Jumat, 02 Februari 2024

Yogyakarta Terbuat dari Obrolan Hangat, Duduk di Bawah Pohon Keraton, dan Rangkaian Kegembiraan

Setelah membeli tiket kereta menuju Yogyakarta—tiga hari setelah opname—tubuh saya seperti hendak ambruk kembali dan membuat bayangan Yogya makin buram. Jika mengikuti kondisi tubuh, tentu saja seharusnya saya memilih istirahat. “Sembuh dulu. Baru ke Yogya,” kata Rika. Menatap pesan itu, sambil merasakan kepala seperti diputar dalam mesin cuci, saya menjawab dengan rumus sebaliknya: nge-trip dulu baru sembuh.


Pesan terlalu yakin itu terpaksa saya kirim karena menurut hitungan ingatan saya, bahkan mengandalkan ingatan yang rapuh, sudah 1001 kali rencana ke Yogya batal. Jika angkanya naik menjadi 1002, maka Hafif akan hidup dengan keimanan baru bahwa rencana saya ke Yogya hanya menjadi rencaya abadi yang gagal. Kegagalannya nyaris sepasti bekantan butuh makan. Angka 1001 saya kira tidak berlebihan mengingat rencana itu ada sejak 2021, atau sejak 2019 jika mengikuti wacana di sini.


22 Januari saya pergi ke dokter untuk meminta obat. “Kalau naik kereta saya kira tidak masalah. Asal jangan telat makan. Tiap lima jam lambung sudah kosong dan harus diisi meski tidak harus nasi. Saya menjawab akan mematuhi perintah keramat itu supaya tidak terjadi hal-hal menyusahkan di perjalanan. Dokter bertanya ada acara mendesak apa di Yogya sehingga tidak bisa ditunda. Saya menjawab ada tugas dari kampus. Bohong.


Segala ketertundaan menjadi sirna ketika pukul 08.53, 22 Januari, saya berangkat ke stasiun. Saya cukup murung karena Anis tidak di Yogya untuk bertemu. Tetapi sesuatu yang harus terjadi, tetap harus terjadi. Dan begitulah yang terjadi: saya duduk di kereta selama 10 jam.  Tergantung kepala kita apakah 10 jam di kereta cukup membosankan atau sangat membosankan.


Jika naik pesawat, durasi 10 jam bisa membuat saya tiba di Jepang, atau Korea Selatan, atau Saudi Arabia. Tetapi kelas dompet saya hanya bisa mengantar ke Yogya. Selain itu, saya belum naik level untuk berurusan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Saudi Arabia. Lain cerita soal Yogyakarta. Saya punya beberapa urusan di sana.


Jadi, apa tujuan saya ke Yogya? Pertama, menunaikan janji untuk bercakap-cakap bersama teman-teman. Kedua, ziarah makam Buya Syafii Maarif. Hajat pertama terlaksana begitu saya mendarat di Yogya pukul 20.13. Saya bertemu Rika dan kami bertukar kabar sambil merasakan kegembiraan sebagaimana wajarnya kawan lama tak berjumpa. Akhirnya sampai juga, kata saya.


Kami menuju tempat kerja Hafif, ialah sebuah cafe joglo di mana ia bertugas sebagai barista. “Semua jenis minuman di sini, aku yang bikin,” kata Rika, merawikan maqalah Hafif. Belakangan Rika sering menjadi perawi pertama ucapan-ucapan Hafif. Saya berdiri di depan dapur Pak Barista dan mengucapkan salam singkat dan mengajukan pertanyaan kabar. Ia tertawa kecil sebelum menjawab… saya lupa jawabannya. Tetapi ia tampak masih segar dan sehat.


Kami kemudian duduk bertiga, bertukar cerita singkat mengenai kondisi teman-teman di Yogya. Hafif mengirim foto kami ke Anis yang WhatsApp-nya sudah bisa dipastikan mati suri. Mata saya terasa pekat, tetapi rasa ngantuk kalah dengan perasaan gembira. Baik Rika maupun Hafif mulai merancang rangkaian perjalanan. Mereka menawarkan Malioboro dan saya menjawab belum ingin ke sana dalam waktu dekat.


“Tujuanku ke sini ya duduk-duduk seperti ini,” kata saya. Bonusnya adalah pertukaran tawa. Adalah sebuah kesia-siaan jika bertemu kawan tanpa ada tawa.


Hafif sesekali kembali bekerja dan saya lebih banyak bertukar cerita bersama Rika. Saya bertanya tentang tugas akhir yang ia susun dengan kondisi super seksama dan dalam tempo yang cukup lama. Mencermati ceruk-ceruk ceritanya, saya tahu, ia berada dalam lingkungan yang tepat. Dosennya menuntut perkembangan, kurikulumnya mendukung arah pembelajaran dan, yang terpenting, teman-temannya memberi iklim pertumbuhan. Ia tidak akan mendapat itu di Surabaya.


Lebih jauh, kami mendiskusikan sesuatu yang cukup serius ketika duduk di musholla Buya Syafii. Kami bertukar pandangan mengapa ziarah ini perlu dilakukan. Saya berusaha bercertia pada Rika bahwa kami harus merasa kehilangan sosok berintegritas seperti Buya Syafii. Meski saya bukan orang Muhammadiyah, saya selalu angkat topi mengikuti jejak Buya. Bahkan ketika pertama membaca tulisan obituari Hamid Basyaib, mata saya mengeluarkan aliran sungai kecil. Dan karena tulisan itulah sebenarnya saya merasa perlu datang ke tempat ini.


Di tempat itu pula, kami menggarisbawahi bagaimana kami seharusnya memberikan apresiasi terhadap gagasan orang lain. Bagaimanapun, kami masih seorang pejalan kaki soal penjelajahan pengetahuan. Menghindari sikap pongah adalah keharusan yang kadang kami lupakan sebab mudah sekali rasanya menganggap orang lain bodoh dengan sudut pandang yang kami miliki. Sudut pandang yang seringkali diliputi oleh bias masing-masing.


Kami mendatangi makam Buya setelah beberapa kali keliru memilih makam. Kami melangitkan doa. Saya, mungkin juga Rika, merasa kagum bukan hanya kepada integritas Buya Syafii, tetapi juga gaya hidup yang ia pilih. Jika saya bisa menulis di sekitar makamnya, saya pasti akan menulis kalimat berikut: di bawah sini terbaring guru bangsa yang menghabiskan usianya untuk kepentingan orang lain di atas kepentingan dirinya sendiri. 


Ketika keluar makam, saya masih diliputi haru dan merasa ada cangkang pengetahuan yang tumbuh: ialah merasa kerdil dan perlu meneladani sikap sederhana Ahmad Syafii Maarif. Terik matahari yang membakar tangan saya dan membuat warna kulit seketika belang menjadi harga yang pantas dan terasa murah.


Di hari ketiga itu—hari Kamis—saya merasakan terik Yogyakarta, juga es kelapa mudanya, dan bonus durian. Tentu saya harus mengatakan bahwa kebahagaiaan hari ketiga adalah lanjutan kebahagiaan hari kedua. Hari di mana Rika terpaksa mengikuti jadwal sarapan pagi saya. “Aku nggak biasa bangun pagi, dan sarapan pagi,” katanya. Kami menikmati sup ayam yang menjadi bekal energi untuk masuk ke kampus UINSUKA. Kami terpaksa bolak-balik kampus-percetakan karena salah cetak tesis dan Rika mengeluh karena kesalahan kecil ini tidak perlu terjadi jika pihak percetakan becus menggunakan kejelian.


Tetapi, yah… di dunia ini selalu ada jarak antara apa yang seharusnya dan apa yang senyatanya dan siapapun yang mampu mengendalikan diri dapat hidup setenang dan sesantai burung hantu yang gemar bernyanyi sebelum menyambung hidup. Saya dan Rika bersepakat untuk bersikap santai terkait keruwetan yang tidak membuat dunia kiamat dalam waktu dekat.


Meskipun kesepakatan kami akan naik turun seperti iman.


Setelah dari UINSUKA dan berkenalan dengan Mas Aldi dan menikmati jalanan mendung Yogya kami bergeser ke Buku Akik. Saya berani mengatakan itu toko buku paling bagus yang pernah saya kunjungi. Alasannya sederhana: ia memenuhi preferensi selera saya. Sebab, nyaris semua daftar penulis buku di sana adalah penulis yang saya tahu. Dari Murakami, Chomsky, Yusi Avianto, Gabriel Garcia Marquez, dan buku resep makanan Mustikarasa.


Saya pernah ingin memiliki buku Mustikarasa, tetapi ketebalannya selalu mengintimidasi dompet saya. Resep masakan selalu menarik minat mantan koki seperti saya. Meski demikian, selera makan dan lidah saya tidak terlalu rewel. Ia mengenal dua rasa: enak, dan enak sekali. Pecel lele Mbak Tari terasa sangat enak, dan pecel lele lain terasa enak. Yogya seperti surga pecel lele.


Dalam pada itu [saya suka istilah ini], o, saya lupa tidak bertanya ke Nadia mana kuliner yang perlu saya kunjungi. Mungkin, pertanyaan itu terasa tidak penting setelah menyadari bahwa bertemu Nadia dan Gus Azuma cukup sulit. Dan hari kedua itu kami berhasil duduk melingkar bersama. Terima kasih Nadia dan Gus Azuma yang berkenan berbagi jadwal dan membahayakan diri pulang larut ketika kaca mata Gus Azuma sebagai pengemudi sangat gelap.


Karena dua hajat di atas sudah terpenuhi, keluyuran lain di Yogya hanya bersifat bonus. Saya merasa cukup santai untuk memutuskan di hari Jumat tidak pergi kemana-mana, selain bertemu Mas Diki—tetangga dekat rumah. Itu pertemuan bonus, sebenarnya, dan membuat kepala saya makin ringan. Obat sudah ditinggalkan.


Malam Sabtu, setelah makan pecel lele paling enak, saya mengajak Rika untuk berkeliling sebentar. Setelah melalui jalanan di sekitar Gramedia, saya merasakan perbedaan lampu kota Surabaya dan Yogya. Yang pertama glamor, yang kedua romatis. Ini tentu penilaian umum yang bisa salah. Sebegitu berkesan jalanan Yogya membuat saya meminta mengulangi rute awal. Kami kembali memutar untuk merekam, tetapi Rika keliru mengambil haluan.


Kami kembali memilih memutar demi sebuah video, dan berhasil kembali ke rute awal, tetapi Rika gagal merekam. Tentu saja kami memilih menertawakan kekonyolan ini dan kembali pulang. “Sumpah tadi udah aku pencet tombol yang benar,” kata Rika. Kami langsung memilih tidur. Dan saya selalu tidur nyenyak karena Hafif menyuruh saya tidur di spring bed-nya Mas Fachri. Kadang saya merasa bersalah karena tidak izin dan beberapa kali memilih tidur di bawah. Terima kasih dan maaf untuk Mas Fachri—semoga ejaan ini benar.


Hari Sabtu, karena Rika khawatir saya hanya duduk-duduk di kamar Hafif—dan memang itu yang terjadi—ia mengajak saya ke sebuah danau. Kami berkeliling dan menikmati air mancur plus ibu-ibu berjoget tiktok yang gerakannya kaku karena, mungkin, menjaga tulang mereka. Seorang murid di rumah izin tidak masuk sekolah dan pesan itu mengingatkan bahwa saya harus mengajar online.


Saya berhasil menyelesaikan tugas mengajar sambil kembali ke Joglo untuk menunggu Hafif bangun. Siang itu kami menunaikan rencana pergi ke keraton. Di jalur sekitar Malioboro, saya bertanya pada Hafif mengapa orang-orang suka berfoto di depan logo BNI. “Bukankah itu hanya bank BNI sebagaimana BNI lainnya?” tanya saya.


Kami masuk ke keraton, menikmati suasana kerajaan kuno. Setelah berkeliling barang beberapa menit, kami duduk-duduk di bawah pohon ketapang teduh. “Jompo dulu,” kata saya. Di manapun tujuannya, selama kota ini, duduk-duduk terasa seperti menu utama, dan  duduk di tengah keraton tentu berbeda dengan duduk di kamar rumah. Bagi saya Yogya seperti terbuat dari duduk-duduk sambil membincang banyak hal seolah tak ada batasan waktu. Inilah cara bersenang-senang ala Cesar Vallejo, pikir saya.


Kami mengambil potret bertiga sebelum beralih ke ruangan berikutnya, ialah ruangan berisi foto Sri Sultan. “Itu nggak mau difoto, Cak?” kata Rika sambil menunjuk lima lakon wayang. Saya menggeleng dan menjawab tidak perlu foto, sambil mengambil ponsel untuk mengambil gambar lima lakon wayang. Ini lelucon internal kami. "Nggak mau ke toilet, Cak?" tanya Hafif. Saya menggeleng sementara beberapa saat kemudian menuju toilet. 


Berkeliling di siang hari membuat kerongkongan kami kering lantas muncul bayangan es jeruk. Hafif menawarkan es cokelat dan kami sepakat bahwa es cokelat pada saat terik akan terasa enak. Setelah menikmati es cokelat terbaik di Yogya, kami melangkah ke Alun-alun Kidul untuk mencoba sebuah mitos: jika berhasil berjalan lurus melewati jalur tengah di antara dua gapura—dengan mata tertutup—hajatnya qabul.


Saya gagal. Rika gagal. Hafif berhasil. Meski demikian saya punya harapan baik di masa mendatang: dapat berkunjung ke Yogya dengan suasana pertemanan seperti ini, yang membuat hari Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu, terasa sebagai hari kegembiraan.


Malam terakhir saya tidak pergi kemana-mana, kecuali terjebak hujan di bawah jembatan besar sambil menikmati, sekali lagi, pecel lele. Sesekali malaikat mengambil potret dengan flash otomatis dari langit. Setelah hujan reda, Joglo menjadi tempat membunuh waktu, menyimpulkan kembali apa yang harus kami rencanakan di masa mendatang.  Obrolan malam itu, jika diteruskan, tidak akan berujung dan kami harus mengalah istirahat mengingat kereta pagi tidak akan memberi syafaat bagi mereka yang telat.


Untunglah saya dan Rika berhasil memasuki kereta 7 menit sebelum keberangkatan. Dan, ya, saya menuju Surabaya. Akhirnya bayangan Yogya tidak buram, tubuh saya gagal ambruk meski menanggung berat oleh-oleh kegembiraan.

1686

Catatan ini berjumlah 1686 kata, ditulis di tengah-tengah tugas fakultas yang tiba-tiba datang seperti hujan.