Perasaan bisa melakukan apapun sendirian akan luntur ketika sakit. Nasihat menjaga kesehatan pun tidak lagi terasa cemen.
Saya demam. Tubuh melemah dan mengganggu banyak aktivitas. Demam itu makin parah sebab saya tidak mungkin merepotkan orang lain: Semua aktivitas seperti masak dan mencuci masih saya tangani sendiri. Membeli obat dan sesekali makan di luar juga saya lakukan sendiri. Jika ada kebutuhan lain juga masih saya tangani sendiri.
Seminggu sebelum demam, saya telah divaksin Covid-19, karena itu kecil kemungkinan demam ini adalah efek vaksinasi. Saya curiga apakah saya telah terinfeksi Covid-19. Tetapi saya tidak melakukan kontak dengan siapapun. Kawan-kawan yang saya temui setelah vaksin—segelintir kawan, maksud saya—masih sehat-sehat saja. Jika saya membawa virus ketika bertemu, seharusnya kawan-kawan saya sudah sakit pula.
Bahkan orang yang berada satu atap dengan saya, hingga ketika tulisan ini saya susun, masih sehat-sehat saja. Padahal ia tidak berusaha menjaga jarak dengan saya, bahkan ia ikut makan masakan saya.
Masih ada kemungkinan terakhir: jika pun saya terinfeksi virus dan kawan-kawan masih sehat, mungkin mereka termasuk OTG (orang tanpa gejala). Tetapi fakta bahwa ada juga bapak dan ibu kos yang kontak erat dengan saya selama masa seminggu sebelum demam itu, dan masih sehat-sehat saya hingga sekarang, juga membingungkan. Bahkan salah satu kawan yang saya temui termasuk penderita penyakit yang tidak ringan. Dan ia baik-baik saja.
Rangkaian orang-orang itu, apalagi yang sekarang satu atap dan masih sehat, membuat saya tidak bisa menyimpulkan apakah saya terinfeksi Covid-19 atau tidak.
Apapun itu, demam kali ini adalah demam yang tidak biasa seperti demam yang sudah-sudah. Atmosfer pandemi membuat ia makin dramatis. Apalagi demam ini benar-benar mempermainkan saya. Satu hari tubuh menggigil, satu hari kemudian tubuh sehat seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu demam lagi, dan sembuh lagi. Benar-benar tidak stabil.
Pikiran makin terpecah ketika Ibu nelpon untuk satu keperluan dan mendapati suara saya berat. Seketika Ibu tahu saya sakit. Ketika saya mengabari bahwa sedang demam, ia langsung bersiap-siap untuk menjemput saya. Belum saatnya kembali kerumah, pikir saya. Ada rencana lain yang harus berjalan semestinya.
Dan ketika terbaring mendapati badan menggigil, rumah menjadi utopia surga.
Memang hanya demam, tetapi ia tetap saja demam. Bagian tubuh saya seperti diseduh bara api, sedangkan lapisan kulit bagian luar mudah saja merasa kedinginan oleh udara. Puncaknya ketika dini hari, semua elemen-elemen itu makin menjadi-jadi. Bahkan ketika keringat bercucuran dibalik selimut jaket, udara masih terasa menggigit. Dan suara sirine ambulan yang berbunyi hampir tiap jam bahkan ketika dini hari, membuat pikiran saya memaki, “Brengsek!”
Ketika pagi hari setelah melewati perang itu, tubuh saya seperti sedikit normal. Inilah yang membuat malam hari terasa menakutkan. Dan demam yang tiba-tiba datang itu membuat pikiran tidak stabil. Betapapun demam ini mengerikan di malam hari, ia hanya menggurat satu kesimpulan mutlak: Saya tak bisa hidup sendiri, dan nasihat menjaga kesehatan tidak pernah menjadi remeh.
So, jagalah kesehatan, sebaik dan semampu anda.