Aku selalu
percaya pada angka.
Di dalam
persamaan dan logika.
Yang
mengarah kepada alasan.
Tetapi
setelah pencarian seumur hidup seperti itu, aku bertanya, apa sesungguhnya
logika itu? Siapa yang memutuskan alasan?
Pencarianku
telah membawaku melalui fisik, metafisik, khayalan, dan kembali.
Dan aku telah membuat penemuan terpenting dalam
karirku.
Penemuan paling penting dalam hidupku.
Hanya ada di dalam kemisteriusan persamaan cinta…
Sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.
Aku semata-mata di sini malam ini karenamu.
Kaulah alasanku. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.
—John Nash dalam A Beautiful
Mind
Kau duduk di dalam ruang
tamu rumahku, waktu itu. Kau mungkin merasa aneh tiba-tiba ada di ruang itu. “Selamat
datang, aku tak mengira kau ada di sini,” kataku, dengan nada sopan—sesopan yang aku bisa.
“Aku senang ada di sini,”
jawabmu sambil menyuguhkan senyum.
Aku tak tahu apa dan
bagaimana awalnya, tapi saat itu aku yakin bahwa dalam catatan takdirku, hari
inilah saatnya menampakkan tentang noktah dalam hati. Sudah saatnya aku mengatakan hal penting padamu. Kalimat-kalimat di
pikiranku mulai tersusun, berharap kalimat itu berfungsi sebagaimana mestinya, tanpa menyisakan salah paham.
“Kau tahu, dalam benakku sering terlintas bahwa sesungguhnya kau tahu aku menyukaimu. Dan mungkin kau bertanya, apa
yang membuatku menahan untuk berbicara," kalimat pembuka itu akhirnya keluar, pelan.
Kau tampak diam
memperhatikan. Dan senyum itu mulai memudar. Berganti tatapan mata serius, seolah
kau sangat menunggu kalimat-kalimat berikutnya, atau seolah kau mulai memikirkan akan merespon seperti apa. Namun sebelum kau berkata-kata, aku melanjutkan.
“Aku hanya seorang bocah
yang penuh luka. Well, kehidupan ini mendidik dengan keras, sangat keras. Luka itu
datang dari berbagai sudut. Dan kau tahu, luka itu masih basah. Ada satu titik
aku marah pada guru, teman, lingkungan, karena merekalah, dalam pikiranku
yang naif, sumber segala trauma.
“Sekali lagi, luka itu
masih basah. Sebegitu basah sehingga kadang membuatku tampak angkuh. Percayalah,
itu sebagian usahaku menjaga luka basah itu dari sentuhan tangan yang akan
memperparah.”
Aku tersenyum padamu,
dan untuk memastikan kau masih dalam kondisi nyaman, aku bertanya, “kau masih
mau mendengarkan?”
“Aku selalu
mendengarkan,” jawabmu. Dan aku lanjut berbicara.
“Kadang aku trauma dengan cinta, kadang aku membenci perasaan ini. Cinta, kau tahu, kata yang sebenarnya cukup memuakkan
untuk aku sebut. Tapi manusia kadang tak bisa mengelak darinya. Well,
aku bisa apa? Aku punya keyakinan kecil, bahwa luka tak akan disumbang cinta,
jika kita tak punya hasrat memiliki.”
“Tapi aku bukan manusia
semacam itu. Ya, tentu saja aku memiliki hasrat memiliki. Dan termasuk dirimu. Sayangnya,
itu tak dibarengi kesiapan mental, ekonomi, dan pengetahuan. Kau mafhum, saat aku lantang
berbicara bahwa aku menyukaimu, di saat itulah aku harus membangun ikatan.
Tanpa kesiapan, dengan berbagai tanggungjawab yang sedang aku pikul, bagaimana aku bisa? Dengan segala ketidaksiapan ini, bagaimana semua mungkin?”
“Pada ujungnya, yang aku
khawatirkan adalah menyakitimu. Dengan segala keraguanku. Ya, itulah
ketakutan terbesarku. Pada ujungnya aku takut orangtuamu kecewa pada hubunganmu
denganku. Kecewa padaku.”
“Kau mungkin juga tahu,
ada cita-cita yang menunggu untuk aku jemput. Di hati kecilku, ada perasaan untuk terus fokus pada cita-cita. Semua ini merajut menjadi dilema. Dan satu lagi, kadang aku merasa tak begitu mengenalmu. Sebagaimana kau
tak pernah mengenalku seutuhnya. Tapi, tetap saja, kau mempesona.”
Suasana menggantung. Hening.
Aku melihat mata yang berkaca-kaca. Semua seolah kembali pada apa yang ditulis
Goenawan Mohamad dalam Syairnya:
Dan
cinta kita
Bersembunyi
Di
ujung bahasa
Yang
tak dilanjutkan
Tentu
kata “kita” di atas tak mewakili sepenuhnya. Karena mungkin kau tak tertarik padaku. Dan toh
aku juga belum berharap ada jawaban darimu. Satu-satunya harapanku, kau memahami seutuhnya apa yang aku pikirkan. Tetapi, aku menyukaimu. Maksudku, sungguh menyukaimu.
Tiba-tiba pagi membangunkanku
dari tidur. Ruang tamu di rumah, baju dan kerudung cokelatmu, dan semua
percakapan kita, hanya mimpi. Well, hanya mimpi di 23 November.
Aku selalu
percaya pada angka.
Di dalam
persamaan dan logika.
Yang
mengarah kepada alasan.
Tetapi
setelah pencarian seumur hidup seperti itu, aku bertanya, apa sesungguhnya
logika itu? Siapa yang memutuskan alasan?
Pencarianku
telah membawaku melalui fisik, metafisik, khayalan, dan kembali.
Dan aku telah membuat penemuan terpenting dalam
karirku.
Penemuan paling penting dalam hidupku.
Hanya ada di dalam kemisteriusan persamaan cinta…
Sehingga setiap alasan logis dapat ditemukan.
Aku semata-mata di sini malam ini karenamu.
Kaulah alasanku. Kaulah semua alasanku. Terima kasih.