Senin, 30 Mei 2022

Manusia Baik dan Hal-hal Baik: Surat Untuk Mas Ahmad

Sudah sekitar 20 menit saya dan Hilmi tiba di pesta resepsi Mas Ahmad tetapi orang-orang masih sibuk menata tempat dan hidangan. Kami memilih sudut gelap di parkiran sembari menunggu pengantin keluar. Lalu Mas Ahmad muncul dari sebuah gedung, menggunakan atasan kaos oblong dan bawahan sarung. “Hee, Gus...” teriak saya.


Saya dan Hilmi geleng-geleng kepala melihat kostum Mas Ahmad—yang kami panggil Agus. Ia berjalan menuju kami dan sekitar jarak dua meter ia mengatakan terima kasih beberapa kali, sambil mendekapkan tangan di dada, mirip pose Idulfitri. Ia menepuk-nepuk pipi kami, untuk tidak mengatakan menampar. Suaranya bergetar bahagia. Wajahnya cerah dan semangat, seolah seluruh mendung yang biasa kami lihat menyingkir. “Kamu ini nggak niat nikah, ya?” Kata Hilmi. “Kok masih pakai baju begini, mau kemana?”


“Lagi cari kopi. Istriku ngantuk,” jawab Mas Ahmad. Hilmi protes kenapa tidak menyuruh orang lain saja dan Mas Ahmad menjawab ia sudah mengutus adiknya. Agus mengangguk setuju ketika Hilmi bertanya apakah ia ingin rokok. Lalu mereka menyulut rokok dan saya masih tidak percaya orang di depan saya ini adalah pengantin. Saya dan Hilmi sepakat bahwa Mas Ahmad tampak seperti penjaga parkir. Beberapa saat kemudian, seseorang meminta tolong pada Mas Pengantin. Ibu itu tidak bisa memasukkan kunci motor ke dalam soketnya.


“Lha kan, bener... dikira tukang parkir,” kata Hilmi.


***


29 Agustus 2016 Mas Ahmad meminta sebuah pita biru muda pada saya, sebab panitia ospek yang berlagak seperti tuhan memberi perintah untuk mengenakan pita biru di lengan. Kebetulan saya punya pita lebih. Itulah perkenalan pertama kami, meski kami sama-sama belum terpikir bertukar nama. Kami masih sibuk menghadapi tuhan-tuhan sentimentil itu. Kelak setelah kami menjadi akrab karena satu prodi dan satu kelas, sesekali pertemuan pertama ini kami putar dengan cara dramatis: Seolah cara sopan saat meminta pita itu adalah kesalahan.


Dari 29 Agustus, menjadi 29 September, 29 Oktober, 29 Desember, dan seluruh tanggal 29 selanjutnya. Dari 2016, menjadi 2017, 2018, 2019, 2020... Pertemanan kami bergulir dari waktu ke waktu dan saya kira itu adalah “petaka” bagi Mas Ahmad. Ia terlalu baik pada sahabatnya. Tentang apakah itu benar-benar petaka atau tidak, tergantung sudut pandang yang kita gunakan, tentu.  


Saya sendiri tidak pernah ingin merepotkan kawan-kawan selama hidup di perantauan. Tetapi Mas Ahmad dan Hilmi menjadi pengecualian. Saya sering merepotkan mereka. Dan Mas Ahmad, selalu menyediakan diri untuk menjadi tameng kebutuhan-kebutuhan saya. Ia adalah tempat saya mengadu seluruh kesusahan saya. Setelah saya mengatakan suatu masalah, betapapun saya hanya ingin cerita, ia selalu mengatakan sesuatu opsi yang bisa ia lakukan.

 

Ada momen ketika saya benar-benar jatuh dan saya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menulis di Twitter—tahun 2020 akhir. Mas Ahmad menjadi satu-satunya kawan yang mengirim pesan kepada saya dan menawarkan diri apakah ada sesuatu yang ingin saya ceritakan kepadanya. “Tumpahkan semua di sini,” katanya. Saya menjawab tidak bisa bercerita tetapi saya menaruh rasa sentimen penuh karena kelembutan hatinya.


Malaikat pencatat amal tahu, saya tidak akan melupakan momen itu.


Saya mengenal Mas Ahmad sebagai orang yang tidak pernah mencari perkara. Di organisasi, ia sosok yang aktif, bahkan saya kira ia sering menambal pekerjaan rekan-rekan yang kurang bertanggungjawab. Atas rekam jejaknya, Mas Ahmad menjadi sosok yang berintegritas. Bahwa kemudian ia ceroboh, bisa jadi. Tetapi ia selalu mampu bertanggungjawab atas seluruh yang ia lakukan.


Kadang-kadang, saya pikir, Mas Ahmad tidak terlalu perhitungan terhadap konsekuensi dari tindakan yang ia perbuat. Karenanya, ada satu-dua masalah yang ia hadapi. Sumbernya adalah error, atau ceroboh, bukan berakar pada mencari gara-gara dengan orang lain. Alih-alih mencari masalah, saya pikir lebih banyak orang yang “memanfaatkan” kebaikan hati Mas Ahmad. Orang bisa saja memiliki kesan yang berbeda kepadanya. Tetapi saya tidak pernah melihat Mas Ahmad merepotkan orang lain.


Entah kenapa, banyak orang-orang yang memiliki kesan bahwa Mas Ahmad adalah sosok polos yang mudah dimanfaatkan, yang mudah disakiti, yang mudah dieksploitasi. Harus saya akui, cara Mas Ahmad bersikap seringkali menunjukkan gelagat canggung. Pada titik tertentu, canggung itu berubah menjadi sumber salah paham. Orang bisa berbicara A, dan Mas Ahmad merespon B. Dan sebaliknya. Di sekolah, sosok seperti Mas Ahmad jelas mudah menjadi objek bullying.


Itulah kenapa saya katakan, alih-alih merepotkan orang, Mas Ahmad lebih berpotensi dieksploitasi oleh orang lain. Pada momen itulah saya dan Hilmi menjadi tameng baginya. Kami sering bertanya apa aktivitas Mas Ahmad dan apakah keputusan yang ia ambil untuk bertindak tidak melebihi batas wajar kebaikan. Sebab Mas Ahmad kadang bertindak seperti malaikat. Siapapun orang yang pernah minta bantuan padanya, akan bersaksi serupa dengan apa yang saya katakan.


Meski demikian, Mas Ahmad bukan sosok yang mudah melupakan tindakan menyakitkan yang dialamatkan kepadanya. Ia mengingat betul orang-orang yang telah bertindak tidak baik kepadanya. Dalam kadar ekstrem, saya kira, itu sikap yang adil. Ia tidak pernah berusaha menyakiti atau merepotkan orang lain. Dan ketika ia disakiti, ia akan mengambil jarak pada sumber penyakit itu. Saya membayangkan itulah sikap alamiah Mas Ahmad untuk bertahan menghadapi ancaman.


Beberapa kawan mengaku kesulitan bergaul dengan Mas Ahmad. Di satu sisi, saya tahu betul mengapa Mas Ahmad bersikap defensif pada beberapa orang, ialah orang-orang yang dalam ukuran Mas Ahmad telah bertindak tidak baik kepadanya, sedangkan si pelaku tidak mengingat telah melakukan tindakan itu. Anda tahu, mudah melupakan tindak-tanduk kita kepada orang yang dianggap remeh. Padahal Mas Ahmad bukan sosok yang harus diremehkan, setidaknya menurut saya.


***


24 Oktober 2019


Saya kebingungan mencari angkutan umum menuju Bangkalan. Tentu saja ada bis, tetapi tidak ada yang langsung menuju Pendopo Kabupaten. Saya melihat tarif ojol dan biayanya terlalu mahal. Kawan saya mengatakan bahwa saya bisa naik bis dan nanti oper naik angkot. Kebetulan, saya harus membawa dua kardus besar berisi buku, satu tas berisi perlengkapan saya selama seminggu, dan satu tas lagi berisi laptop.


Waktu itu saya ikut lomba mewakili Bangkalan.


Saya tidak menemukan opsi terbaik selain naik kendaraan pribadi. Tetapi barang bawaan saya banyak. Tidak mungkin saya naik motor sendirian. Saya tidak melihat pilihan lain kecuali bertanya pada Mas Ahmad apakah ia bisa mengantar. Saya menghubunginya.


“Begini, lho... aku mau minta antar ke Bangkalan, kalau kamu bisa.”


“Siap. Aku masih di rumah Mbah. Setelah urusan selesai aku akan ke tempatmu.”


“Ya, Gus. Kita berangkat besok subuh. Supaya bisa bangun tepat waktu, tidurlah di tempatku.”


Pagi-pagi buta kami berangkat, dengan segepok senjata tempur saya. Mas Ahmad kesulitan menyetir motor karena harus mengapit satu kardus berisi buku-buku, di depan. Di tengah, masih ada satu kardus lagi, dan di atas kardus ada tas barang. Dan punggung saya menanggung berat satu tas lain, selama perjalanan. Sesampainya kami di pendopo, rekan satu rombongan saya sudah berkumpul, di temani berbagai sanak keluarga.


Saya juga diantar satu keluarga. Mas Ahmad.


Ketika tiba upacara keberangkatan, saya ingat betul, Mas Ahmad memindah dua kardus buku-buku saya ke samping bis rombongan. Dan jarak pemindahan itu cukup jauh. Sementara saya tidak bisa membantunya karena harus menghadap Pak Bupati.


Mas Ahmad pamit pulang lewat chat. Ia pulang sendirian. Sambil mendengar sambutan Pak Bupati, saya berharap Mas Ahmad baik-baik saja dan air mata saya mengalir. Salah satu peserta memberi tisu pada saya. (Saya menulis bagian ini dengan sentimen dan kecengengan yang sama.)


***


29 Mei 2022


Mas Ahmad keluar dari sebuah gedung, menggandeng istrinya. Mereka berdua mengenakan baju pengantin dan semua mata tertuju pada mereka. Akhirnya, ia mengenakan kostum yang benar. Tenggorokan saya macet untuk mengucapkan selamat menikah di atas panggung dekorasi itu. Hanya sebuah jabatan tangan dan senyum yang saya sematkan.


Semoga kau selalu dihadiahi kehidupan yang bahagia, Mas Ahmad.