Definisi serampangan tentang teman dapat menjebak kita untuk mendekam di dunia dalam versi yang tidak ingin kita tinggali. Tidak dapat dipungkiri, paham humanis membawa perubahan sosial hebat: Kita memiliki keabsahan untuk meletakkan diri sendiri di atas segalanya. Sebagai gambaran, saya akan kutip beberapa premis penting tentang humanis-lebertarian. Anda bisa melacak kutipan ini di Homo Deus-nya Yuval Noah Harari:
· # Semesta berputar dengan manusia sebagai porosnya, dan
manusia adalah sumber inti dari segala makna dan otoritas.
· # Manusia harus menarik pengalaman dari dalam diri mereka,
tidak hanya makna kehidupan, tetapi juga makna seluruh jagat raya.
· # Humanisme mengajarkan bahwa sesuatu buruk jika
menyebabkan seseorang merasa tidak senang.
Pandangan ini, lebih jauh
membentuk paradigma di berbagai lini—masih saya kutip dari Homo Deus:
· # Politik humanis: Pemilihlah yang paling tahu siapa yang
harus mereka pilih.
· # Ekonomi humanis: Pelanggan selalu benar.
· # Estetika humanis: Keindahan ada dalam sudut pandang
penonton (buah pisang dan kloset pernah ditahbiskan sebagai karya seni. Sila
googling jika minat).
· # Etika humanis: Jika terasa baik, lakukanlah!
· # Pendidikan humanis: Berpikirlah dari dan untuk anda sendiri!
Pertanyaannya, apa
implikasi pandangan humanis di wilayah sosial-pertemanan?
Karena kredo humanis
menempatkan sisi manusia sebagai penentu sentral, kira-kira wajah pertemanan
dapat digambarkan seperti ini: Teman adalah mereka yang mendukung seluruh
kepentingan kita, apapun kondisi kita. Supaya lebih jelas, izinkan saya
menjelaskan lebih lanjut.
Di Instagram, saya pernah
menemukan ungkapan, bahwa ketika kita berjuang, hanya segelintir orang yang
mendukung kita. Sedang jika kita telah berhasil, seluruh kenalan seperti
menunjukkan tepuk tangan mereka. Yang dikatakan “teman” adalah segelintir orang
yang mendukung perjuangan kita di awal. Dari banyak kemungkinan tafsir posting
tersebut, di kepala saya muncul kesimpulan, apakah kita perlu dukungan seluruh
kenalan kita? Dan jika mau adil, apakah kita sudah memberikan dukungan kepada
seluruh kenalan kita?
Tidak. Kita hanya
mendukung segelintir orang juga, ialah orang-orang terdekat kita. Jika kita
hanya mendukung segelintir orang saja, mengapa kita seolah “menuntut”
orang-orang melihat dan mendukung fase perjuangan kita? Jika menyangkut diri
sendiri, kita ingin berada di titik sentral, sedangkan berkaitan dengan orang
lain, kita seperti tutup mata. Standar ganda, eh?
Posting di IG itu mungkin
memberi motivasi untuk berjuang di dalam hening, dan untuk menormalisasi proses
perjuangan yang memang berat, serta ditanggung sendiri. Tetapi, melihat
komentar pada warganet, secara implisit mereka berpandangan bahwa tepuk tangan
yang datang diakhir itu adalah kekeliruan. Mereka menganggap bahwa tepuk tangan
banyak orang adalah hasrat untuk menjilat, dan, karena itu, harus hati-hati.
Selain IG, di Twitter juga
banyak ungkapan-ungkapan normalisasi sikap selfish, bahwa kepentingan
kita nomor satu, di atas kepentingan orang lain. Di atas kepentingan kawan,
tentu saja. Sebenarnya, tidak ada yang salah dari semangat ini. Kita memang harus mementingkan urusan pribadi sebelum beralih membantu orang lain.
Masalahnya, ungkapan di
Twitter ditujukan untuk orang-orang spesifik, ialah kawan yang menghisap kita;
ialah kawan yang menghambat perkembangan kita. Itulah pesan intinya. Tetapi
entah kenapa narasi-narasi di Twitter menjadikan pergeseran definitif tentang
teman dan, pada titik tertentu, membuat mental orang-orang makin “melemah”. Tiap
ada kawan melawan kepentingan, dilabeli toxic. Mudah sekali melempar toxic.
Orang lain toxic atau kita
yang idiot dan egois dan bersembunyi dibalik tuduhan toxic? Barangkali tindakan
mereka memang bertentangan dengan kepentingan kita, tapi... ayolah, siapa yang
menjamin sikapnya bukan karena ulah kita lebih dulu? Atau bahkan kepentingan
kitalah yang keliru, dan sikap kawan yang tampak “bertentangan”, ternyata lebih
tepat.
Well, pada faktanya,
paradigma selfish telah umum. Lalu sinisme muncul di mana-mana. Kepercayaan
satu orang pada orang lain kian menurun.
Jamil Zaki dalam
ceramahnya menunjukkan studi menarik. Di Brazil Tenggara, terdapat dua desa
yang dipisahkan jarak beberapa kilo meter. Sumber ekonomi penduduk setempat
adalah mencari ikan. Bedanya, desa pertama mencari ikan di tepi laut,
menggunakan peralatan besar, dan butuh banyak tim, sehingga mereka bekerja sama.
Di desa kedua, penduduk mencari ikan di danau, tanpa kelompok. Mereka bersaing
satu sama lain.
Setelah peneliti melakukan
riset panjang, ditemukan hasil bahwa masyarakat di desa pertama lebih dapat
percaya orang asing. Penduduk desa kedua, sebaliknya, menunjukkan perangai
waspada, dan memilih tidak percaya. Menariknya, kedua desa ini pada awalnya
adalah satu komunitas yang sama. Dunia sosial membentuk kita, seperti cetakan tanah
liat membentuk kerajinan-kerajinan. Dunia kita bisa mencetak manusia penuh
energi positif, atau energi sinis.
Saat ini, barangkali kita
telah tinggal di pinggir danau, seperti penduduk desa kedua. Orang sinis
cenderung menolak keintiman dan kerja sama. Mereka menyakiti orang lain agar
tidak disakiti. Mereka memata-matai orang lain dan selalu merasa curiga. Mereka
mudah bertindak egois sebagai tanggapan.
Bayangkan, jika seluruh
penduduk desa bertindak seperti itu, tidakkah mereka menciptakan kondisi yang
mereka takuti? Si A curiga pada si B dan si C, si B curiga pada si A dan C, dan
si C curiga pada si A dan B. Siapa yang salah? Mereka semua salah! Mereka
sendiri yang menciptakan kondisi curiga yang sebenarnya mereka benci. Mereka
tidak menyadari bahwa mereka biang keladi dari kondisi itu, alih-alih, mereka
menganggap orang lain sebagai sumber masalah.
Itulah kondisi yang
disebut Jamil Zaki sebagai jebakan sinisme.
Definisi pertemanan hari
ini, bagi saya, menyempit ke arah sinisme, dengan cara kerja yang sama. Masing-masing
kita mengunggulkan kepentingan pribadi, demi untuk tidak disikut oleh
kepentingan orang lain. Pada akhirnya, kita membatasi pertemanan kita. Padahal,
pengertian teman cukup longgar.
Teman bukan ia yang selalu
dapat berkumpul dengan kita, sebab pilihan hidup mengharuskan badan mereka
berada di belahan bumi lain. Teman bukan ia yang selalu merayakan ulang tahun
kita, sebab apa arti ucapan ulang tahun tanpa kehangatan sikap satu sama lain
ketika bertemu, di samping melupakan hari ulang tahun adalah hal wajar—banyak hal
penting lain yang harus diingat dan menyangkut kemaslahatan lebih besar
ketimbang ulang tahun kita.
Teman bukan ia yang
memusuhi musuh kita, sebab ia bukan alat penyebar kebencian kita. Teman bukan
ia yang menyukai orang yang kita sukai, sebab ia berhak membenci orang yang
kita sukai. Teman bukan orang yang harus selalu hadir ketika kita butuh, sebab
mereka bisa jadi sedang menghadapi masalah yang lebih berat. Teman tidak harus
selalu mengapresiasi kesuksesan kita—dengan ucapan selamat atau semacamnya, sebab
boleh jadi mereka sedang bergulat dengan urusan hidup mati mereka.
Teman bukan ia yang kita definisikan sesuai dengan kepentingan kita.