Rabu, 27 November 2019

Perjuangan


Saya punya dua perjuangan kecil akhir-akhir ini.

Pertama, tidur sedikit. Entah kenapa, rasanya sayang sekali menghabiskan waktu dengan tidur. Masih banyak yang harus dikerjakan. Saya sering kehabisan waktu saat memenuhi deadline. Dan setelah membaca beberapa cara tidur orang visioner, saya sungguh merasa malu. Donald Trump tidur hanya empat jam setiap hari. Winston Churcill, hanya tidur selama dua jam sehari. Tesla menghabiskan waktu dua jam—seperti Churcill. Dan, well, mereka tetap hidup sehat dan bugar. Ketika ditanya resepnya, Churcill menjawab, “cintai pekerjaanmu.”

Itulah usaha yang sedang saya biasakan. Meskipun susah setengah mampus. Tak jarang, satu hari saya berhasil, tapi di hari yang lain malah kelewat 10 jam. Meski demikian, saya mulai menikmati jam tidur yang sedikit. Lebih banyak hal yang bisa diselsaikan. Lebih banyak lembar buku yang dibaca.

Kedua, tidak jatuh cinta. Rasanya memang manusia tak bisa lepas dari ini. Dan kalian pasti mafhum, bagaimana cinta membuat kita bodoh bukan kepalang. Dari melakukan hal-hal konyol hingga drama tak penting. Cinta tak jarang membuat saya kehilangan akal sehat. Tentu itu berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, termasuk merusak jadwal yang saya susun.

Pasti menyenangkan bisa hidup tanpa gangguan cinta dan tidur. Dalam pikiran saya, seseorang yang mampu mengatasi dua hal tersebut pasti dapat menjalani tujuan hidup dengan lebih fokus. Imam Zamakhsari dan Tabari termasuk dua tokoh yang saya kagumi. Bukan hanya karena mereka berpikiran cerah, lebih dari itu, mereka dapat menaklukkan dua jebakan semesta--cinta dan tidur. Mereka tampak seperti mengalahkan takdir.

Kalau imam Zamakhsari dan Tabari termasuk tokoh yang tak bisa saya temui lagi, lain lagi dengan beberapa “sesupuh” saya di dunia nyata. Saya cukup memiliki kenalan orang-orang yang sebegitu visionernya, hingga urusan menikah menjadi nomor dua.

Tampaknya saya sudah terlalu melantur. Yeah, namanya juga harapan. Tapi saya ingat beberapa saran kawan, “ya menikahlah, siapa tahu istrimu sama visioner dan mendukungmu sepenuh jiwa.”

Siapa tahu?

Senin, 25 November 2019

Iri


Lima dasawarsa lalu, orang perlu bersusah payah menggapai semua kemudahan yang dihasilkan smartphone. Kini, perlu bersusah payah juga melepaskan diri dari ketergantungan smartphone. Saya tak perlu mengulang bagaimana hubungan manusia sehari-hari “terdistraksi” oleh HP.

Tentu orang tak perlu sepenunya resah—sebagaimana Habermas—melihat pergeseran budaya akibat segala fasilitas teknologi. Tapi kita, setidaknya saya, sukar mengelak dari apa yang dirumuskan oleh Manuel Castells: dunia maya dapat membangun kemayaan yang nyata.

Dari bangun tidur hingga kembali akan tidur, kita sibuk dengan post di media sosial tentang: makan nasi kebuli, liburan di bali, sedang tidur di hotel, atau mencaci hujan, mengutuk panas. Dunia kian riuh dengan suara yang masing-masing tak ingin diabaikan.

Tak cukup menyajikan sebuah kejadian nyata, jamak dari pengguna media sosial mereduksi apa yang sebenarnya terjadi. Alih-alih menghadirkan fakta, orang membangun citra. Dengan kata lain, media sosial tak melebarkan kebenaran, ia jelmaan dari gubahan Baudrillard: simulakra sosial, kejadian penuh manipulasi.

Maka yang dikhawatirkan Castells tentang politik informasi, yakni monopoli para elit tentang apa yang harus disuguhkan pada publik, dalam skala mikro, juga dilakukan oleh sipil. Tak perlu bertanya mengapa, semua orang punya dorongan narsis yang ketika itu disalurkan, menimbulkan kenikmatan tersendiri.

Dan, well, saya pecandu kenikmatan itu. Maksud saya, sangat candu.

Karenanya, saya punya kekaguman tersendiri bagi para orang tua di desa, atau di mana pun yang tak punya hasrat mengabarkan pada dunia tentang hal hebat yang mereka lakukan. Tentang prestasi yang mereka capai. Dalam hati saya sering bergumam, mereka dewasa seutuhnya.

Ibu saya beberapa waktu lalu pergi ke Makkah, juga Madinah. Sebagai seorang yang tak kenal media sosial, dan juga smartphone, hampir bisa dipastikan ia tak ribet dengan foto atau video untuk keperluan akun. Bahkan Ibu saya pulang tanpa membawa satu pun foto momen-momen di sana. Diam-diam saya melihat sosok yang dari dulu tak saya sadari: Ibu merdeka pada hasrat membuat orang lain terkesan padanya.

Saat di rumahpun, Ibu tak akan rempong dengan bikin story betapa kewalahan ia menerima tamu. Ibu tak ada hasrat post bahwa hanya dalam waktu semalam satu kamar di rumah penuh oleh-oleh dari tamu.

Agaknya sifat itu ia dapat dari kakek. Pernah suatu ketika kakek di minta datang ke Papua, untuk menghadiri acara tertentu. Menurut cerita kawan yang ada di sana, banyak hal hebat yang kakek lalui, dari berbagai fasilitas mewah, hingga bertemu orang-orang “penting”. Untuk ukuran orang desa yang begitu sederhana, saya yakin itu termasuk pengalaman yang langka. Tapi saat pulang, tak ada cerita “hebat” yang ia sampaikan. Apalagi sebagai bahan “citra” dunia maya.

Kita tak bisa menyalahkan hasrat narsis manusia, yang memang sifat bawaan. Namun pada titik berlebihan, individu yang narsistik memiliki perhatian lebih pada sesuatu yang hanya berkaitan dengan dirinya: tubuh, harapan, pikirannya. Erich Fromm dalam bukunya yang bagus The Art of Living, memperlihatkan ada satu momen di mana manusia tak mampu mengenali dirinya sendiri sebab ia sibuk dengan dirinya sendiri.  

Tak jarang manusia abad 21 memusatkan segala perhatian akitivitas keseharian dengan orientasi narsistik semacam itu. Anda tak susah melihat faktanya, di setiap sudut tempat makan, rumah ibadah, wisata, halte, toilet, sebut lainnya, orang sibuk mengeluarkan ponsel, memotret dan mengunggahnya ke media sosial. Dengan satu tujuan: berharap di lihat. Dengan kata lain, untuk kepentingan diri sendiri.

Orang narsis yang kemana-mana “laporan” di media sosial tak memiliki filter untuk menentukan mana yang layak dipost, mana yang tidak. Dan mungkin mereka tak peduli. Karena kecenderungan orang narsis tidak akan ambil pusing dengan apa yang orang lain pikirkan mengenai dirinya. Maksud saya, individu narsis mengira bahwa orang lain melihat dirinya sebagaimana ia melihat dirinya: penuh anggun.

Ada satu pernyataan menarik dari Fromm yang patut kita renungkan: pada akhirnya bukan mustahil kebiasaan narsis membuat seorang mengagungkan diri hingga tak bisa mencintai yang lain. Bahkan, dalam porsi kritik yang lebih ektrem, Freud melihat banyak relasi cinta antar manusia hanya narsistik belaka. Dalam cinta ibu pada anaknya, sejatinya itu tak lebih dari kecintaan pada diri sendiri sebab anak itu adalah anaknya.

Well, pertanyaan Freud di atas sangat dalam, sebegitu dalam hingga saya perlu mengulang dengan cetakan tebal. Dalam cinta ibu pada anaknya, sejatinya itu tak lebih dari kecintaan pada diri sendiri sebab anak itu adalah anaknya. Saya ingin menepuktangani pernyataan itu. Tidakkah itu narsistik? Seorang ibu mencintai anaknya semata karena masih berhubungan dengan dirinya. Bahkan, tak jarang seorang memilih melahirkan anak, mati-matian membesarkan anak, demi di hari tua kelak, anak tersebut merawatnya. Lagi-lagi, bukankah itu narsistik?

Saya ingat pada ibu dan kakek. Sebagaimana yang saya ceritakan, mereka tak ada hasrat narsis yang ingin membuat orang lain terkesan. Pada titik itu, saya iri pada mereka. Sebab tulisan ini juga narsistik.


Sabtu, 23 November 2019

Obrolan Kita

Aku selalu percaya pada angka.
Di dalam persamaan dan logika.
Yang mengarah kepada alasan.
Tetapi setelah pencarian seumur hidup seperti itu, aku bertanya, apa sesungguhnya logika itu? Siapa yang memutuskan alasan?
Pencarianku telah membawaku melalui fisik, metafisik, khayalan, dan kembali.
Dan aku telah membuat penemuan terpenting dalam karirku.
Penemuan paling penting dalam hidupku.
Hanya ada di dalam kemisteriusan persamaan cinta…
Sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.
Aku semata-mata di sini malam ini karenamu.
Kaulah alasanku. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.

 John Nash dalam A Beautiful Mind

Kau duduk di dalam ruang tamu rumahku, waktu itu. Kau mungkin merasa aneh tiba-tiba ada di ruang itu. “Selamat datang, aku tak mengira kau ada di sini,” kataku, dengan nada sopansesopan yang aku bisa.

“Aku senang ada di sini,” jawabmu sambil menyuguhkan senyum.

Aku tak tahu apa dan bagaimana awalnya, tapi saat itu aku yakin bahwa dalam catatan takdirku, hari inilah saatnya menampakkan tentang noktah dalam hati. Sudah saatnya aku mengatakan hal penting padamu. Kalimat-kalimat di pikiranku mulai tersusun, berharap kalimat itu berfungsi sebagaimana mestinya, tanpa menyisakan salah paham.

“Kau tahu, dalam benakku sering terlintas bahwa sesungguhnya kau tahu aku menyukaimu. Dan mungkin kau bertanya, apa yang membuatku menahan untuk berbicara," kalimat pembuka itu akhirnya keluar, pelan.

Kau tampak diam memperhatikan. Dan senyum itu mulai memudar. Berganti tatapan mata serius, seolah kau sangat menunggu kalimat-kalimat berikutnya, atau seolah kau mulai memikirkan akan merespon seperti apa. Namun sebelum kau berkata-kata, aku melanjutkan.

“Aku hanya seorang bocah yang penuh luka. Well, kehidupan ini mendidik dengan keras, sangat keras. Luka itu datang dari berbagai sudut. Dan kau tahu, luka itu masih basah. Ada satu titik aku marah pada guru, teman, lingkungan, karena merekalah, dalam pikiranku yang naif, sumber segala trauma.

“Sekali lagi, luka itu masih basah. Sebegitu basah sehingga kadang membuatku tampak angkuh. Percayalah, itu sebagian usahaku menjaga luka basah itu dari sentuhan tangan yang akan memperparah.”

Aku tersenyum padamu, dan untuk memastikan kau masih dalam kondisi nyaman, aku bertanya, “kau masih mau mendengarkan?”

“Aku selalu mendengarkan,” jawabmu. Dan aku lanjut berbicara.

“Kadang aku trauma dengan cinta, kadang aku membenci perasaan ini. Cinta, kau tahu, kata yang sebenarnya cukup memuakkan untuk aku sebut. Tapi manusia kadang tak bisa mengelak darinya. Well, aku bisa apa? Aku punya keyakinan kecil, bahwa luka tak akan disumbang cinta, jika kita tak punya hasrat memiliki.”

“Tapi aku bukan manusia semacam itu. Ya, tentu saja aku memiliki hasrat memiliki. Dan termasuk dirimu. Sayangnya, itu tak dibarengi kesiapan mental, ekonomi, dan pengetahuan. Kau mafhum, saat aku lantang berbicara bahwa aku menyukaimu, di saat itulah aku harus membangun ikatan. Tanpa kesiapan, dengan berbagai tanggungjawab yang sedang aku pikul, bagaimana aku bisa? Dengan segala ketidaksiapan ini, bagaimana semua mungkin?”

“Pada ujungnya, yang aku khawatirkan adalah menyakitimu. Dengan segala keraguanku. Ya, itulah ketakutan terbesarku. Pada ujungnya aku takut orangtuamu kecewa pada hubunganmu denganku. Kecewa padaku.”

“Kau mungkin juga tahu, ada cita-cita yang menunggu untuk aku jemput. Di hati kecilku, ada perasaan untuk terus fokus pada cita-cita. Semua ini merajut menjadi dilema. Dan satu lagi, kadang aku merasa tak begitu mengenalmu. Sebagaimana kau tak pernah mengenalku seutuhnya. Tapi, tetap saja, kau mempesona.”

Suasana menggantung. Hening. Aku melihat mata yang berkaca-kaca. Semua seolah kembali pada apa yang ditulis Goenawan Mohamad dalam Syairnya:

Dan cinta kita
Bersembunyi

Di ujung bahasa
Yang tak dilanjutkan

Tentu kata “kita” di atas tak mewakili sepenuhnya. Karena mungkin kau tak tertarik padaku. Dan toh aku juga belum berharap ada jawaban darimu. Satu-satunya harapanku, kau memahami seutuhnya apa yang aku pikirkan. Tetapi, aku menyukaimu. Maksudku, sungguh menyukaimu.
Tiba-tiba pagi membangunkanku dari tidur. Ruang tamu di rumah, baju dan kerudung cokelatmu, dan semua percakapan kita, hanya mimpi. Well, hanya mimpi di 23 November.

Aku selalu percaya pada angka.
Di dalam persamaan dan logika.
Yang mengarah kepada alasan.
Tetapi setelah pencarian seumur hidup seperti itu, aku bertanya, apa sesungguhnya logika itu? Siapa yang memutuskan alasan?
Pencarianku telah membawaku melalui fisik, metafisik, khayalan, dan kembali.
Dan aku telah membuat penemuan terpenting dalam karirku.
Penemuan paling penting dalam hidupku.
Hanya ada di dalam kemisteriusan persamaan cinta…
Sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.
Aku semata-mata di sini malam ini karenamu.
Kaulah alasanku. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.