Archie Cochrane, bapak epidemologi klinis modern asal Skotlandia, mengenalkan istilah menarik: The God Complex, ialah suatu gangguan yang, hari-hari ini, menjangkit banyak manusia, dengan gejala yang mudah saja dilihat: Tidak peduli serumit apa sebuah persoalan yang sedang hadapi, orang bersangkutan yakin bahwa solusi miliknya benar. Dengan kata lain, penderita God Complex minim toleransi untuk bersikap rendah hati mempertanyakan pengetahuan yang ia miliki.
Ia merasa selalu benar. Seperti Tuhan, tetapi jelas tuhan tanpa sifat maha benar.
Saya bersyukur mengenal secuil pikiran Cochrane, sebab ia memudahkan saya untuk lebih menyadari kelainan yang ternyata telah saya derita lama sekali. Lebih dari itu, kemungkinan besar God Complex akan meimbulkan banyak implikasi sifat egoistis jika tidak disadari. Terutama melihat masalah yang timbul di sekitar sebagai masalah yang timbul dari pihak luar.
Ada cerita sangat populer—kebetulan masih seputar dunia medis—yang terjadi pada abad ke-18. Para wanita Eropa, beberapa hari setelah melahirkan, meninggal karena demam, sakit perut, dan lemas. Kian hari jumlah kasus semakin meningkat. Puerperal Fever, atau demam nifas, adalah sebutan sejarah untuk wabah ini.
Kenaikan jumlah korban mendorong pada ilmuan dan dokter untuk meneliti apa sebenarnya yang terjadi. Mereka melakukan otopsi terhadap jenazah para wanita. Sementara penelitian berlanjut, kasus kematian wanita makin meningkat, dan menunjukkan efek baru, yakni infeksi saluran kemih, saluran pernapasan, serta infeksi payudara. Para dokter mendapat tambahan teka-teki akibat efek-efek baru tersebut.
Baru pada 1840-an, dokter Ignaz Semmelweis menyadari apa yang terjadi, ia mengembangkan teori infeksi. Jadi, kebiasaan dokter masa itu, tidak mencuci tangan dan alat medis ketika selesai melakukan otopsi jenazah, sehingga terdapat berbagai jenis bakteri. Padahal, tangan dan alat medis yang tidak steril itu, juga digunakan untuk menangani pasien melahirkan. Sehingga ada perpindahan bakteri.
Para ibu yang melahirkan terinfeksi, lalu meninggal beberapa hari kemudian, dan beberapa jenazah di antara mereka diotopsi, lalu tangan dan alat otopsi—yang tidak dicuci—melakukan kontak dengan pasien melahirkan berikutnya. Begitu terus selama satu abad. Itulah yang dilihat dokter Sem.
Kira-kira doker Sem mengatakan pada para tim medis: kalianlah sumber masalahnya.
Tapi apa yang dikatakan dokter Sem menyalahi anggapan umum, hingga apa yang ia katakan hanya menjadi bahan cibiran para dokter lain. Kuman masih asing di kalangan medis ketika itu. Namun dokter Sem berhasil mendesak para medis untuk mencuci tangan berikut peralatan dengan kapur diklorinasi, cikal bakal dari cairan yang hari ini kita sebut dengan disinfektan.
Perubahan terjadi, angka kematian pasca melahirkan turun, lalu keadaan membaik dari hari ke hari. Jadi dokter mulai percaya pada teori infeksi. Hari-hari berlanjut dan sterilisasi semakin di perbaiki. Kematian ibu melahirkan pun dapat diatasi.
Namun masalah yang tampak sepele itu perlu satu abad untuk disadari. Bayangkan, satu abad! Salah satu pemicunya, menurut saya, adalah God Complex itu tadi, para dokter yakin bahwa masalah terjadi akibat sesuatu di luar diri mereka, alih-alih melihat dengan rendah hati kemungkinan lain yang bisa jadi bersumber dari mereka sendiri. Apa yang terjadi sebenarnya perbudakan oleh asumsi, dan egosime. Beberapa ahli sering mengidap God Complex. Yang mengerikan bukan saja sikap God Complex, tetapi implikasinya.
Archie Cochrane seorang dokter hebat, ia mengatakan bahwa banyak para kolega dokternya mengidap God Complex. Kalau kita mau jujur, di sekitar kita juga banyak pengidap God Complex, bahkan mungkin termasuk kita sendiri.
Tentu saja God Complex adalah perpanjangan nasihat-nasihat yang lebih purba dalam khazanah filsafat atau agama. Tetapi God Complex bungkusan menarik sebab orang-orang disintil dengan personifikasi Tuhan, dzat yang pada abad lampau pusat dari segala pusat. Dengan kata lain, ia semacam olok-olok pada manusia yang mempersonifikasi diri dengan Tuhan.
Apa yang dapat kita pelajari dari nilai-nilai positif dari God Complex juga sebenarnya tidak terlalu baru: ialah kesediaan diri mempertanyakan asumsi kita, dan melihat masalah tanpa melibatkan orang luar sebagai kambing hitam. Meski tampak sederhana, bagi saya hal tersebut adalah pijakan nilai untuk bersikap ilmiah pada semua kesempatan.
Menggeser asumsi tidak kurang mengubah makna dunia itu sendiri.
Ketika baru lulus kuliah, saya tinggal di rumah cukup lama. Ternyata tinggal di rumah tidak sesederhana itu, pasti karena saya telah dimanjakan lingkungan tanah rantau selama kuliah. Juga pikiran-pikiran saya tentang keluarga toxic. Di internet baru-baru ini pembahasan keluarga toxic cukup populer. Asumsinya sederhana, terdapat beberapa tindakan keluarga yang kontra-produktif terhadap perkembangan kita, sebagai anggota keluarga, atau sebagai anak orang tua.
Anda tahu, saya yang memang sedikit memiliki hasrat menyalahkan orang tua terhadap beberapa hal yang terjadi pada hidup saya, dan pembahasan mengenai keluarga toxic benar-benar dapat menjadi pijakan bagi hasrat saya. Asumsi itu bertahan dari awal kuliah hingga saya lulus kuliah. Implikasinya mengerikan, saya mudah tersinggung ketika orang tua dan saudara melakukan hal-hal yang mengganggu saya. jadilah pikiran ini menarik kesimpulan yang bukan bukan:
Jika orang tua mau menuruti keinginan untuk belajar di pesantren besar waktu zaman mondok, pastilah aku terhindar dari lingkungan pengabdian ndalem, pikir saya. Jika orang tua mau membiayai kuliahku secara mandiri, pastilah aku dapat belajar lebih tenang dan leluasa, tanpa gangguan. Daftar penyalahan itu kian hari kian panjang, dan menjadikan kehidupan di rumah saya serupa uap panas: ia bikin gerah. Saya tidak betah di rumah.
Kebiasaan saya yang kesulitan berinteraksi sosial malah makin membuat pengap perasaan. Anda tahu, desa adalah tempat di mana orang-orang harus melakukan banyak interaksi sosial sebagai adat sopan santun. Saya seringkali kesulitan. Bahkan ketika ada hajatan keluarga dekat, saya tidak hadir. Karena meresapi kesulitan berinteraksi sosial, alih-alih mau membuka diri untuk mencoba. Jadilah saya makin tidak betah di rumah.
Saya mengidap God Complex. Saya tidak pernah berpikir apakah asumsi saya benar, apakah keluarga toxic harus saya alamatkan kepada keluarga saya? Perlukah saya menutup diri pada lingkungan karena keteguhan kepribadian, bahkan pada saat-saat sakral seperti hajatan keluarga? Perlukan saya menuntut disediakan waktu full menulis tanpa membantu keluarga?
Endapan itu menghasilkan jawaban pasti: sayalah masalahnya, atau lebih tepatnya, asumsi-asumsi yang saya pikir benar itulah sumber segala sumber.
Jadi saya menggeser asumsi saya dan melihat sisi lain dari apa yang terjadi. Bahwa ibu saya sakit-sakitan dan perlu biaya untuk bertahan hidup, dari pada biaya pesantren besar idaman saya; bahwa ibu saya telah berusaha mengerti saya dan membesarkan saya sebaik yang ia bisa; bahwa seluruh anggota keluarga telah bersikap baik sepanjang saya mengenal mereka; bahwa lingkungan sosial saya tidak semengerikan seperti apa yang saya kira.
Penggeseran asumsi itu telah merubah dunia saya itu sendiri. Berangsur-angsur saya memiliki pola komunikasi yang baik dengan orang tua. Bahwa bahan percakapan kami klise, mungkin iya, tetapi apa yang saya harapkan? Percakapan seperti ruang seminar? Keluarga dan lingkungan sosial ternyata juga baik. Bahwa ada sisi buruk, tentu, tetapi hanya dalam skala kecil, ternyata.
Skala buruk yang akan kita temui di tempat lain juga.
Jadi saya menjadi betah di rumah. Sekarang saya berada jauh dari rumah dan merindukan kehidupan rumah. Mungkin kelak saya memiliki kehidupan di luar rumah, namun barangkali itu bukan lagi bertolak akibat keluarga toxic.
Pengidap God Complex sungguh berbahaya, ia dapat membunuh banyak orang seperti kisah penyakit di atas, juga memicu anggapan buruk konyol yang tidak perlu seperti kasus saya.