untuk melamarnya, saya tidak bisa to the poin. Semata khawatir takut berujung mengecewakan pasangan.

Dari sini timbul dilema. Kau tahu, ada rasa ingin selalu dekat, dengan bentuk apa pun. Kita mencoba memenuhi hasrat itu: ngajak keluar, makan, ngopi, dan semacamnya, semata memenuhi ego rindu dan cinta. Namun tak bisa lebih dari itu. Dan si dia bisa mengira kita hanya menarik-ulur perasaan. Well, serba salah?

Begitulah yang di rasa banyak lelaki, setidaknya menurut saya.

***
Sebutkan mantanmu dan kisah-kisahnya

Mantan... mantan, oh mantan. Saya sudah menyebutnya.

Dan kisahnya sangat panjang. Kau bisa mati bosan karena klise jika aku menuliskannya. Intinya: kami jadian. Lalu ada sesuatu yang mengharuskan kami untuk berpisah. Perjodohan, misalnya. Dus.

***

Pernah ingin kuliah keluar negeri? Wajar nggak kalau kita takut meski sudah dapat kampus full beasiswa karena perbedaan bahasa dan susah adaptasi?

Hampir semua dari kita—terutama yang gemar belajar sambil mengais banyak pengalaman—mencita-citakan belajar di luar negeri. Saya termasuk salah satunya. Sekarang, seperti yang kau tahu, saya menempuh studi di dalam negeri. Namun, awalnya saya hanya ingin menempuh studi hingga semester tiga. Intinya tak ingin lebih dari satu tahun.

Waktu itu, saat masih di pesantren, saya sudah sangat ingin keluar mencari tempat belajar yang sama sekali baru. Untuk lebih khusyuk belajar (sesuatu yang tak pernah saya peroleh di pesantren) dan menjauh dari orang-orang yang hanya memanfaatkan saya. Satu-satunya alasan untuk bisa merealisasikan itu hanyalah kuliah di luar negeri, begitu saya pikir.

Seketika saya menyiapkan dokumen untuk pergi ke Mesir via beasiswa. Ada beberapa orang yang membantu saya. Namun banyak persyaratan yang belum terpenuhi. Singkat cerita, saya memilih kuliah di sini, yang penting dapat suasana belajar baru, sambil lalu menyiapkan diri lebih matang. Dan sialnya, atau untungnya, saya mendapat beasiswa. Jadi mikir lagi untuk pindah kuliah.

Akhirnya, hingga sekarang saya belajar di dalam negeri. Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, saya bisa menikmati. Bahkan saya bersyukur bisa kenal dengan orang-orang yang telaten melatih cara meneliti dan menulis. Dari situ saya seolah menemukan inti dari belajar, tanpa harus keluar negeri.

Dan semoga kelak masih punya kesempatan.

Terkait pertanyaanmu selanjutnya, cultural shock mungkin adalah sesuatu yang cukup wajar. Bahkan tanpa keluar negeri pun saya sering mengalaminya. Dan banyak yang mungkin se-pengalaman.

Sebagai bocah yang pernah tinggal di pesantren, hal itu bukan masalah yang besar bagi saya. Entah kenapa saya merasa enjoy ketika harus berhadapan dengan lingkungan baru. Meski tetap kesulitan adaptasi di awal. Kau pasti paham maksudnya.

***
Mau tanya tapi bingung.

Mau jawab tapi bingung.

***

Kenapa di penginapan Mbah Geng susah sinyal? Apakah karena pengaruh mistis?

Dia mungkin bertanya dengan kadar iseng yang luar biasa. Sekedar info, Mbah Geng adalah orang yang pernah saya tulis di sini. Dan kenapa di rumahnya susah sinyal? Padahal 10 Meter keluar dari rumah sudah numpuk sinyal?

Iya, ya. kenapa, ya?

***

Bagaimana cara jadi wanita anggun dan elegan?

Karena pertanyaan itu ditujukan pada saya, seekor cowok bocah, saya menjawab dengan sudut pandang saya. Jadi, kalau Anda punya parameter lain, ya silakan.

Saya melihat keanggunan dan eleganitas itu pada dua hal. Pertama, kedewasaan. Uh, wanita dewasa dapat menempatkan dirinya dengan bijak. Wanita dewasa dapat menyikapi seorang bocah dengan kalem. Tanpa ribut-ribut, apa lagi menghakimi.

Saya pernah terang-terangan bilang pada kawan-kawan, bahwa tertarik pada seorang dosen wanita yang lebih tua dari saya, tentu saja. Sebelum saya tahu bahwa ia punya suami. Hahaha.

Dari sikapnya, yang kata kawan-kawan cukup judes, saya melihat keseimbangan: tegas namun penuh empatik; to the poin namun disampaikan dengan bijak; pandai bicara namun gemar mendengarkan.

Sayang punya suami. Hmmmm.

Yeah, bercanda. Saya mengagumi siapa pun wanita semacam itu. Meski saya tak mengharap punya pasangan seideal itu. Yang saya harapkan adalah kategori wanita anggun dan ideal kedua: wanita yang dapat dipercaya.

Pada wanita itulah, saya berharap menyerahkan pikiran, tubuh, atau apa pun yang saya miliki. Dan karena alasan itulah, saya akan mencintainya. Jadi, kalau ada orang yang mengatakan cinta tak beralasan, saya tak setuju. Kalau ia bertanya mengapa saya mencintainya, saya akan tersenyum, menatapnya, dan berbisik di telinganya, “Karena aku mempercayaimu, Sayang.”

Itulah wanita yang layak dicintai pria. Kenapa kepercayaan? Karena kita membutuhkan integritas untuk membangunnya. Kau hanya butuh tebar pesona untuk membuat orang tertarik padamu. Namun kau butuh waktu bertahun-tahun, dan usaha tak kenal lelah, untuk dipercayai.

Selain itu, apa yang dibutuhkan hati yang kerap disakiti, selain orang yang dapat ia percayai? Jadi, sekali lagi, kalau saya punya wanita spesial dan ia bertanya mengapa saya mencintainya, saya akan tersenyum, menatapnya, dan berbisik di telinganya, “Karena aku mempercayaimu, Sayang.”


Kamis, 02 Januari 2020

Catatan Bingung 1

26 Desember tahun lalu, saya ingin update catatan di blog. Namun ide yang ada masih membutuhkan beberapa bahan bacaan yang hingga sekarang belum rampung saya pelajari. Jadi, saya punya inisiatif menulis story di WhatsApp, untuk meminta pertanyaan dari kawan-kawan, terkait hal apa pun, sekonyol apa pun. Untuk saya post di sini dan dibaca publik. Sekedar iseng. 

Sialnya, setelah beberapa pertanyaan sudah diajukan, saya kehilangan mood nulis. Ditambah ada kesibukan tetek bengek lain. Jadi ini sebuah catatan dengan ide bingung, yang kemudian ditopang pertanyaan serius, guyon, dan konyol dari kawan-kawan. Kepada kalian, saya haturkan terima kasih.

Nama teman-teman tentu tak saya sebut, untuk menjaga privasi mereka. Baiklah, berikut pertanyaan dari kawan-kawan yang saya jawab dengan “perspektif” saya—yang sudah disetujui mereka, tentu saja.

***
Suka cewek manja atau tegas mandiri? Maksudnya manja ke kamu saja.

Harus saya katakan, kawan satu ini tak berkenan saya menjawab di blog. “Jangan... jangan,” cegahnya. “Pertanyaan itu jangan dijawab di publik.”

Dengan bingung saya balas pesan itu, “Loh, justru pertanyaan ini genre subjektif, mudah aku jawab.”

“Jangan. Nanti yang deketin kamu berubah haluan. Misal dia aslinya manja bisa mandiri-mandiriin diri. Pokoknya jangan jawab di publik. Jawab di aku aja. Wkwkwkwk.”

Ujung pesan itu tertawa. Saya juga tertawa, bahkan kebingungan membaca pesan itu. Tentu saya menyadari potensi cinta yang dapat merubah drastis perilaku seseorang. Mahasiswa yang sering bolos kuliah bisa tiba-tiba rajin karena ada si dia. Mahasiswa yang banyak nunggak tugas tiba-tiba menjadi peneliti yang jeli demi membantu si dia menulis tugas akhir. Dan saya berharap orang macam ini tidak menjadi pemabuk jika ternyata cintanya ditolak.

Itu baru satu alasan kenapa saya tertawa. Alasan lain, kenapa juga saya harus merasa ada orang yang diam-diam rela melakukan itu untuk saya? Atau kenapa saya harus merasa GR bahwa di luar sana ada orang-orang yang sedang menaruh hati untuk saya?

Sungguh, itu bukan ungkapan “kerendahhatian” bernada sombong atau semacamnya. Dalam keyakinan kecil saya, lebih baik berpikir bahwa tak ada cewek cukup sinting yang diam-diam menyimpan rasa, setidaknya dari pada petatang-peteteng mengira ada wanita sedang merindukan saya karena kasmaran. Bukankah GR terlalu konyol, eh?

Kalau-kalau kamu yang bertanya kebetulan membaca kalimat di atas, percayalah saya tidak sedang “marah” atau semacamnya. Saya hanya ingin menjawab pertanyaan di atas. Sesederhana itu. Semoga kamu berkenan. Well, jadi saya suka cewek manja atau mandiri?

Sependek yang saya tahu, setiap cewek, barangkali juga cowok, tidak ada yang sepenuhnya mandiri. Pun tidak ada yang sepenuhnya manja. Yang saya maksud jika terkait dengan pasangan. Namun, memang ada sifat dominan yang menjadi ciri utama sifat seseorang. Dan dalam hal ini, saya tentu lebih “suka” cewek mandiri. Dengan pertimbangan bahwa ia juga memiliki sifat manja pada saya. 

Bagi saya, mandiri, dalam arti enggan merepotkan orang lain, pastilah sikap yang penuh kematangan. Yang mencerminkan kedewasaan. Dan saya selalu jatuh cinta pada segala bentuk kedewasaan.

***
Sakralitas ajaran Islam yang mendarah-daging di Jawa?

Saya senyum-senyum membaca pertanyaan yang begitu teoritis di atas. Saya punya keyakinan bahwa ajaran sakral Islam, di mana pun ia tumbuh, termasuk di Jawa, adalah tauhid. Namun saya yakin jawaban ini bukan arah dari pertanyaan itu. Baiklah, biar saya dudukkan hal itu semampu saya.

Pertanyaan di atas mengandaikan adanya dua entitas dikotomis: Islam dan Jawa. Paradigma semacam itu tidak mengherankan, karena penelitian javanolog luar hampir sepakat menyebut Islam hanya “lapisan tipis” yang melingkupi masyarakat Jawa. Narasi itu hampir diamini oleh Zoet Moelder, Geertz, Snouck Hurgronje, Pigeaud, De Graff. Yang ingin dikatakan oleh bocah-bocah ini adalah corak Islam Jawa tak lebih dari sinkretis belaka. Yakni Islam yang diterima secara enggan, dan karenanya orang Jawa mencampurkannya dengan ajaran Hindu atau Buddha.

Tentu banyak sarjana kita yang “nggerundel” tak menerima gagasan itu, tanpa ada sanggahan karya yang sepadan. Dan barangkali saya termasuk golongan orang “nyinyir” tersebut.

Di akhir abad ke-20 dan awal abad 21, tesis orientalis di atas berhasil dipatahkan, kalau boleh saya katakan demikian, salah satunya oleh Nancy K. Florida. Ia mengkaji 1450 manuskrip kuno. Dan dengan ringkas dapat menyimpulkan dari 500 manuskrip, hanya terdapat 17 genre Hinduisme, selebihnya Islam. Dengan kata lain, Islam tak diterima dengan enggan; Islam berkembang dengan adaptatif.

Lantas bagaimana menjelaskan ajaran Islam yang “seolah” bercampur dengan Hindu atau Buddha?

Saya harus menyinggung sedikit sejarah agama Jawa untuk mengintip jawaban soal itu. Masyarakat Jawa tidak bisa dipisahkan dengan ajaran mistis. Dulu tanah ini dihuni warga pemeluk Kapitayan, agama yang percaya keesaan Tuhannya: Sanghyang Taya. Sama dengan Islam, Tuhan agama ini tak dapat diraba secara fisik keberadaannya, ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada. Dalam bahasa Jawa disebut, “Tan kena kinaya ngapa”. Supaya bisa dikenal dan disembah, ia diyakini mempribadi dalam nama dan sifat ilahiyah yang disebut Tu atau To, yang bermakna daya gaib.

Tu lazim juga disebut Sanghyang Tunggal yang memiliki sifat baik: Sanghyang Wenang. Pun sifat buruk: Sang Manikmaya. Untuk memudahkan penyembahan, Tu yang juga bermakna “bersembunyi" kemudian dianggap menjelma dalam benda yang dapat dirasa pancaindera: wa-Tu (batu mulia), Tu-gu (bagunan suci), Tu-nggul (panji), Tu-ban (air terjun).

Argumen yang ingin saya bangun adalah, corak agama Jawa kuno bersifat tauhid, dan bercorak mistis. Tak beda jauh dengan Islam. Pertanyaannya, adakah ajaran Islam yang sedikit bercorak mistis? Yang kemungkinan sangat mudah diterima oleh warga Jawa? Yang juga fleksibel berinteraksi dengan ajaran Hindu? Benar, tasawuf jawabannya.

Di situlah yang barangkali disalahpahami oleh orientalis, mereka tak melihat Islam dari sisi tasawuf yang cukup lentur berinteraksi dengan berbagai budaya. Kenyataannya, manuskrip kuno penuh dengan tembang tasawuf, setidaknya demikian yang diungkap oleh Nancy K. Florida. Bahkan corak Islam yang diajarkan Wali Sanga tak dapat dikatakan keluar dari garis tersebut. Saya tak perlu mengulang tesis bahwa Wali Sanga juga mengajarkan Islam dengan corak tasawuf.

Sudah melihat benang merahnya? Well, dari sini saya harap cukup memperlihatkan bahwa Islam dan Jawa bukan entitas yang dikotomis, sebaliknya, keduanya berinteraksi dengan hubungan baik.

Lalu ajaran apa yang mendarah-daging di Jawa? 

Kalau boleh saya simpulkan, ajaran kental pada proses pribumisasi Islam di Indonesia adalah tasawuf akhlaqi, dengan segala variabelnya, dan ajaran puncaknya: wahdah al-wujud. Namun sayang, corak yang berkembang sekarang hampir seluruhnya fiqhi.

Saya paham, jawaban ini mungkin terlalu melantur, terutama bagi yang bersangkutan. Kalau saya tak salah, ia sedang mempelajari living Islam, dengan segala riil di lapangan. Well, mencari ajaran sakral akan menarik jika membedah sisi tasawuf akhlaqi, terutama dari sisi manuskrip.

Dari Prof. Oman kita bisa tahu, banyak ajaran tasawuf yang tertulis di manuskrip dengan simbol-simbol sangat kaya. Begitu semiotis. Kalau tak bisa akses manuskrip, pertanyaan yang cukup menarik dijawab adalah kenapa dan sejak kapan ajaran tasawuf di Indonesia bergeser ke fiqih? Apakah corak khutbah di daerah tertentu? acata TV tertentu? bahkan konten “Ustad sosmed”?

Saya yakin, itu dapat menjadi sumbangan yang berbobot. Setidaknya jejak pergeseran itu makin jelas garisnya. Dan tentu saja, agar sedikit mengejar ketertinggalan pada Nancy. Sungguh saya pernah tersindir kalimat yang ia tulis, “Kegeniusan yang cenderung radikal dalam penulisan di Jawa tradisional belum juga terwujud di Indonesia masa kini.”

Baiklah, maaf terlalu ngalor-ngidul.  

***
Lebih bagus mana, antara kontol dan penis?

Oh, sori, tidak usah terkejut. Ini pertanyaan konyol yang tentu juga harus saya post.

Saya tidak paham apa yang ada di kepala bocah yang bertanya itu, mungkin untuk “menguji” kebebasan ekspresi saya. Tentu saja saya bisa memilih tidak post pertanyaan ini, tapi bisa jadi ia tepuk tangan dengan “kepengecutan” saya. Dan kamu tidak akan mendapatkannya.

Saya pilih yang kedua, Bastard! Semoga kamu puas. Heuheu.

***

Lanjutan klik di sini.