Sudah sekitar 20 menit saya dan Hilmi tiba di pesta resepsi Mas Ahmad tetapi orang-orang masih sibuk menata tempat dan hidangan. Kami memilih sudut gelap di parkiran sembari menunggu pengantin keluar. Lalu Mas Ahmad muncul dari sebuah gedung, menggunakan atasan kaos oblong dan bawahan sarung. “Hee, Gus...” teriak saya.
Saya dan Hilmi
geleng-geleng kepala melihat kostum Mas Ahmad—yang kami panggil Agus. Ia
berjalan menuju kami dan sekitar jarak dua meter ia mengatakan terima kasih
beberapa kali, sambil mendekapkan tangan di dada, mirip pose Idulfitri. Ia
menepuk-nepuk pipi kami, untuk tidak mengatakan menampar. Suaranya bergetar
bahagia. Wajahnya cerah dan semangat, seolah seluruh mendung yang biasa kami
lihat menyingkir. “Kamu ini nggak niat nikah, ya?” Kata Hilmi. “Kok masih pakai
baju begini, mau kemana?”
“Lagi cari kopi.
Istriku ngantuk,” jawab Mas Ahmad. Hilmi protes kenapa tidak menyuruh orang
lain saja dan Mas Ahmad menjawab ia sudah mengutus adiknya. Agus mengangguk
setuju ketika Hilmi bertanya
apakah ia ingin rokok. Lalu mereka menyulut rokok dan saya masih tidak percaya
orang di depan saya ini adalah pengantin. Saya dan Hilmi sepakat bahwa Mas
Ahmad tampak seperti penjaga parkir. Beberapa saat kemudian, seseorang meminta
tolong pada Mas Pengantin. Ibu itu tidak bisa memasukkan kunci motor ke dalam soketnya.
“Lha kan, bener...
dikira tukang parkir,” kata Hilmi.
***
29 Agustus 2016 Mas
Ahmad meminta sebuah pita biru muda pada saya, sebab panitia ospek yang
berlagak seperti tuhan memberi perintah untuk mengenakan pita biru di lengan.
Kebetulan saya punya pita lebih. Itulah perkenalan pertama kami, meski kami sama-sama
belum terpikir bertukar nama. Kami masih sibuk menghadapi tuhan-tuhan sentimentil
itu. Kelak setelah kami menjadi akrab karena satu prodi dan satu kelas, sesekali
pertemuan pertama ini kami putar dengan cara dramatis: Seolah cara sopan saat meminta
pita itu adalah kesalahan.
Dari 29 Agustus,
menjadi 29 September, 29 Oktober, 29 Desember, dan seluruh tanggal 29
selanjutnya. Dari 2016, menjadi 2017, 2018, 2019, 2020... Pertemanan kami
bergulir dari waktu ke waktu dan saya kira itu adalah “petaka” bagi Mas Ahmad.
Ia terlalu baik pada sahabatnya. Tentang apakah itu benar-benar petaka atau
tidak, tergantung sudut pandang yang kita gunakan, tentu.
Saya sendiri tidak
pernah ingin merepotkan kawan-kawan selama hidup di perantauan. Tetapi Mas
Ahmad dan Hilmi menjadi pengecualian. Saya sering merepotkan mereka. Dan Mas
Ahmad, selalu menyediakan diri untuk menjadi tameng kebutuhan-kebutuhan saya.
Ia adalah tempat saya mengadu seluruh kesusahan saya. Setelah saya mengatakan
suatu masalah, betapapun saya hanya ingin cerita, ia selalu mengatakan sesuatu
opsi yang bisa ia lakukan.
Ada momen ketika saya
benar-benar jatuh dan saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menulis di
Twitter—tahun 2020 akhir. Mas Ahmad menjadi satu-satunya kawan yang mengirim
pesan kepada saya dan menawarkan diri apakah ada sesuatu yang ingin saya
ceritakan kepadanya. “Tumpahkan semua di sini,” katanya. Saya menjawab tidak
bisa bercerita tetapi saya menaruh rasa sentimen penuh karena kelembutan
hatinya.
Malaikat pencatat
amal tahu, saya tidak akan melupakan momen itu.
Saya mengenal Mas
Ahmad sebagai orang yang tidak pernah mencari perkara. Di organisasi, ia sosok
yang aktif, bahkan saya kira ia sering menambal pekerjaan rekan-rekan yang
kurang bertanggungjawab. Atas rekam jejaknya, Mas Ahmad menjadi sosok yang
berintegritas. Bahwa kemudian ia ceroboh, bisa jadi. Tetapi ia selalu mampu
bertanggungjawab atas seluruh yang ia lakukan.
Kadang-kadang, saya
pikir, Mas Ahmad tidak terlalu perhitungan terhadap konsekuensi dari tindakan
yang ia perbuat. Karenanya, ada satu-dua masalah yang ia hadapi. Sumbernya
adalah error, atau ceroboh, bukan berakar pada mencari gara-gara dengan orang
lain. Alih-alih mencari masalah, saya pikir lebih banyak orang yang “memanfaatkan”
kebaikan hati Mas Ahmad. Orang bisa saja memiliki kesan yang berbeda kepadanya.
Tetapi saya tidak pernah melihat Mas Ahmad merepotkan orang lain.
Entah kenapa, banyak
orang-orang yang memiliki kesan bahwa Mas Ahmad adalah sosok polos yang mudah
dimanfaatkan, yang mudah disakiti, yang mudah dieksploitasi. Harus saya akui, cara
Mas Ahmad bersikap seringkali menunjukkan gelagat canggung. Pada titik
tertentu, canggung itu berubah menjadi sumber salah paham. Orang bisa berbicara
A, dan Mas Ahmad merespon B. Dan sebaliknya. Di sekolah, sosok seperti Mas
Ahmad jelas mudah menjadi objek bullying.
Itulah kenapa saya
katakan, alih-alih merepotkan orang, Mas Ahmad lebih berpotensi dieksploitasi
oleh orang lain. Pada momen itulah saya dan Hilmi menjadi tameng baginya. Kami
sering bertanya apa aktivitas Mas Ahmad dan apakah keputusan yang ia ambil
untuk bertindak tidak melebihi batas wajar kebaikan. Sebab Mas Ahmad kadang
bertindak seperti malaikat. Siapapun orang yang pernah minta bantuan padanya,
akan bersaksi serupa dengan apa yang saya katakan.
Meski demikian, Mas
Ahmad bukan sosok yang mudah melupakan tindakan menyakitkan yang dialamatkan
kepadanya. Ia mengingat betul orang-orang yang telah bertindak tidak baik
kepadanya. Dalam kadar ekstrem, saya kira, itu sikap yang adil. Ia tidak pernah
berusaha menyakiti atau merepotkan orang lain. Dan ketika ia disakiti, ia akan
mengambil jarak pada sumber penyakit itu. Saya membayangkan itulah sikap
alamiah Mas Ahmad untuk bertahan menghadapi ancaman.
Beberapa kawan
mengaku kesulitan bergaul dengan Mas Ahmad. Di satu sisi, saya tahu betul
mengapa Mas Ahmad bersikap defensif pada beberapa orang, ialah orang-orang yang
dalam ukuran Mas Ahmad telah bertindak tidak baik kepadanya, sedangkan si
pelaku tidak mengingat telah melakukan tindakan itu. Anda tahu, mudah melupakan
tindak-tanduk kita kepada orang yang dianggap remeh. Padahal Mas Ahmad bukan
sosok yang harus diremehkan, setidaknya menurut saya.
***
24 Oktober 2019
Saya kebingungan
mencari angkutan umum menuju Bangkalan. Tentu saja ada bis, tetapi tidak ada
yang langsung menuju Pendopo Kabupaten. Saya melihat tarif ojol dan biayanya
terlalu mahal. Kawan saya mengatakan bahwa saya bisa naik bis dan nanti oper
naik angkot. Kebetulan, saya harus membawa dua kardus besar berisi buku, satu
tas berisi perlengkapan saya selama seminggu, dan satu tas lagi berisi laptop.
Waktu itu saya ikut
lomba mewakili Bangkalan.
Saya tidak menemukan
opsi terbaik selain naik kendaraan pribadi. Tetapi barang bawaan saya banyak. Tidak
mungkin saya naik motor sendirian. Saya tidak melihat pilihan lain kecuali
bertanya pada Mas Ahmad apakah ia bisa mengantar. Saya menghubunginya.
“Begini, lho... aku
mau minta antar ke Bangkalan, kalau kamu bisa.”
“Siap. Aku masih di
rumah Mbah. Setelah urusan selesai aku akan ke tempatmu.”
“Ya, Gus. Kita berangkat
besok subuh. Supaya bisa bangun tepat waktu, tidurlah di tempatku.”
Pagi-pagi buta kami
berangkat, dengan segepok senjata tempur saya. Mas Ahmad kesulitan menyetir
motor karena harus mengapit satu kardus berisi buku-buku, di depan. Di tengah,
masih ada satu kardus lagi, dan di atas kardus ada tas barang. Dan punggung
saya menanggung berat satu tas lain, selama perjalanan. Sesampainya kami di
pendopo, rekan satu rombongan saya sudah berkumpul, di temani berbagai sanak
keluarga.
Saya juga diantar
satu keluarga. Mas Ahmad.
Ketika tiba upacara
keberangkatan, saya ingat betul, Mas Ahmad memindah dua kardus buku-buku saya
ke samping bis rombongan. Dan jarak pemindahan itu cukup jauh. Sementara saya
tidak bisa membantunya karena harus menghadap Pak Bupati.
Mas Ahmad pamit
pulang lewat chat. Ia pulang sendirian. Sambil mendengar sambutan Pak Bupati,
saya berharap Mas Ahmad baik-baik saja dan air mata saya mengalir. Salah satu
peserta memberi tisu pada saya. (Saya menulis bagian ini dengan sentimen dan
kecengengan yang sama.)
***
29 Mei 2022
Mas Ahmad keluar dari
sebuah gedung, menggandeng istrinya. Mereka berdua mengenakan baju pengantin
dan semua mata tertuju pada mereka. Akhirnya, ia mengenakan kostum yang benar. Tenggorokan
saya macet untuk mengucapkan selamat menikah di atas panggung dekorasi itu.
Hanya sebuah jabatan tangan dan senyum yang saya sematkan.
Semoga kau selalu dihadiahi kehidupan yang bahagia, Mas Ahmad.