Kita bisa naif terhadap hal-hal tertentu dan kita buta bahwa kita naif. Tidak ada cara mengatasi kebutaan ini kecuali kita belajar lantas mendapat pengetahuan baru yang menyentuh kesadaran kita. Barangkali orang memiliki kenaifan masing-masing. Saya katakan “barangkali” karena mungkin ada orang-orang yang steril dari sikap naif—karena sangat pintar dan bijak bestari.
Di satu masa saya
pernah menganggap membaca sebagai standar penting seorang siswa. Ditopang oleh
fakta bahwa ada sekian banyak manfaat dari baca buku. Dan saya gemar membaca
buku. Lalu diam-diam pikiran saya membangun keyakinan membaca buku adalah suatu
kewajiban pelajar. Sebagaimana layaknya keyakinan, hal itu menjadi ajang
penghakiman pribadi saya kepada orang-orang lain.
Lama sekali saya
melihat kawan-kawan yang tidak gemar membaca buku, dan tidak membangun
kebiasaan membaca buku, sebagai sosok berkasta rendah dalam kampus.
Betapa naifnya!
Sambil menahan rasa
prihatin, fakta itu merembet pada kebiasaan baru: Ambisi untuk terus belajar.
Entah kenapa, saya merasa bahwa jika saya menyediakan waktu sebanyak mungkin
untuk belajar dan baca buku itu setara membuat perubahan signifikan di kampus.
Saya membayangkan seperti menjadi sisi terang bagi kampus. Semakin saya
belajar, semakin terang cahaya kampus. Menandingi sisi gelap yang disumbang
mahasiswa yang tak membaca buku.
Betapa naifnya!
Penghakiman diam-diam
itu akhirnya merembet pada saudara dekat, terutama sepupu dari pihak ibu. Ada
dua sepupu yang sekarang berada dalam masa pembelajaran. Satu mulai masuk SMA
dan satu lagi sudah kuliah. Kepada mereka berdua, beberapa kali saya mulai
terang-terangan berkhotbah tentang membaca buku. sekali lagi, saya berkhotbah. Dengan
naif, saya merasa berhak untuk mengatur cara mereka belajar. Sebab saya lebih
tua, dan sedikit memiliki pengalaman lebih.
Terlepas dari
kenaifan di atas, saya pikir semua orang setuju atas manfaat membaca. Jika kita
membaca buku bagus di bidang psikologi tindakan, kemungkinan besar kita
memiliki cara bersikap elegan. Jika kita membaca buku cara berkomunikasi,
kemungkinan besar kita mampu berkomunikasi dengan anggun. Dan seterusnya.
Tetapi, benarkah
semua orang harus membaca buku? Bergantung visi dan tujuan hidup masing-masing
orang.
Jika mereka ingin
menjadi ahli agama, misalnya, mereka harus rajin membaca buku. Jika mereka
ingin menjadi professor sejarah, mereka mutlak harus bergelut dengan
naskah-naskah sejarah. Jika mereka ingin menjadi ahli menulis, mereka juga
harus sering membaca.
Tetapi tidak semua
orang ingin menjadi ahli agama, ahli sejarah, ahli menulis, atau ahli-ahli lain
yang mutlak mewajibkan membaca buku tanpa bisa ditawar.
Pak Ran, tetangga
saya, barangkali tidak butuh menyentuh buku. ia cukup mencari rumput tiap hari
untuk sapinya, lalu menikmati makanan yang ia dapat dari sawahnya, lalu
bersantai menikmati hari. Jika ada kebutuhan, Pak Ran bisa mengambil uang dari
pertanian. Karena usia Pak Ran sekarang sudah senja, ia sering menghabiskan
waktu untuk ibadah. Di desa saya, hanya orang-orang tua yang rajin ibadah.
Pak Sali juga
demikian. Ia memiliki beberapa sapi dan sawah. Tiap hari bekerja di sawah.
Karena memiliki sawah lebar, Pak Sali bisa hidup sejahtera, menurut ukuran
saya. Dari sawah itu, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Dan karena tidak
punya anak, Pak Sali bisa fokus untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan istri. Pak
Sali adalah satu di antara petani yang mampu membeli mobil bagus di desa.
Baik Pak Ran dan Pak
Sali menghabiskan waktu untuk bekerja di bidang pertanian. Kadang mereka
menikmati hari dengan santai, dan mereka membunuh waktu di bidang sosial. Entah
mengunjungi sanak saudara, tetangga, maupun teman-teman mereka. Apakah mereka
perlu membaca buku?
Saya kira tidak.
Mereka sudah bahagia dengan kehidupan mereka. Tidak ada teori, tidak ada
hipotesa, tidak ada riset. Mereka menjalani hari-hari untuk memenuhi kebutuhan
hidup, dan rejeki mereka sudah lebih dari cukup. Apakah mereka bahagia tanpa
membaca buku? Ya! Sangat. Pak Sali dan Bu Nah terkenal sebagai pasangan yang
tidak pernah bertengkar. Orang-orang pernah bertanya kepada mereka kenapa tidak
pernah konflik dan mereka menjawab kebingungan mencari topik untuk konflik.
Saya kira orang desa
punya kemampuan pasrah yang menakjubkan, dikombinasikan kehidupan sosial yang
harmonis, kebahagiaan bisa tumpah ruah.
Bandingkan dengan
saya dan kawan-kawan sejenis. Kami sibuk menelaah buku-buku tiap hari.
Mempelajari berbagai teori untuk memahami realitas yang ada. Lalu kami sampai
pada titik seluruh bahan yang kami pelajari saling kontradiktif satu sama lain.
Beberapa bacaan itu bahkan mengusik inti terdalam dari keyakinan kami.
Alih-alih bahagia,
saya, dan mungkin kawan lain, malah makin pusing. Hidup menjadi tidak tenang
karena data-data yang saya temukan menunjukkan banyak hal sedang tidak
baik-baik saja. Sebelum tidur, saya sering mempertanyakan apakah keyakinan saya
sudah sedemikian bisa runtuh? Bagaimana laju peradaban kedepan? Apa yang bisa
saya lakukan sebagai bentuk kontribusi positif bagi komunitas?
Tidak setiap orang
harus membaca, ternyata.
Hari-hari ini,
pengetahuan bisa diperoleh dalam berbagai bentuk. Seharusnya saya menyadari
kenaifan ini lebih awal dan memelihara pikiran baik bahwa banyak mahasiswa yang
sudah mendedikasikan hari-hari dengan proses belajar yang lain. Sebagian
belajar melalui film, sebagian lain menjalani diskusi, sebagian dari media sosial.
Sebagian mungkin dari video. Banyak kran untuk menadah pengetahuan.
Saya tidak perlu merasa
paling baik. Pada para ponakan, seharusnya saya tidak menjadi membosankan
seperti orang-orang tua yang sering berkhotbah. Lebih baik, dengan cara halus,
saya menunjukkan dengan baik apa manfaat membaca buku. Dan jika mereka memang
ingin mengambil studi yang mengharuskan membaca, maka membaca harus menjadi
latihan.
Saya yakin masih
banyak daftar kenaifan lain yang masih harus saya sadari. Seiring bertambahnya pengetahuan,
akan banyak kenaifan lain yang terungkap. Namun, saya masih meyakini, bahwa
untuk diri saya sendiri, membaca dan belajar tetap penting. Dengan itu
barangkali saya bisa menyadari berbagai lapisan kenaifan.
Saya kira anda tidak
akan salah paham mengambil kesimpulan bahwa saya mengatakan membaca tidak
penting. Bukan itu poinnya. Kenaifan, itulah poin pentingnya. Ada banyak hal
yang bisa kita dapatkan dari membaca. Ada banyak hal yang memang akan lebih
baik jika kita membaca. Tetapi itu bergantung visi hidup orang masing-masing.
Dan akhirnya... orang
bisa naif terhadap hal-hal tertentu dan buta terhadap kenaifannya.