Satu orang kawan tertawa, satu lainnya memilih diam, ketika saya mengajukan
pertanyaan yang mungkin mereka anggap konyol tetapi benar-benar saya cari tahu
jawabannya: Apakah manusia bisa
tidak
jatuh cinta?
Sepanjang sejarah
manusia, cinta berpotensi menjadi hal yang paling menyita perhatian. Yang saya
maksud di sini tentu cinta romantis, anda tahu, hubungan spesial antar lawan
jenis. Pertanyaan di atas saya ajukan karena, well, saya malas jatuh cinta. Tetapi
sebagai manusia normal, tentu saja saya jatuh cinta. Cinta mengganggu
aktivitas, dan menyita banyak pikiran. Pengalaman dengan wanita juga menyedihkan.
Sebegitu menyedihkan,
hingga saya berpikir untuk tidak jatuh cinta.
Lalu dengan sedikit
usaha di sela-sela waktu luang, saya berusaha mencari jawaban dari pertanyaan
yang mungkin naif itu. Saya menganggapnya sebagai rute pembelajaran tersendiri,
karena begitu banyak perspektif yang saya dapat, meski saya belum menemukan
apakah seseorang benar-benar bisa tidak jatuh cinta. Saya gatal menulis
bagian-bagian penting dari apa yang telah saya pelajari. Karena itu, mungkin
ini akan menjadi catatan berseri, seiring dengan data-data baru yang saya
temukan.
Sebagai pencarian
jawaban pasti, pintu masuk yang paling memuaskan tentu saja adalah perspektif
sains. Apa yang sains katakan tentang cinta? Banyak. Saya masih harus
mengumpulkan data lebih banyak lagi untuk mengetahui keping demi keping hingga
menjadi sesuatu yang lebih utuh.
Sementara, saya akan
menulis tentang apa yang dikatakan filsafat, dan para filosof, tentang cinta. Pendapat
dalam rumpun keilmuan ini tidak kalah menarik.
Membuat seorang
melayang gembira sekaligus meremuk-redamkan pikiran, itulah cinta. Para filosof
tidak memiliki perbedaan pendapat soal ini. Sebagaimana khas para pemikir,
pertanyaan soal cinta bertolak dari kegelisahan menarik. Apakah cinta membuat
kehidupan lebih bermakna atau hanya pelarian dari kesendirian? Apakah cinta
hanya kedok dari hasrat seksual manusia, atau jebakan biologis untuk membuat
manusia berkembang biak? Apakah manusia benar-benar membutuhkan cinta?
Menurut Plato,
manusia mencintai untuk menjadi sempurna. Plato banyak menerima kisah
Aristofanes, penulis drama komedi. Suatu malam mereka bertemu dan si tukang
cerita bertutur pada Pak Filsuf tentang kisah cinta. Mula-mula, manusia
bertangan empat, berkaki empat, dan berkepala dua. Lalu makhluk ini membuat
Zeus murka dan ia membelah makhluk ini menjadi dua bagian—manusia dengan wujudnya
sekarang.
Manusia berubah
bertangan dua, dua kaki, satu kepala. Sejak itu, manusia kehilangan separuh
dirinya. Dalam karya-karyanya, Plato memang sering mengartikulasikan
filsafatnya dengan bentuk tokoh-tokoh yang bercakap-cakap, atau dengan
kisah-kisah. Ia memang tidak mengatakan dengan eksplisit bahwa kisah yang ia
dengar dari Aristofanes itu fiksi atau tidak. Tetapi banyak para penafsir Plato
yang berpendapat, dari kisah di atas, Plato ingin mengatakan bahwa cinta adalah
obsesi manusia untuk mencari belahan jiwa yang bisa membuat seseorang utuh
kembali.
Kontras dengan Plato,
Arthur Schopenhauer mengatakan, cinta mengelabuhi manusia untuk beranak-pinak. Cinta
yang didasarkan hasrat seksual adalah ilusi gairah, katanya. Kita mencintai
tidak lebih karena hasrat memacu kita percaya bahwa orang tersebut akan membuat
kita bahagia, dan tentu saja kita sangat keliru. Hukum alam telah menjebak para
manusia untuk berkembang biak dan perpaduan cinta yang kita cari terwujud dalam
anak. Ketika kebutuhan seksual kita selesai, kita dapat kembali terlempar dalam
perasaan sengsara. Manusia telah berhasil meneruskan satu generasi lagi untuk
meneruskan siklus hidup keras.
Pendapat Pak
Schopenhauer mengandaikan bahwa kita kalah dengan hukum alam, cinta hanya
kebutuhan seksual yang bersembunyi dibalik jubah cinta. Dan cinta, pada
perspektif ini, terampau licik hingga mampu menutup keburukan pasangan, yang
kelak akan disadari jauh setelah perasaan cinta menggebu menurun.
Jadi, apakah cinta
hanya soal hasrat seksual? Well, bagi Bertrand Russell, aspek penting lain
adalah wilayah psikologis. Pemenang hadiah nobel ini menyatakan manusia
dirancang untuk berkembang biak, namun tanpa cinta yang bergairah—nuansa psikologis—seks
sama sekali monoton. Pada dasarnya, manusia takut akan dunia yang dingin dan
kejam, hingga perasaan ini mendesak bawah sadar untuk membangun kesenangan diri. Kesenangan
cinta mampu membuat kita lupa tentang ketakutan dunia, lepas dari cangkang
kesepian, dan lebih terlibat dalam kehidupan luas.
Mungkin kita mencintai memang karena kebutuhan hasrat mendasar, sebagaimana menrut Siddarta Gautama. Tetapi, kita tahu, bagi sang Buddha, hasrat adalah kekurangan, ketergantungan. Dan cinta romantis termasuk sumber utama penderitaan. Lalu kita mengenal konsep Buddha tentang jalan kebenaran terbebas dari ketergantungan, dan mencapai Nirwana, kondisi penuh ketenangan.
Saya pikir,
kesimpulan dari pendapat Buddha adalah ketergantungan merupakan jangkar dari
tragedi. Dan jangkar yang paling dalam serta menenggelamkan apapun yang
ditariknya, adalah cinta.
Beberapa tokoh di atas, saya kira telah mengungkap bahwa cinta cukup berbahaya. Tetapi, sebagai pungkasan, menarik untuk melihat apa yang dikatakan Simon de Beauvior, pasangan Jean Paul Sartre. Beauvior mengatakan cinta adalah hasrat untuk bersatu dengan yang lain dan sarana masuk pada hidup yang lebih bermakna.
Persoalan yang dijawab
filsuf wanita ini adalah, bagaimana kita dapat mencintai dengan lebih baik? Baginya
cinta telah menjebak banyak orang karena kita tergoda menjadikan cinta alasan
tunggal eksistensi kita. Hal ini berbahaya karena ketika eksistensi digantungkan
pada cinta, perasaan bosan nyaris merusak segalanya.
Karena itu, Beauvior
menyarankan cinta apa adanya, mirip seperti persahabatan erat. Pasangan saling
menopang dalam pencarian diri, dan memperkaya hidup bersama. Beauvior mungkin
contoh paling pas dari cinta “liberal”: ia tidak mau membawa cintanya pada
jenjang pernikahan dengan Sartre—kekasih yang sama-sama filsuf Prancis, bahkan
keduanya telah sepakat boleh memiliki kekasih lain, selama keduanya saling
jujur.
Tidak mudah menarik
benang merah tentang apa yang dikatakan filsafat tentang cinta. Tetapi setidaknya,
pendapat di atas telah mewakili banyak hal tentang cinta romantis: belahan jiwa,
kebutuhan biologis, dan...ketergantungan, mungkin?
Filsafat memang tidak menjawab pertanyaan saya, dan saya masih pesimis manusia bisa terbebas dari cinta romantis. Namun motif-motif di atas telah membuat tilikan menarik. Selebihnya, cinta masih serupa meluncur dari plosotan tinggi wahana air: menakutkan, menyenangkan; membuat kita kehilangan diri, atau menemukan diri.