Sabtu, 19 Juni 2021

Persoalan di Jalan

 Kesalahan yang dimaklumi menimbulkan rentetan keburukan panjang—mungkin sepanjang jalan. Sopir angkot kita terbiasa ngetem di pinggir jalan, atau tiba-tiba menepi mendadak hingga membuat kendaraan di belakangnya kelabakan. Sopir-sopir angkutan umum di Indonesia, seperti yang telah saya dengar sendiri dari cukup banyak sopir, menganggap hal tersebut biasa, dan sopir-sopir itu menganggap orang lain memaklumi kebiasaan mereka.

 

Memang banyak orang memaklumi, sambil mengumpat-ngumpat ketika kebetulan mereka terkena imbas kelakuan para sopir sembrono dan pemakluman seperti ini, seperti yang saya bilang tadi, berimbas pada banyak hal. Kita tahu, di jalan raya, terdapat seribu satu kemungkinan kecelakaan dan berbuat sembrono di jalan raya, berpotensi buruk tidak hanya kepada kita, tetapi juga pada orang lain.

 

Kita cenderung kurang bisa menoleransi tindakan buruk seseorang yang membahayakan orang lain. Misalnya, sopir angkutan umum yang sembrono itu tadi. Banyak orang memiliki pengalaman buruk dengan sopir angkutan umum, termasuk saya, dan mungkin juga anda. 

 

Baru-baru ini, saya melakukan perjalanan ke suatu daerah menggunakan motor. Saya melintasi jalan arteri (jalan besar) yang memiliki dua lajur dalam satu jalur. Barangkali ada yang belum paham, dua lajur dalam satu jalur itu sama dengan jalan tol: ada dua lajur pada arah di mana kendaraan kita melaju, dan dua lajur di arah sebaliknya. 

 

Jadi, di jalan arteri itu, saya menggunakan lajur kiri, sebab lajur kanan biasanya digunakan oleh kendaraan besar, atau digunakan untuk menyusul kendaraan lain. Saya geber motor di kecepatan sekitar 80 KM/H. Karena jalanan cukup sepi, saya sedikit menambah kecepatan. Kendaraan saya pun melaju lebih kencang dan menyusul beberapa kendaraan lain. Saya menyusul kendaraan lain dengan hati-hati.

 

Lalu, tidak lama kemudian, beberapa puluh meter di depan saya, sebuah angkot tiba-tiba menepi mendadak. Saya dan angkot itu sama-sama berada di lajur kiri, tetapi angkot itu berposisi sedikit menengah. Si sopir melihat ibu-ibu sedang berjalan kaki, dan, saya yakin, si sopir menepi mendadak untuk menawari si ibu untuk naik angkot. Tentu saja, ketika menepi mendadak, si sopir menginjak rem mendadak juga, sedangkan saya hanya beberapa puluh meter di belakangnya. Karena berada sedikit di tengah, maka angkot ini serupa memotong jalan. 

 

Pada kondisi seperti itu, saya spontan menekan rem depan-belakang kuat-kuat, tetapi angkot itu terlalu dekat. Maka tidak ada jalan lain kecuali berusaha pindah ke lajur kanan. Dan itulah yang saya lakukan. Karena terlalu kuat menekan rem, saya mendengar bunyi ban belakang berdecit, jika rem ditekan lebih lama, saya yakin akan kehilangan keseimbangan, maka saya mengendorkan rem dan berusaha banting setir tanpa jatuh. 

 

Angkot yang menikung dan usaha saya untuk menghindar hanya terjadi beberapa detik. Sangat cepat. Tetapi karena jarak angkot itu terlalu dekat, usaha saya sia-sia, maka terjadilah sesuatu yang harus terjadi. Ketika jarak saya makin dekat dengan si angkot, saya masih sempat berkalkulasi dan berpikir: Oh, well, kali ini saya akan merasakan tabrakan serta yakin akan luka parah sebab kendaraan saya cukup kencang.

 

Pada detik-detik kritis itu, saya masih terus berusaha pindah ke lajur kanan, sementara badan si angkot terus bergerak ke kiri. Akhirnya benturan terjadi. Saya tidak terlalu menyadari bagaimana peristiwa itu berlangsung, dada kiri saya membentur cukup keras pada bodi mobil angkot, tetapi motor saya tetap seimbang. Saya tidak jatuh. Saya bebas dari maut.

 

Setelah itu saya melaju dengan pelan, merasakan tubuh bagian kiri seperti remuk, nafas saya sesak. Saya tidak mungkin menepi sebab tangan kiri terlalu kaku untuk menarik tuas kopling. Jadi saya melaju pelan sambil menunggu si angkot menyusul, meski saya tidak terlalu yakin apa yang akan saya lakukan kepadanya. Paling-paling saya akan menyusul balilk si angkot dan mencabut spion kanannya. 

 

Namun si angkot tidak muncul, ia berhenti. Saya merasakan tubuh disergap rasa nyeri bertubi-tubi, sambil  terheran-heran: jika tubuh saya terbentur pada mobil, bagaimana bisa motor saya aman-aman saja? Padahal posisi tubuh dan motor, masih sejajar. Logika sederhananya, jika tubuh saya membentur, seharusnya begitu pula motor saya.

 

Tentu saja saya masih bersyukur bisa hidup, tetapi, maksud saya... apa yang terjadi? 

 

Karena motor masih seimbang, dan nampak tidak bermasalah, saya melanjutkan perjalanan tanpa berhenti. Saya menggunakan satu tangan sebab tangan kiri sedikit nyeri. Ia bergerak hanya sesekali untuk menarik kopling. Kebetulan waktu itu saya hendak bertemu Rika dan Firoh. Mungkin mereka bisa memperbaiki otot tangan ini, pikir saya. 

 

Saya melaju pelan-pelan hingga menghabiskan waktu terlalu lama, lalu Rika dan Firoh terpaksa pulang sebab telah terlalu malam. Jadi saya istirahat di pinggir jalan, menaruh tas yang sedikit berat, dan memeriksa tubuh dan motor. Tidak ada yang luka, tidak ada bagian motor yang rusak. Tetapi dada saya terasa remuk. 

 

Ketika berdiam di pinggir jalan sambil melihat jalanan itu, saya berpikir, begitu manusia masuk jalan raya, saat itu pula ia mungkin pulang dengan tidak utuh. Bahkan mungkin meninggal. 

 

Saya mengutuk pendek-pendek pada seluruh sopir angkot yang menganggap kesembronoan sebagai sesuatu yang lumrah dimaklumi, hingga melakukan kesalahan-kesalahan berulang kali dan berpotensi mencabut nyawa orang lain. Pada kasus saya, jika mati pun, saya tidak punya beban keluarga, tetapi bagaimana jika yang mati adalah orang yang memiliki banyak tanggung jawab. Jika ia punya anak kecil, maka si anak berpotensi kehilangan banyak kesempatan. Jika ia punya banyak anak? Oh... sialan... ia hanya rentetan risiko yang panjang—sepanjang jalan.

 

Tetapi di pinggir jalan itu saya masih hidup dan spontan menghubungi orang tua untuk memberi kabar bahwa saya sudah sampai tujuan, meski belum terlalu sampai, sebenarnya. Tentu ia tidak harus tahu apa yang baru saja terjadi. Tetapi ia pasti senang saya baik-baik saja.

 

Saya mengutuki sopir angkot. Lalu saya menyadari, dulu saya pun pernah berbuat sembrono di jalan dan mungkin berpotensi mencabut nyawa orang lain. Maka saya mengutuk diri sendiri juga.