26 Desember tahun lalu, saya ingin update catatan di blog.
Namun ide yang ada masih membutuhkan beberapa bahan bacaan yang hingga sekarang
belum rampung saya pelajari. Jadi, saya punya inisiatif menulis story di
WhatsApp, untuk meminta pertanyaan dari kawan-kawan, terkait hal apa pun,
sekonyol apa pun. Untuk saya post di sini dan dibaca publik. Sekedar iseng.
Sialnya, setelah beberapa pertanyaan sudah diajukan, saya kehilangan mood
nulis. Ditambah ada kesibukan tetek bengek lain. Jadi ini sebuah catatan dengan
ide bingung, yang kemudian ditopang pertanyaan serius, guyon, dan konyol dari
kawan-kawan. Kepada kalian, saya haturkan terima kasih.
Nama teman-teman tentu tak saya sebut, untuk menjaga
privasi mereka. Baiklah, berikut pertanyaan dari kawan-kawan yang saya jawab
dengan “perspektif” saya—yang sudah disetujui mereka, tentu saja.
***
Suka cewek manja atau tegas mandiri?
Maksudnya manja ke kamu saja.
Harus saya katakan, kawan satu ini tak berkenan saya
menjawab di blog. “Jangan... jangan,” cegahnya. “Pertanyaan itu jangan dijawab
di publik.”
Dengan bingung saya balas pesan itu, “Loh, justru
pertanyaan ini genre subjektif, mudah aku jawab.”
“Jangan. Nanti yang deketin kamu berubah haluan.
Misal dia aslinya manja bisa mandiri-mandiriin diri. Pokoknya jangan jawab di
publik. Jawab di aku aja. Wkwkwkwk.”
Ujung pesan itu tertawa. Saya juga tertawa, bahkan kebingungan
membaca pesan itu. Tentu saya menyadari potensi cinta yang dapat merubah
drastis perilaku seseorang. Mahasiswa yang sering bolos kuliah bisa tiba-tiba
rajin karena ada si dia. Mahasiswa yang banyak nunggak tugas tiba-tiba menjadi
peneliti yang jeli demi membantu si dia menulis tugas akhir. Dan saya berharap
orang macam ini tidak menjadi pemabuk jika ternyata cintanya ditolak.
Itu baru satu alasan kenapa saya tertawa. Alasan lain,
kenapa juga saya harus merasa ada orang yang diam-diam rela melakukan itu untuk
saya? Atau kenapa saya harus merasa GR bahwa di luar sana ada orang-orang yang sedang
menaruh hati untuk saya?
Sungguh, itu bukan ungkapan “kerendahhatian” bernada sombong
atau semacamnya. Dalam keyakinan kecil saya, lebih baik berpikir bahwa tak ada
cewek cukup sinting yang diam-diam menyimpan rasa, setidaknya dari pada
petatang-peteteng mengira ada wanita sedang merindukan saya karena kasmaran. Bukankah
GR terlalu konyol, eh?
Kalau-kalau kamu yang bertanya kebetulan membaca kalimat
di atas, percayalah saya tidak sedang “marah” atau semacamnya. Saya hanya ingin
menjawab pertanyaan di atas. Sesederhana itu. Semoga kamu berkenan. Well, jadi
saya suka cewek manja atau mandiri?
Sependek yang saya tahu, setiap cewek, barangkali
juga cowok, tidak ada yang sepenuhnya mandiri. Pun tidak ada yang sepenuhnya
manja. Yang saya maksud jika terkait dengan pasangan. Namun, memang ada sifat
dominan yang menjadi ciri utama sifat seseorang. Dan dalam hal ini, saya tentu
lebih “suka” cewek mandiri. Dengan pertimbangan bahwa ia juga memiliki sifat
manja pada saya.
Bagi saya, mandiri, dalam arti enggan merepotkan orang lain,
pastilah sikap yang penuh kematangan. Yang mencerminkan kedewasaan. Dan saya
selalu jatuh cinta pada segala bentuk kedewasaan.
***
Sakralitas ajaran Islam yang
mendarah-daging di Jawa?
Saya senyum-senyum membaca pertanyaan yang begitu
teoritis di atas. Saya punya keyakinan bahwa ajaran sakral Islam, di mana pun
ia tumbuh, termasuk di Jawa, adalah tauhid. Namun saya yakin jawaban ini bukan
arah dari pertanyaan itu. Baiklah, biar saya dudukkan hal itu semampu saya.
Pertanyaan di atas mengandaikan adanya dua entitas
dikotomis: Islam dan Jawa. Paradigma semacam itu tidak mengherankan, karena
penelitian javanolog luar hampir sepakat menyebut Islam hanya “lapisan tipis”
yang melingkupi masyarakat Jawa. Narasi itu hampir diamini oleh Zoet Moelder,
Geertz, Snouck Hurgronje, Pigeaud, De Graff. Yang ingin dikatakan oleh
bocah-bocah ini adalah corak Islam Jawa tak lebih dari sinkretis belaka. Yakni Islam
yang diterima secara enggan, dan karenanya orang Jawa mencampurkannya dengan
ajaran Hindu atau Buddha.
Tentu banyak sarjana kita yang “nggerundel” tak menerima
gagasan itu, tanpa ada sanggahan karya yang sepadan. Dan barangkali saya
termasuk golongan orang “nyinyir” tersebut.
Di akhir abad ke-20 dan awal abad 21, tesis orientalis
di atas berhasil dipatahkan, kalau boleh saya katakan demikian, salah satunya
oleh Nancy K. Florida. Ia mengkaji 1450 manuskrip kuno. Dan dengan ringkas
dapat menyimpulkan dari 500 manuskrip, hanya terdapat 17 genre Hinduisme,
selebihnya Islam. Dengan kata lain, Islam tak diterima dengan enggan; Islam berkembang dengan adaptatif.
Lantas bagaimana menjelaskan ajaran Islam yang “seolah”
bercampur dengan Hindu atau Buddha?
Saya harus menyinggung sedikit sejarah agama Jawa
untuk mengintip jawaban soal itu. Masyarakat Jawa tidak bisa dipisahkan dengan
ajaran mistis. Dulu tanah ini dihuni warga pemeluk Kapitayan, agama yang
percaya keesaan Tuhannya: Sanghyang Taya. Sama dengan Islam, Tuhan agama ini
tak dapat diraba secara fisik keberadaannya, ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada. Dalam bahasa Jawa disebut, “Tan
kena kinaya ngapa”. Supaya bisa dikenal dan disembah, ia diyakini mempribadi
dalam nama dan sifat ilahiyah yang disebut Tu atau To, yang bermakna daya gaib.
Tu lazim juga disebut Sanghyang Tunggal yang memiliki
sifat baik: Sanghyang Wenang. Pun sifat buruk: Sang Manikmaya. Untuk
memudahkan penyembahan, Tu yang juga bermakna “bersembunyi" kemudian dianggap
menjelma dalam benda yang dapat dirasa pancaindera: wa-Tu (batu mulia), Tu-gu (bagunan
suci), Tu-nggul (panji), Tu-ban (air terjun).
Argumen yang ingin saya bangun adalah, corak agama
Jawa kuno bersifat tauhid, dan bercorak mistis. Tak beda jauh dengan Islam. Pertanyaannya,
adakah ajaran Islam yang sedikit bercorak mistis? Yang kemungkinan sangat mudah
diterima oleh warga Jawa? Yang juga fleksibel berinteraksi dengan ajaran Hindu?
Benar, tasawuf jawabannya.
Di situlah yang barangkali disalahpahami oleh
orientalis, mereka tak melihat Islam dari sisi tasawuf yang cukup lentur
berinteraksi dengan berbagai budaya. Kenyataannya, manuskrip kuno penuh dengan
tembang tasawuf, setidaknya demikian yang diungkap oleh Nancy K. Florida. Bahkan corak Islam yang diajarkan Wali Sanga tak dapat dikatakan keluar dari garis tersebut. Saya tak perlu
mengulang tesis bahwa Wali Sanga juga mengajarkan Islam dengan corak tasawuf.
Sudah melihat benang merahnya? Well, dari sini saya
harap cukup memperlihatkan bahwa Islam dan Jawa bukan entitas yang dikotomis,
sebaliknya, keduanya berinteraksi dengan hubungan baik.
Lalu ajaran apa yang mendarah-daging di Jawa?
Kalau boleh
saya simpulkan, ajaran kental pada proses pribumisasi Islam di Indonesia adalah
tasawuf akhlaqi, dengan segala variabelnya, dan ajaran puncaknya: wahdah
al-wujud. Namun sayang, corak yang berkembang sekarang hampir seluruhnya fiqhi.
Saya paham, jawaban ini mungkin terlalu melantur, terutama bagi yang bersangkutan. Kalau saya tak salah, ia sedang mempelajari living Islam,
dengan segala riil di lapangan. Well, mencari ajaran sakral akan menarik jika membedah
sisi tasawuf akhlaqi, terutama dari sisi manuskrip.
Dari Prof. Oman kita bisa tahu, banyak ajaran
tasawuf yang tertulis di manuskrip dengan simbol-simbol sangat kaya. Begitu semiotis. Kalau tak
bisa akses manuskrip, pertanyaan yang cukup menarik dijawab adalah kenapa dan
sejak kapan ajaran tasawuf di Indonesia bergeser ke fiqih? Apakah corak khutbah
di daerah tertentu? acata TV tertentu? bahkan konten “Ustad sosmed”?
Saya yakin, itu dapat menjadi sumbangan yang
berbobot. Setidaknya jejak pergeseran itu makin jelas garisnya. Dan tentu saja,
agar sedikit mengejar ketertinggalan pada Nancy. Sungguh saya pernah tersindir
kalimat yang ia tulis, “Kegeniusan yang cenderung radikal dalam penulisan di
Jawa tradisional belum juga terwujud di Indonesia masa kini.”
Baiklah, maaf terlalu ngalor-ngidul.
***
Lebih bagus mana, antara kontol dan
penis?
Oh, sori, tidak usah terkejut. Ini pertanyaan konyol
yang tentu juga harus saya post.
Saya tidak paham apa yang ada di kepala bocah yang
bertanya itu, mungkin untuk “menguji” kebebasan ekspresi saya. Tentu saja saya
bisa memilih tidak post pertanyaan ini, tapi bisa jadi ia tepuk tangan dengan “kepengecutan”
saya. Dan kamu tidak akan mendapatkannya.
Saya pilih yang kedua, Bastard! Semoga kamu puas.
Heuheu.
***