Kamis, 26 Mei 2022

Tidak Semua Orang Harus Baca Buku

Kita bisa naif terhadap hal-hal tertentu dan kita buta bahwa kita naif. Tidak ada cara mengatasi kebutaan ini kecuali kita belajar lantas mendapat pengetahuan baru yang menyentuh kesadaran kita. Barangkali orang memiliki kenaifan masing-masing. Saya katakan barangkali karena mungkin ada orang-orang yang steril dari sikap naif—karena sangat pintar dan bijak bestari.


Di satu masa saya pernah menganggap membaca sebagai standar penting seorang siswa. Ditopang oleh fakta bahwa ada sekian banyak manfaat dari baca buku. Dan saya gemar membaca buku. Lalu diam-diam pikiran saya membangun keyakinan membaca buku adalah suatu kewajiban pelajar. Sebagaimana layaknya keyakinan, hal itu menjadi ajang penghakiman pribadi saya kepada orang-orang lain.


Lama sekali saya melihat kawan-kawan yang tidak gemar membaca buku, dan tidak membangun kebiasaan membaca buku, sebagai sosok berkasta rendah dalam kampus.


Betapa naifnya!


Sambil menahan rasa prihatin, fakta itu merembet pada kebiasaan baru: Ambisi untuk terus belajar. Entah kenapa, saya merasa bahwa jika saya menyediakan waktu sebanyak mungkin untuk belajar dan baca buku itu setara membuat perubahan signifikan di kampus. Saya membayangkan seperti menjadi sisi terang bagi kampus. Semakin saya belajar, semakin terang cahaya kampus. Menandingi sisi gelap yang disumbang mahasiswa yang tak membaca buku.


Betapa naifnya!


Penghakiman diam-diam itu akhirnya merembet pada saudara dekat, terutama sepupu dari pihak ibu. Ada dua sepupu yang sekarang berada dalam masa pembelajaran. Satu mulai masuk SMA dan satu lagi sudah kuliah. Kepada mereka berdua, beberapa kali saya mulai terang-terangan berkhotbah tentang membaca buku. sekali lagi, saya berkhotbah. Dengan naif, saya merasa berhak untuk mengatur cara mereka belajar. Sebab saya lebih tua, dan sedikit memiliki pengalaman lebih.


Terlepas dari kenaifan di atas, saya pikir semua orang setuju atas manfaat membaca. Jika kita membaca buku bagus di bidang psikologi tindakan, kemungkinan besar kita memiliki cara bersikap elegan. Jika kita membaca buku cara berkomunikasi, kemungkinan besar kita mampu berkomunikasi dengan anggun. Dan seterusnya.


Tetapi, benarkah semua orang harus membaca buku? Bergantung visi dan tujuan hidup masing-masing orang.


Jika mereka ingin menjadi ahli agama, misalnya, mereka harus rajin membaca buku. Jika mereka ingin menjadi professor sejarah, mereka mutlak harus bergelut dengan naskah-naskah sejarah. Jika mereka ingin menjadi ahli menulis, mereka juga harus sering membaca.


Tetapi tidak semua orang ingin menjadi ahli agama, ahli sejarah, ahli menulis, atau ahli-ahli lain yang mutlak mewajibkan membaca buku tanpa bisa ditawar.


Pak Ran, tetangga saya, barangkali tidak butuh menyentuh buku. ia cukup mencari rumput tiap hari untuk sapinya, lalu menikmati makanan yang ia dapat dari sawahnya, lalu bersantai menikmati hari. Jika ada kebutuhan, Pak Ran bisa mengambil uang dari pertanian. Karena usia Pak Ran sekarang sudah senja, ia sering menghabiskan waktu untuk ibadah. Di desa saya, hanya orang-orang tua yang rajin ibadah.


Pak Sali juga demikian. Ia memiliki beberapa sapi dan sawah. Tiap hari bekerja di sawah. Karena memiliki sawah lebar, Pak Sali bisa hidup sejahtera, menurut ukuran saya. Dari sawah itu, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Dan karena tidak punya anak, Pak Sali bisa fokus untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan istri. Pak Sali adalah satu di antara petani yang mampu membeli mobil bagus di desa.


Baik Pak Ran dan Pak Sali menghabiskan waktu untuk bekerja di bidang pertanian. Kadang mereka menikmati hari dengan santai, dan mereka membunuh waktu di bidang sosial. Entah mengunjungi sanak saudara, tetangga, maupun teman-teman mereka. Apakah mereka perlu membaca buku?


Saya kira tidak. Mereka sudah bahagia dengan kehidupan mereka. Tidak ada teori, tidak ada hipotesa, tidak ada riset. Mereka menjalani hari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan rejeki mereka sudah lebih dari cukup. Apakah mereka bahagia tanpa membaca buku? Ya! Sangat. Pak Sali dan Bu Nah terkenal sebagai pasangan yang tidak pernah bertengkar. Orang-orang pernah bertanya kepada mereka kenapa tidak pernah konflik dan mereka menjawab kebingungan mencari topik untuk konflik.


Saya kira orang desa punya kemampuan pasrah yang menakjubkan, dikombinasikan kehidupan sosial yang harmonis, kebahagiaan bisa tumpah ruah.


Bandingkan dengan saya dan kawan-kawan sejenis. Kami sibuk menelaah buku-buku tiap hari. Mempelajari berbagai teori untuk memahami realitas yang ada. Lalu kami sampai pada titik seluruh bahan yang kami pelajari saling kontradiktif satu sama lain. Beberapa bacaan itu bahkan mengusik inti terdalam dari keyakinan kami.


Alih-alih bahagia, saya, dan mungkin kawan lain, malah makin pusing. Hidup menjadi tidak tenang karena data-data yang saya temukan menunjukkan banyak hal sedang tidak baik-baik saja. Sebelum tidur, saya sering mempertanyakan apakah keyakinan saya sudah sedemikian bisa runtuh? Bagaimana laju peradaban kedepan? Apa yang bisa saya lakukan sebagai bentuk kontribusi positif bagi komunitas?


Tidak setiap orang harus membaca, ternyata.


Hari-hari ini, pengetahuan bisa diperoleh dalam berbagai bentuk. Seharusnya saya menyadari kenaifan ini lebih awal dan memelihara pikiran baik bahwa banyak mahasiswa yang sudah mendedikasikan hari-hari dengan proses belajar yang lain. Sebagian belajar melalui film, sebagian lain menjalani diskusi, sebagian dari media sosial. Sebagian mungkin dari video. Banyak kran untuk menadah pengetahuan.


Saya tidak perlu merasa paling baik. Pada para ponakan, seharusnya saya tidak menjadi membosankan seperti orang-orang tua yang sering berkhotbah. Lebih baik, dengan cara halus, saya menunjukkan dengan baik apa manfaat membaca buku. Dan jika mereka memang ingin mengambil studi yang mengharuskan membaca, maka membaca harus menjadi latihan.


Saya yakin masih banyak daftar kenaifan lain yang masih harus saya sadari. Seiring bertambahnya pengetahuan, akan banyak kenaifan lain yang terungkap. Namun, saya masih meyakini, bahwa untuk diri saya sendiri, membaca dan belajar tetap penting. Dengan itu barangkali saya bisa menyadari berbagai lapisan kenaifan.


Saya kira anda tidak akan salah paham mengambil kesimpulan bahwa saya mengatakan membaca tidak penting. Bukan itu poinnya. Kenaifan, itulah poin pentingnya. Ada banyak hal yang bisa kita dapatkan dari membaca. Ada banyak hal yang memang akan lebih baik jika kita membaca. Tetapi itu bergantung visi hidup orang masing-masing.


Dan akhirnya... orang bisa naif terhadap hal-hal tertentu dan buta terhadap kenaifannya.