Selasa, 29 Juni 2021

Palsu, dan Palsu

 Tadi mengerjakan soal TOEFL, dan pikiran saya hanya tertuju pada ironi. Soal yang saya hadapi adalah kalimat yang harus dilengkapi. Soal itu cukup mudah: Semua komponen kalimat sudah lengkap kecuali subjek, namun pilihan ganda hanya menyediakan verb—verb palsu. 

 

Dengan kata lain: Saya harus memilih jenis kepalsuan.

 

Well, sama seperti soal di atas, dalam hidup kadang kita hanya menghadapi kepalsuan. Dan kita terpaksa memilih kepalsuan. Ketika mengerjakan soal itu, pikiran saya tertuju pada David—tokoh dalam film The Lobster, film distopia filosofis gelap—yang berkata mengenai kepura-puraan:

 

“Lebih sulit berpura-pura memiliki perasaan saat sebenarnya tak memilikinya daripada berpura-pura tak memiliki perasaan saat sebenarnya punya.”

 

Saya tak setuju pada Pak David, sebab keduanya terlalu sukar bagi saya. Lalu pikiran saya tertuju pada film bagus lain: Gone Girl. Di film itu, si lelaki mengatakan, “Benar aku mencintaimu. Tapi yang kita lakukan adalah saling membenci, saling mengendalikan. Dan saling menyakiti.”

 

“Itulah pernikahan,” jawab si wanita.

 

Well, pikiran saya masih tertuju pada kepalsuan-kepalsuan lain: di sekitar kita, terlalu penuh kepalsuan. Diam-diam mata saya berkaca-kaca mengingat satu hal. Lalu pak pengawas mengatakan waktu telah habis.

 

Soal itu saya biarkan kosong tanpa jawaban. Dan mata saya tetap berkaca-kaca.