Ia punya dua ambisi: Bagaimana jarum jam di timbangan bergeser ke kanan; bagaimana menjadi manusia pintar.
Dua ambisi itu saya
kantongi juga. Tetapi nasib kami tidak pernah baik soal ambisi pertama. Tubuh kami
masih tetap saja kurus seperti itu dari tahun ke tahun. Mungkin ia sudah tidak
lagi menaruh harapan soal panah timbangan. Dan soal pintar, saya berharap ia
mengingat ini: Pembelajar yang efektif dapat mengajari dirinya sendiri hampir
semua hal dengan sumber online yang tersedia di ujung jari. Kapanpun ia ingin
menjadi lebih pintar dari ke hari, ia tidak pernah kehilangan sumber.
Tetapi menjadi pintar
butuh kesiapan mental. Kita tahu, tidak semua orang bersedia menyiksa diri
dengan belajar tiap hari; tidak semua orang siap keras kepala duduk berjam-jam
tiap hari—dengan fokus tajam—untuk belajar. Kadang untuk mencapai target
menjadi pintar—apapun definisi pintar itu—agak utopis. Sebab kita seperti lari
maraton tanpa garis akhir. Dan kapanpun kita telah memiliki mental pembelajar,
barangkali pintar bukan apa-apa, hanya belajar yang nikmat.
Nadia sering mengirim
pesan minta doa supaya pintar dan relflek saya berharap ia sepintar yang ia
inginkan.
Saya banyak belajar
kepada Nadia, sebenarnya. Dari hal-hal yang remeh hingga serius. Misalnya, dari
Nadia saya tahu bahwa AC di kereta bisa diatur menggunakan ponsel tertentu.
Membuat catatan tugas di layar laptop juga saya warisi dari Nadia. Untuk
perkara serius, tidak ada yang lebih epic dari kemandirian Nadia. Di saat
kondisi ekonomi rakyat bumi anjlok akibat Covid-19, Nadia adalah salah satu
kawan yang masih mampu bertahan, bahkan nabung untuk biaya kuliah S2!
Nadia salah satu
orang yang sering saya ceritakan kepada kawan-kawan kecil di rumah. “Ambil
sesuatu dari Nadia,” kata saya. “Untuk soal kemandirian saya tidak ada
apa-apanya.” Dan para gadis remaja itu menunjukkan gelagat paham. Saya menginginkan
kawan-kawan remaja itu kelak tumbuh semaksimal mungkin, dengan berbagai sosok
inspiratif yang saya ambil dari kawan kuliah saya sendiri, termasuk Nadia.
Selain mandiri, tentu
saja mereka mendapat cerita bahwa Nadia adalah hafizah. Bagi saya, setiap hafiz
adalah sosok yang memiliki konsistensi, sebuah kosa kata yang saya beri stabilo
dengan pengucapan pelan-pelan kepada kawan-kawan di rumah.
Saya tidak tahu sejak
kapan ia menghafal Alquran tetapi saya tahu kapan ia mengadakan syukuran saat
khatam: 15 November 2019. Di hari Jumat itu, saya mendapat bagian tumpeng,
persis ketika tubuh saya ada di rumah—jauh dari tumpeng yang ia bagikan. Firoh
mengirim pesan bahwa saya dapat tumpeng dari Nadia dan saya minta tolong pada
Firoh untuk segera dihabiskan sebab saya sedang ada di rumah. “Jangan
bilang-bilang ke Nadia,” kata saya. Dan Firoh menjawab iya.
Malam itu, ketika
saya sedang berada di tempat seseorang, segera saya mengirim pesan terima kasih
kepada Nadia.
Saya kira Nadia punya
satu ambisi lain: Segera bertemu jodohnya. Dari capture percakapan Nadia dan
Azizah yang sering mereka buat story di WhatsApp, saya tahu harapan itu. “Siapa
jodohku ya, Zah?” tulis Nadia. Azizah juga pernah menulis hal serupa pada
Nadia.
Sekarang ia sudah
bertemu pasangannya. Dan itulah yang membuat saya menulis catatan ini, di blog ini.
Selama Google masih hidup, blog ini masih akan ada. Dan catatan-catatan saya
masih akan tetap ada, bahkan jauh setelah saya mati. Semoga Google panjang umur
sehingga semua catatan, termasuk soal Nadia, masih tersisa.
Bagaimanapun, kelak,
saya akan kehilangan Nadia sebagai sahabat saya. Pernikahan akan memisahkan
intensitas pertemanan. Pada akhirnya, jika saya memilih untuk menikah juga,
pertemanan kami bisa jadi akan lebih berjarak. Saat kami memiliki kesibukan
yang lebih padat, kami mungkin akan lupa pada intensitas pertemanan kami. Itu
tidak perlu disesali. Apapun yang niscaya terjadi, terjadilah. Sikap filosofis
penyederhanaan suatu hal yang mirip sikap pasrah itu menjadi pendewasaan di
banyak kondisi.
Jika kelak kondisi
telah berubah, ada hal yang mungkin akan tetap menjadi ingatan baik: Nadia
adalah kawan yang tahu bahwa saya kikuk di tempat umum dan, dengan karakternya,
ia mudah saja membuat saya menjadi pendengar yang baik. Nadia kawan yang suka
bercerita. Lambat laun, saya terbiasa. Setelah lambat laun, saya tidak perlu
khawatir akan topik bahasan saat bertemu Nadia. Kepala saya bisa lancar
mengeluarkan ide. Atau, jika tidak, saya cukup menjadi pendengar dan menganggap
apa-apa yang ia katakan bersifat sakral—jadi saya harus khusuk.
Dan kelak ia bukan orang yang mudah diajak ngopi lagi. Ia orang yang saya senangi saat saya duduk satu meja bersamanya dan kawan-kawan lain. Wah... kawan seperti Nadia itu jelas sulit didapat.
Selain itu, kepada Nadia-lah
saya tidak perlu menaruh khawatir ketika menghubunginya. Malaikat di langit
tahu, jika ia tidak sedang sibuk, ia akan segera merespon pesan saya. Jika
pesan saya tidak berbalas, saya tinggal memelihara pikiran baik bahwa ia masih
dalam mode aktivitas. Itulah kenapa, jika tidak ada hal yang penting, saya
tidak pernah menghubunginya. Saya segan dengan kesigapan itu. Jika saya ingin
bercerita sesuatu, misalnya, alih-alih menghubungi Nadia, saya akan bercerita
pada batu.
“Ini bentuk
pembalasan dari dosen yang suka jarang respon, Cak,” kata Nadia. “Jadi harus
memperbaiki generasi. Generasi fast respon.”
Yah, Nad. Memang akan lebih baik jika banyak generasi seperti sampean. Generasi Nadia, ditambah perpaduan gen dari Mas Suami, itu akan sempurna.