Kamis, 26 Mei 2022

Generasi Baru

Ia punya dua ambisi: Bagaimana jarum jam di timbangan bergeser ke kanan; bagaimana menjadi manusia pintar.


Dua ambisi itu saya kantongi juga. Tetapi nasib kami tidak pernah baik soal ambisi pertama. Tubuh kami masih tetap saja kurus seperti itu dari tahun ke tahun. Mungkin ia sudah tidak lagi menaruh harapan soal panah timbangan. Dan soal pintar, saya berharap ia mengingat ini: Pembelajar yang efektif dapat mengajari dirinya sendiri hampir semua hal dengan sumber online yang tersedia di ujung jari. Kapanpun ia ingin menjadi lebih pintar dari ke hari, ia tidak pernah kehilangan sumber.


Tetapi menjadi pintar butuh kesiapan mental. Kita tahu, tidak semua orang bersedia menyiksa diri dengan belajar tiap hari; tidak semua orang siap keras kepala duduk berjam-jam tiap hari—dengan fokus tajam—untuk belajar. Kadang untuk mencapai target menjadi pintar—apapun definisi pintar itu—agak utopis. Sebab kita seperti lari maraton tanpa garis akhir. Dan kapanpun kita telah memiliki mental pembelajar, barangkali pintar bukan apa-apa, hanya belajar yang nikmat.


Nadia sering mengirim pesan minta doa supaya pintar dan relflek saya berharap ia sepintar yang ia inginkan.


Saya banyak belajar kepada Nadia, sebenarnya. Dari hal-hal yang remeh hingga serius. Misalnya, dari Nadia saya tahu bahwa AC di kereta bisa diatur menggunakan ponsel tertentu. Membuat catatan tugas di layar laptop juga saya warisi dari Nadia. Untuk perkara serius, tidak ada yang lebih epic dari kemandirian Nadia. Di saat kondisi ekonomi rakyat bumi anjlok akibat Covid-19, Nadia adalah salah satu kawan yang masih mampu bertahan, bahkan nabung untuk biaya kuliah S2!


Nadia salah satu orang yang sering saya ceritakan kepada kawan-kawan kecil di rumah. “Ambil sesuatu dari Nadia,” kata saya. “Untuk soal kemandirian saya tidak ada apa-apanya.” Dan para gadis remaja itu menunjukkan gelagat paham. Saya menginginkan kawan-kawan remaja itu kelak tumbuh semaksimal mungkin, dengan berbagai sosok inspiratif yang saya ambil dari kawan kuliah saya sendiri, termasuk Nadia.


Selain mandiri, tentu saja mereka mendapat cerita bahwa Nadia adalah hafizah. Bagi saya, setiap hafiz adalah sosok yang memiliki konsistensi, sebuah kosa kata yang saya beri stabilo dengan pengucapan pelan-pelan kepada kawan-kawan di rumah.


Saya tidak tahu sejak kapan ia menghafal Alquran tetapi saya tahu kapan ia mengadakan syukuran saat khatam: 15 November 2019. Di hari Jumat itu, saya mendapat bagian tumpeng, persis ketika tubuh saya ada di rumah—jauh dari tumpeng yang ia bagikan. Firoh mengirim pesan bahwa saya dapat tumpeng dari Nadia dan saya minta tolong pada Firoh untuk segera dihabiskan sebab saya sedang ada di rumah. “Jangan bilang-bilang ke Nadia,” kata saya. Dan Firoh menjawab iya.


Malam itu, ketika saya sedang berada di tempat seseorang, segera saya mengirim pesan terima kasih kepada Nadia.


Saya kira Nadia punya satu ambisi lain: Segera bertemu jodohnya. Dari capture percakapan Nadia dan Azizah yang sering mereka buat story di WhatsApp, saya tahu harapan itu. “Siapa jodohku ya, Zah?” tulis Nadia. Azizah juga pernah menulis hal serupa pada Nadia.


Sekarang ia sudah bertemu pasangannya. Dan itulah yang membuat saya menulis catatan ini, di blog ini. Selama Google masih hidup, blog ini masih akan ada. Dan catatan-catatan saya masih akan tetap ada, bahkan jauh setelah saya mati. Semoga Google panjang umur sehingga semua catatan, termasuk soal Nadia, masih tersisa.


Bagaimanapun, kelak, saya akan kehilangan Nadia sebagai sahabat saya. Pernikahan akan memisahkan intensitas pertemanan. Pada akhirnya, jika saya memilih untuk menikah juga, pertemanan kami bisa jadi akan lebih berjarak. Saat kami memiliki kesibukan yang lebih padat, kami mungkin akan lupa pada intensitas pertemanan kami. Itu tidak perlu disesali. Apapun yang niscaya terjadi, terjadilah. Sikap filosofis penyederhanaan suatu hal yang mirip sikap pasrah itu menjadi pendewasaan di banyak kondisi.


Jika kelak kondisi telah berubah, ada hal yang mungkin akan tetap menjadi ingatan baik: Nadia adalah kawan yang tahu bahwa saya kikuk di tempat umum dan, dengan karakternya, ia mudah saja membuat saya menjadi pendengar yang baik. Nadia kawan yang suka bercerita. Lambat laun, saya terbiasa. Setelah lambat laun, saya tidak perlu khawatir akan topik bahasan saat bertemu Nadia. Kepala saya bisa lancar mengeluarkan ide. Atau, jika tidak, saya cukup menjadi pendengar dan menganggap apa-apa yang ia katakan bersifat sakral—jadi saya harus khusuk.


Dan kelak ia bukan orang yang mudah diajak ngopi lagi. Ia orang yang saya senangi saat saya duduk satu meja bersamanya dan kawan-kawan lain. Wah... kawan seperti Nadia itu jelas sulit didapat.


Selain itu, kepada Nadia-lah saya tidak perlu menaruh khawatir ketika menghubunginya. Malaikat di langit tahu, jika ia tidak sedang sibuk, ia akan segera merespon pesan saya. Jika pesan saya tidak berbalas, saya tinggal memelihara pikiran baik bahwa ia masih dalam mode aktivitas. Itulah kenapa, jika tidak ada hal yang penting, saya tidak pernah menghubunginya. Saya segan dengan kesigapan itu. Jika saya ingin bercerita sesuatu, misalnya, alih-alih menghubungi Nadia, saya akan bercerita pada batu.


“Ini bentuk pembalasan dari dosen yang suka jarang respon, Cak,” kata Nadia. “Jadi harus memperbaiki generasi. Generasi fast respon.”


Yah, Nad. Memang akan lebih baik jika banyak generasi seperti sampean. Generasi Nadia, ditambah perpaduan gen dari Mas Suami, itu akan sempurna.