Jumat, 10 September 2021

Deadline Rontok

 Setelah merasa tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal duniawi, akhirnya saya dapat duduk untuk melakukan sesuatu yang saya anggap penting tetapi belakangan terbengkalai: Menulis blog.

 

24 jam yang diberikan semesta selalu menjerat kepala. Putaran jarum jam terasa mematikan saraf-saraf ketenangan. Semua aktifitas kejar-kejaran ini berjangkar pada satu kata: Deadline. Lebih tepatnya deadline tulisan. Tidak jauh dari aktifitas menulis, sebenarnya, tetapi beberapa deadline akhir-akhir ini sering jatuh tempo pada waktu yang sama, dan, karena itu, harus dirampungkan entah bagaimana caranya. 

 

Saya sedang mengedit buku, menulis jurnal, menulis laporan penelitian lapangan, dan menulis tugas kuliah. 

 

Naskah buku yang saya edit sebenarnya telah saya terima sekitar bulan Maret 2020. Ketika itu, naskah ini antre pada pekerjaan lain, yakni puluhan naskah jurnal fakultas yang juga harus diedit, dan skripsi saya, dan skripsi orang lain—orang dekat saya. 

 

Setelah antrean naskah buku tersebut akhirnya tiba, saya mulai membaca naskah tersebut, dan, seketika, kehilangan selera! Naskah itu bisa dikatakan jenis naskah yang saya hindari: Tulisan ilmiah tentang satu disiplin keilmuan agama tetapi penuh kalimat-kalimat khotbah, dan saya membenci kalimat-kalimat khotbah. Dan naskah itu berjumlah 250-an halaman. 

 

Saya tidak membayangkan siksaan macam apa itu... tetapi naskah ini sudah saya terima karena kenal dekat dengan penulisnya—saya pakewuh untuk menolak. Di satu sisi, saya mengira naskah itu beres dari masalah-masalah elementer. “Ini naskah sepuluh tahun lalu,” kata dosen saya. Seharusnya saya lebih cermat, kata sepuluh tahun tentu tidak masalah jika ditulis dengan baik, tetapi rupaya saya tidak hati-hati pada kalimat lain yang ia ucapkan, “karena itu, bahasa naskah ini bahasa lawas.”

 

Karena kehilangan selera mengedit naskah itu, saya memilih untuk mengerjakan tulisan-tulisan lain. Sebagai sumber sampingan untuk dapat uang “jajan”, bergelut dengan deadline lain yang lebih mudah, dan lebih menjanjikan uang, sudah pasti menarik minat saya. Dan itulah yang terjadi, saya menyanggupi pekerjaan naskah lain. Tetapi selang beberapa waktu, di tangan saya tumbuh ganglion, bahkan waktu itu saya tidak tahu bahwa benjolan itu bernama ganglion.

 

Ganglion ini hanya menimbulkan kekhawatiran di kepala dan menyita nyaris separuh energi tangan kiri—hingga sekarang. Karenanya saya memilih istirahat—persetan dengan deadline.

 

Ketika ganglion sudah mulai membaik, saya memutuskan belajar Bahasa Inggris, untuk pertama kali secara formal dan serius. Maka nasib naskah buku makin terbengkalai. Bulan demi bulan berlalu, dan naskah buku masih tetap di sana, diam tenang tanpa disentuh. Saya masih kesulitan untuk mengubah kalimat-kalimatnya menjadi lebih patut dibaca dan dinikmati.

 

Bulan demi bulan masih berlalu, hingga bulan Juni kemarin, dosen saya yang lain menghubungi, bahwa ada proyek penelitian yang lolos, di mana saya dulu yang menulis proposalnya. “Kamu harus ikut, ya.” Tulis dosen saya di WhatsApp. Saya tertegun. Bahkan saya telah lupa—nyaris benar-benar lupa—pernah menulis proposal tersebut. 

 

Dan saya menyanggupi. Saya tidak punya pilihan, dulu telah terlanjut janji bahwa jika proposal ini lolos, saya sanggup menulis laporan utuhnya. Namun proposal itu telah “mati” sejak 2019 lalu, kemudian ia tiba-tiba hidup—seperti hidup untuk menagih janji saya. 

 

“Saya bisa, tetapi saya masih harus belajar Bahasa Inggris lanjutan,” kata saya. Bu dosen menjawab tidak masalah, sebab deadline naskah masih September 2021. Ada tiga bulan.

 

Setelah studi saya sedikit selesai, ada masalah lain, saya demam. Semua deadline harus ditinggal, nyaris selama 20-an hari. Maka deadline itu makin menghantui. Betapa berartinya 20 hari jika digunakan untuk urus deadline. 

 

Akhir Agustus saya benar-benar berkejaran dengan banyak deadline. Terutama buku dan naskah laporan riset. Naskah buku benar-benar menyiksa pikiran saya, naskah laporan juga menyiksa pikiran saya. jika yang pertama karena masalah bahasa, maka yang kedua lebih pada soal konten: Data utama hanya dua lembar, saya harus mengolah untuk setidaknya menjadi 100-an halaman!

 

Maka saya stress.

 

Belum berhenti di situ, bulan September menjadi bulan di mana kuliah magister saya mulai aktif. Ada lima matakuliah dengan masing-masing dosen memberi dua tugas makalah, satu jurnal, dan artikel-artikel pendek. Sialan! Kuliah macama apa ini, pikir saya.Tidak lama sesuatu yang saya khawatirkan tiba: Saya mendapat tugas makalah di tanggal yang sama untuk deadline buku dan laporan riset. 

 

Maka saya makin stress. 

 

Sebenarnya, banyak gangguan-gangguan lain saat menulis. Saya yang masih berada di pesantren, sambil bertugas menjadi sopir kyai, tidak tenang dari “gangguan-gangguan” yang membuat deadline molor. Tentu saya juga harus mengakui ada faktor diri yang berperan, malas dan menunda. Dan sakit. Ketiganya saling melengkapi, mengerucut pada stress. Sekarang saya sudah tidak di pesantren.

 

Ketika deadline itu benar-benar menjerit, saya tidak melakukan aktifitas lain kecuali menulis, mencari data, mengedit, dan seterusnya, dan sebagainya, dan semacamnya. Pernah satu hari, dari jam lima pagi, hingga jam sepuluh malam, tidak ada aktifitas lain kecuali duduk di depan laptop. Hari itu, ketika hendak tidur, saya baru menyadari kaki saya bengkak, mungkin darah tidak mengalir sebagaimana biasa hingga menumpuk di kaki. 

 

Ketika menyadari itu... saya menangis.

 

Ya, saya menangis. Baru pertama kali, sejak sekian lama—saya yang telah terbiasa hidup di bawah tekanan deadline bertubi-tubi—saya kembali menangis gara-gara deadline.

 

Atmosfer rumah menjadi faktor penting. Ibu dengan sabar memenuhi apa yang saya butuhkan. Ia membuat wedang jahe, membuat camilan, mengantar makanan ke kamar, dan melalukan apa-apa yang saya butuhkan. Saya yakin, ia ingin barang beberapa menit bercakap-cakap dengan saya, sebaliknya, saya juga ingin bercakap-cakap dengan Ibu. Selain itu, pekerjaan rumah yang harusnya saya bantu, seperti menemani anak-anak belajar, terpaksa harus saya tinggal.

 

Semua itu berbenturan dengan pikiran saya: Kenapa kuliah harus memberikan tugas dibawah tekanan akademik? Apa itu membuat mahasiswa gemar belajar? Dan menjadikan mereka pembelajar? Saya pikir tidak. Alih-alih, mereka mungkin stress sebagaimana yang saya rasakan. Tentu mereka ini merujuk pada orang-orang yang benar-benar serius dalam menulis makalah tugas. 

 

Pikiran itu membawa saya pada lamunan lain: Ironi, kalau dipikir-pikir, mahasiswa membayar mahal hanya untuk menerima tugas akademik yang sedemikian melilit. Saya paham, ini masih terkait dengan birokrasi pemerintah soal akreditasi, tetapi itu pembahasan lain nanti.

 

Poin yang ingin saya garis bawahi: Mahasiswa membayar mahal hanya untuk menerima tugas akademik yang sedemikian melilit. Bahkan satu kawan saya memilih mundur. Dua kawan saya mengaku menangis setelah presentasi. Karena itu, sebegitu penting poin sebelumnya hingga saya ingin mengulanginya lagi dengan cetakan tebal: Mahasiswa membayar mahal hanya untuk menerima tugas akademik yang sedemikian melilit pikiran dan memberikan beban.

 

Itulah mengapa saya menangis. Antara deadline yang datang bertubi-tubi dan kebijakan kampus yang... entahlah.

 

Catatan:

 

Tulisan ini saya tulis dengan sangat buru-buru, sekitar 30-40 menit. Bagi pembaca yang biasa mampir, mohon dimaklumi jika ada salah ketik yang fatal. Catatan ini saya tulis pada tanggal 27 September 2021, tetapi saya post pada 10 September. Saya berharap catatan berikutnya bisa saya post di bulan September hingga di bulan ini ada beberapa tulisan—sebagaimana biasa.