Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya. Untuk mendapat gambaran utuh, akan lebih baik jika anda membaca bagian pertama di sini.
***
WhatsApp barangkali makhluk yang sama sekali berbeda, sebab ia media komunikasi, meski begitu ia masih bisa kita katakan media sosial. Banyak basis grub yang bertempat di WhatsApp, dari grup sekolah, kuliah, komunitas, keluarga, pekerjaan. Jarang sekali orang yang tidak menggunakan WA, saya bukan termasuk golongan jarang itu. Sifat WhatsApp yang personal, membuat saya nyaman berbagi cerita di WA. Teman-teman saya juga sering berbagi cerita di situ.
Konten-konten
WhatsApp, sialnya, jarang berisi hal-hal penting, setidaknya penting menurut
saya. Dalam waktu lama saya kehilangan selera untuk melihat story WhatsApp.
Kadang, satu story yang sama diupload di tiga media sosial sekaligus: WA, FB,
IG. Terasa mubazir? Saya sering bertanya-tanya, apa masih ada orang yang punya
waktu untuk melihat story-story? Mengingat story itu jarang memiliki manfaat
untuk kita.
Setiap akan
bikin story, saya selalu memegang pikiran: apa pentingnya story ini untuk orang
lain? Dan seringkali jawabannya adalah tidak ada. Tidak penting sama sekali. Dalam
cara pandang yang sangat kasar dan merendahkan, saya juga sering menganggap
bahwa story orang lain tidak penting, atau jarang yang penting. Dan akhirnya
saya insaf. Bukankah seluruh hal-hal remeh akan tampak penting jika ia terjadi
pada orang-orang terdekat kita.
Jika ada orang
di belahan bumi lain yang tidak saya kenal sedang sakit gigi, tidak ada artinya
untuk saya. Jika kerabat tersandung dan mengeluh di story, mungkin akan sedikit
tampak penting, meski tersandung dan mengeluh blas ra penting. Yeah,
memang masih tampak sangat buang-buang waktu mengurusi keluhan tidak penting
seperti itu. Sebab saya berharap bertemu hal-hal yang cukup menarik. Dan sepertinya
itu harapan yang melangit.
Story kadang memang
tempat haha-hihi saja. Kenapa soal story saja saya mensyaratkan banyak
hal ndakik-ndakik? Karena kecenderungan pribadi, tentu saja.
Akhirnya,
karena tidak banyak hal menarik di story WhatsApp, maka saya harus membuatnya
menarik. Saya menjadikan strory sebagai arena pembelajaran bagi saya sendiri,
dengan dua cara. Pertama, membahagiai apa yang saya lihat di sana,
tentang kegiatan orang, tentang pencapaian orang, tenang prestasi orang. Itu bisa
menjadi ladang bersyukur: Melihat kawan-kawan dan orang-orang sudah melesat
mencapai banyak hal.
Sebagian
memiliki pendidikan yang bagus, sebagian memiliki pekerjaan bagus, sebagian
memiliki aktivitas sosial. Semuanya membahagiakan: Wah, saya dikelilingi orang
hebat. Beberapa kawan juga sering berbagi semua hal tentang dirinya, hingga
saya bisa tahu perjalanan demi perjalanan yang ia tapaki. Nyaris secara
harfiah, saya melihat bagaimana perkembangan orang-orang.
Jujur saja,
pada awalnya, membahagiai pencapaian orang lain bukan perkara mudah. Bisa saja
ada sifat iri yang bersemayam dalam diri saya, bisa saja ada sifat dengki yang
bisa keluar kapan saja. Dua sifat ini hanya perlu dipantik sedikit saja untuk
keluar dari sarangnya. Terutama melihat story atau posting kawan-kawan di media
sosial. Bisa jadi prestasi orang lain adalah derita saya, seolah orang lain
melalui prestasinya telah mencurangi saya.
Sebenarnya,
pencapaian yang dulu sering saya iri adalah jika ada kawan yang lebih rajin
belajar dari pada saya. Ia adalah sumber penderitaan tak terkira. Seharusnya
saya paling rajin, dan, sebagai konsekuensinya, seharusnya saya paling pandai.
Lihat, betapa mental pecundang ini pernah mendekam—sejak kecil, hingga ia tidak
mudah dikeluarkan. Sekarang, jika ada kawan pandai, saya senang, sebab saya
bisa belajar kepadanya.
Memiliki kawan
pandai bukan persoalan mudah, eh. Seharusnya saya senang. Baiklah, tentu ada
jenis story yang tidak mudah disifati bahagia, ialah story sombong. Jujur saja,
hingga sekarang saya masih berjuang berdamai dengan posting semacam ini. Yang
saya sebut sombong bukan sikap jumawa an sich, tetapi pamer pencapaian
tanpa sikap elegan sambil merendahkan orang lain.
Pamer
pencapaian itu bagi saya hal lumrah. Tetapi jika disampaikan sambil merendahkan
orang lain, sepertinya cukup layak dimaki.
Kedua, dan ini yang paling saya suka: Belajar
memahami orang lebih dekat, melalui story mereka. Memang tidak patut menjadikan
story orang lain sebagai pintu untuk memahami mereka, sebagian kawan saya
berpendapat bahwa jangan menilai orang dari storynya, mengetahui karakter
seseorang tidak bisa hanya melalui story. Memang benar, tetapi bagi saya hal
tersebut tidak benar-benar amat. Kita sedikit bisa memahami orang lain dari
story mereka.
Apa yang orang
bagikan di story, adalah sesuatu yang mereka anggap penting. Misalnya, jika
seseorang menyukai musik, kemungkinan ia akan membagikan aktivitasnya terkait
musik. Kawan saya sering bikin story tenang semua alat musik. Ingat premis di
bagian awal tulisan ini? apa yang dibagikan orang adalah apa yang mereka anggap
penting. Dan dari sana kita memiliki satu puzzle tentang orang itu. Jika ia
sering meributkan satu isu tertentu, maka kita bisa tahu kecenderungan orang
tersebut.
Ia sering
berbagi isu feminis, misalnya, maka kita bisa menebak, bahwa ia mungkin sedang
mengusung ide-ide feminis. Jika ia sering membagikan tulisan, barangkali ia
seorang yang suka dengan literasi. Ia sering berbagai ceramah ustaz, barangkali
ia orang yang berusaha menebar kebenaran agama yang paling benar menurutnya. Ia
sering berbagai bacaan Alquran, barangkali ia seorang yang menaruh respek
tinggi terhadap kitab sucinya. Ia sering berbagai foto makanan, barangkali ia
memang menaruh perhatian terhadap kuliner.
Ia sering
berbagai hal-hal yang tidak penting? Barangkali ia memang menaruh perhatian
pada hal-hal tidak penting. Seseorang pernah berkata, jika kita ingin tahu
apakah sesuatu penting atau tidak, lihat siapa yang meributkan, jika orang
biasa, barangkali ia memang isu murahan yang dibesar-besarkan. Yah, jika
seseorang sering berbagi hal tidak penting, barangkali itulah yang ia anggap
penting, ialah sesuatu yang tidak penting.
Tetapi hal ini sedikit triki juga, kadang kawan yang sangat pintar sering berbagi hal-hal remeh, sebab ia tidak ingin tampak serius. Kadang belajar mengenal orang dari story memang susah.
Terlepas dari
itu, saya percaya, sesuatu yang dibagikan orang selalu berjangkar pada
kepentingan pribadinya. Jika seseorang bercerita bahwa kawannya pindah ke
tempat yang jauh dan orang tersebut merasa sedih, itu karena ia akan terpisah
dengan kawan tersebut, itu karena ia tidak akan memiliki kawan dekat untuk main
bareng; itu karena kepergian kawan tersebut tidak sesuai dengan kepentingan
pribadinya. Semua hal di dunia ini yang dibagikan orang adalah perpanjangan
dari kepentingan pribadinya.
Saya mungkin tidak
bisa dengan tepat memahami seseorang melalui story mereka, tetapi bagaimana
jika kita berhadapan dengan orang yang memiliki alat analisis yang canggih.
Misalnya, ia paham struktur bahasa sebagai alat ekspresi, ia paham psikologi,
ia pahami mimik, dan ia sering melihat story kita, dan ia sering “bersentuhan
kulit” dengan kita dalam kehidupan sehari-hari—setidaknya selama beberapa
tahun. Tidakkah setiap story kita yang ia lihat akan menjadi keping-keping data
untuk menilai kita?
Orang jenis ini
mungkin tidak bisa memahami kita secara langsung. Tetapi bagaimana jika ia
memperhatikan gerak story kita dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke
tahun, ditambah interaksi langsung dengan kita? Ia bisa saja dengan enteng
mengukur kadar sombong kita, kadar angkuh kita, kadar egois kita, kadar naif
kita, dan kadar-kadar lain.