Sejak tahun 2016 akhir saya punya banyak deadline yang membuat saya tidak pernah kebingungan apa yang akan saya lakukan ketika bangun tidur. Beberapa hari (“beberapa” ini bisa berarti sangat banyak jumlahnya) tentu saya hanya berstatus sebagai pengangguran dan merasa kebingungan apa yang harus saya lakukan untuk mengisi hari-hari. Sekarang sambil duduk di depan laptop, kebingungan itulah yang saya rasakan.
Pekan ini saya cukup
longgar. Tugas menulis dan presentasi di depan professor pengampu kuliah sudah
rampung—setidaknya setengah.
Dulu saya
membayangkan betapa getirnya hidup sebagai pengangguran kelas berat. Ketika
mata terbuka mungkin mereka hanya ingin tidur lagi. Mereka bisa terus begitu
sepanjang hari asal ada makanan, atau uang untuk membeli makanan. Meski
demikian di dunia ini tetap ada orang yang tidak melakukan apa-apa namun masih
dapat hidup dengan santai, dan di sebagian dunia lain ada orang yang terlalu
banyak pekerjaan tetapi tidak mendapat makanan dan uang, atau sesuatu yang
layak.
Pengangguran atau
tidak pengangguran biasanya hanya dilihat dari segi material. Bukankah banyak
dari kita bekerja untuk mendapat uang? Dan dengan uang itu kita dapat
melangsungkan hajat hidup. Tanpa bekerja kita tidak mendapat uang dan sulit
melanjutkan hidup. Bukan mustahil, tapi sulit. Dari sudut pandang itu, kita
bekerja dengan uang sebagai tujuan utama. Maka definisi pekerja atau
pengangguran ditopang oleh pertanyaan utama: Apakah kita punya uang?
Jadi jika kita tidak
melakukan apa-apa tetapi punya banyak, boleh dikatakan kita bukan pengangguran.
Dan sebaliknya, jika kita melakukan tumpukan aktivitas, dari pagi hingga pagi
lagi, tetapi tidak menghasilkan uang, kita adalah pengangguran. Sekali lagi,
pengertian ini jika dilihat dari keberlangsungan hajat hidup yang ditopang oleh
uang. Jika anda tidak setuju, kita tidak perlu berperang saling menumpahkan
darah. Jika kita bersabar sedikit, kita semua akan mati secara alamiah.
Setelah melalui
perenungan yang tidak panjang—mungkin dua menit, saya menyadari sepenuhnya
sedang berada di posisi pengangguran. Pada tahun-tahun yang menyenangkan, meski
pengangguran, ada sedikit hal yang membuat saya mendapat banyak uang. Kata sedikit
ini harus saya tegaskan artinya: Tidak banyak. Lebih banyak hal yang membuat
saya tidak mendapat segepok uang. Hidup praktis menjadi tidak terlalu ramah. Susah.
Bagaimanapun masa itu sudah saya lewati. Kita tahu, sesusah apapun sebuah kondisi, jika sudah
terlewati, tidak terasa berat, seperti penyakit yang tidak diderita. Jika kita
punya kemampuan yang tak dapat dihentikan dalam hal memandang baik semua hal,
penderitaan dan keseruan tidak berbeda. Misalnya, jika kasusnya adalah kisah
hidup saya, inilah yang bisa dilihat dengan pikiran baik:
Usia saya sudah mendekati 30 tahun—hanya kurang beberapa KM lagi. Di usia ini asam-garam kehidupan masih belum terlalu kecut dan asin. Di suatu masa, saya pernah memiliki sebuah rekening dengan saldo belasan juta, bahkan hingga di atas 20 juta. Untuk pengangguran, tidakkah itu fantastis? Sumber uang itu adalah menulis beberapa riset Lembaga Penelitian.
Tidak
terlalu lama saya memiliki uang sebanyak itu—setidaknya menurut saya itu
banyak. Kebutuhan pendidikan dan sedikit foya-foya segera menguras rekening. Orang
beragama akan mengatakan bahwa uang yang saya miliki kurang berkah. Namun setidaknya
uang itu pernah saya gunakan untuk menimba banyak pengetahuan baru. Dan membayar
makan orang-orang terdekat di warung enak.
Saya juga pernah
memberi pinjaman uang 10 juta kepada atasan saya. Meski itu uang campuran milik
saya dan orang tua. Dan itu membuat ibu saya kebingungan sebenarnya siapa yang
bawahan dan siapa yang atasan. Sekarang saya masih meminjamkan uang segelintir
juta kepada saudara—dan sudah hampir satu tahun masih belum ada tanda-tanda
uang itu akan kembali. Saya berdoa semoga lembar-lembar itu tetap sehat di luar
sana.
Saran saya: Jangan mudah meminjamkan uang. Hati-hati. Uang dan saudara, atau uang dan teman, menurut Michael Corleone, seperti minyak dan air.
Nah, cerita di atas
membuat saya merasa kaya. Bagian sedihnya, beberapa kali saya pernah berhemat
sedemikian rupa hingga harus makan nasi putih dengan lauk Masako rasa ayam. Beberapa
hari. Motor pernah mangkrak karena tidak ada bensin. Apakah ini penderitaan
atau keseruan kembali lagi dari sudut mana saya ingin melihat. Karena sekarang
pikiran saya sedang baik maka ia saya anggap seru saja.
Di masa remaja juga
tidak kalah asik. Saya punya motor tua—vespa—yang hobi mogok. Karena itu,
dorong-mendorong sudah menjadi kebiasaan. Firdaus, kawan saya, memberi petuah
penyejuk jiwa, bahwa dengan mendorong vespa kita menanggung asumsi publik
dalam variasi tak terbatas: Mungkin mesinnya bermasalah; satu dari bagian di
dalam mesinnya lepas; motornya lelah sehingga memutuskan mati; busi sudah
waktunya ganti. Jika kita mendorong motor baru, kesimpulan orang hanya satu:
kita kehabisan bensin dan itu membuat kita tampak tidak punya uang.
Siraman rohani
Firdaus tidak hanya membuat jiwa saya basah, juga membuat tanggul jebol hingga banjir.
Dengan vespa tua itu,
saya pernah menyusuri jalanan Bondowoso yang menanjak, malam hari, persis
ketika lampu motor mati. Firdaus mengeluarkan senter dari hp jadul. Ia tidak
berfungsi menerangi jalan di depan, tetapi untuk memberi penanda kepada
pengguna jalan lain bahwa ada saya dan Firdaus di sana. Atau dalam bahasa singkat:
Jangan tabrak kami! Usaha kami cukup berhasil meski beberapa kali hampir di
tabrak mobil dan motor. Memang, dari kejauhan, cahaya hp hanya tampak seperti
kunang-kunang.
Jika saya teruskan, saya khawatir tulisan ini tidak memiliki ujung. Lagi pula 800-an kata di atas tidak memiliki kepaduan yang solid. Saya akhiri saja di sini. Jika anda mencari kesimpulan tulisan, anda bisa membuatnya sesuka hati. Selamat hari Selasa!