Kamis, 30 November 2023

Cara Kerja Keberuntungan

Gus Fathi yang semoga selalu bahagia,

 

28 Juli 2020, sampean dateng ke Al-Jawi dan menggotong badanku ke warung Ayam Nelangsa. Kita ngobrol soal skripsi dan menikmati ayam bakar, tumis kangkung, jamur tepung, dan yang paling penting, teh syahdu. Teh paling cocok di lidah ketika itu.

 

Setelah diskusi skripsi beres, kita berbelok ngobrol soal jodoh. "Aku masih cari yang cocok," kata sampean. Belakangan aku paham, calon yang cocok itu merujuk pada keahlian qari'. Lalu sampean balik bertanya kenapa aku masih jomblo dan aku menjawab ingin lanjut kuliah dan merampungkan hal-hal lain.

 

Kita pulang dan merasa senang menikmati hal-hal yang telah kita bahas, sebelum akhirnya kena tilang di jembatan layang, karena putar balik sembarangan. Sampean sudah berusaha menghindar dari polisi tetapi Pak Polisi berhasil menyelinap di antara ratusan motor. Kita takjub kenapa polisi sebesar itu berhasil macak bertubuh kecil. Dan, seperti biasa, sampean memilih sabar, bahkan merasa beruntung cuma ditilang, dari pada celaka. Itulah mungkin yang ingin sampean tekanan di segala kondisi: Bejjo.

 

Lalu Bejjo jadi sebuah brand. Aku ketular bejo juga, sepertinya. Sebab dua kali dapet parfum bejo, gratis.

 

Ada buku bagus yang judulnya bikin geleng-geleng kepala. Buku tentang orang-orang Bejjo. Ditulis oleh Richard Wiseman berjudul The Luck Factor. Pak Richard neliti mengapa ada orang beruntung dan mengapa ada apes. Apakah ada faktor penyebabnya? Dan ia menjawab ada. Ia menggunakan metode ilmiah ketat, bukan berdasar afirmasi atau teori-teori motivasi semacamnya.

 

Bisa dikatakan, itu buku ilmiah pertama tentang orang-orang beruntung.

 

Jadi, apa faktor beruntung itu? Kalo sampean  penasaran dan ingin menambah faktor bejo, bisa berburu versi Indonesianya. Tetapi, menurutku sampean tidak terlalu butuh itu. Sebab, sebagaimana menurut akun Twitter, sampean sudah terlahir bejo.

 

Aku nggak paham bagaimana masa kecil sampean. Tetapi jika diurut dari kampus, sampean sudah sangat bejo. Jika telat daftar satu atau dua tahun, usia ijazah sampean sudah nggak bisa diterima. Kebejoan lain, sampean punya teman kelompok yang, meski nggak selalu pinter, tapi cukup solid. Setidaknya untuk menyelesaikan tugas makalah.

 

Kita tahu, tugas mahasiswa IAT itu berurusan dengan kitab-kitab tebal. Cukup mengerikan.

 

Lalu, soal skripsi... bukankah sampean juga bejo?

 

2020 kita lulus. Itu agak ajaib sebenarnya. Bukan hanya ajaib bagi sampean, tetapi juga aku. Dulu nggak pernah terbayangkan bisa kuliah. Apakah sampean pernah menyadari betapa ajaibnya kelulusan kita. Yah, mungkin itu kebejoan yang lain.

 

2020 telah berlalu dan sampean menemukan pasangan yang cocok. Waktu berlalu cepat dan pertemuan kita makin pendek dan renggang. Ketika di rumah, kadang aku merindukan saat-saat nelpon sampean untuk makan gulai kacang ijo, lalu lanjut ngopi.

 

Itu saat-saat terbaik. Ngobrol sama sampean bisa menjadi jeda dari tugas-tugas berat dan aku bisa mendapat cerita-cerita dengan karakter sampean yang sabar. Dan bejo. Jarak kita sudah terlampau jauh dan nasib baik kurang berpihak.

 

Bahkan, sudah tiga atau empat kali rencana datang ke rumah sampean selalu gagal. Pertama saat resepsi pernikahan. Itu saat di mana aku menancap di Jember. Kedua, ketiga, keempat, saat kuliah ke kampus. Tetapi gagal semua karena terburu waktu.

 

Sebenarnya, aku pengen menyalami sampean dan mengucapkan selamat dengan cara yang patut. Tetapi ternyata hingga hari ini hal itu belum bisa terjadi.

 

Terima kasih sudah menulari kebejoan, Gus. Setidaknya selama ngetrip bareng, selama aku berkunjung ke Ampel, sampean selalu menjadi penopang yang tangguh. Juga suka traktir kawan-kawan. Sekarang sampean harus traktir istri seumur hidup.

 

Kita masih punya rencana umroh backpacker. Tetapi mari kita endapkan sejenak. Siapa tahu ia mewujud dalam bentuk yang lain. Jadi, selamat mentraktir istri. Ingat, hati-hati saat putar balik, ya. Pak Polisi bisa disemprot parfum Bejo tetapi ia pasti tetap menilang.

 

Salam.


--Surabaya, 26 Desember 2022

Bangsa

“Kok mikir negara dan bangsa, mikir hidup sendiri saja belum selesai,” kata bocah pertama. 


Bocah kedua tampak tidak setuju, dan menyesap kopi panas sebelum akhirnya menimpali, “Tapi kadang karena mikir negara dan bangsa inilah, masalah kita jadi tampak kecil dan bisa selesai.”


Percakapan dua bocah yang serba mbuh.

Anak-anak yang Bahagia dan Orang Dewasa yang Memilih Bahagia

—Untuk Rika 


Panggilan barusan sebenarnya hanya untuk melihat bagaimana ekspresi sampean ketika menerima ucapan ulang tahun dan untuk mengingatkan bahwa sampean pernah mengirim doa baik untuk hari baikku--tetapi menyempal 20 hari, ialah 3 Juli 2021. Sebenarnya tidak masalah juga jika 3 Juli dianggap sama dengan 13 Juni.


Sekarang mari kita berpura-pura bahwa 1 Desember sama dengan 11 November. Tidakkah kita impas? Itu telat sekitar 20 hari juga, atau 19. Beda tipis dan mari kita anggap sama juga.

 

Well, ini bukan soal balas dendam. Percayalah. Aku ingin membuat satu kelakar kecil bahwa kadang hal-hal konyol seperti ini perlu diperhitungkan sedemikian rupa--seolah kita makhluk yang tidak memiliki kesibukan lain sehingga detail kecil soal keterlambatan harus diperhitungkan juga.

 

***

 

Rik, kita sudah bahas ini di waktu lalu: bahwa kadang orang dewasa yang iri pada kebahagiaan anak-anak itu konyol. Menurutku memang anak-anak kecil-kecil imut-imut itu bahagia, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka bahagia. Ah, bahkan mereka juga tidak sebahagia itu.

 

Mari kita ingat masa lalu kita. Sampean pernah tumbuh sebagai anak-anak dan, seperti anak-anak lain di seluruh dunia, sampean pernah menangis untuk hal-hal sepele. Misalnya, ada penjual es lewat dan sampean gagal mem-begal Pak Es dengan pertukaran rupiah.

 

Sampean merasa hal itu sebagai masalah yang perlu dilihat oleh seluruh orang dewasa di seluruh dunia. Betapa persoalan es bagi anak kecil menyembul keluar membentuk neraka.

 

Maksudku, bahkan anak-anak yang kita anggap bahagia memiliki masalah yang bagi mereka serius.

 

Oh, maaf, mungkin sampean nggak pernah nangis gara-gara es atau hal-hal sepele lain. Tapi aku pernah. Jadi sebenarnya itu hanya pengalamanku. Tapi mari kita jujur sejenak bahwa dulu sampean mungkin pernah punya masalah serupa.

 

Dan sekarang sampean sudah 25 tahun lebih 20 hari. Atau 19 hari? Tak masalah. Mari kita anggap 25 lebih 20 hari.

 

Itu usia yang membuat sampean nggak bakal nangis gara-gara es krim. Tapi mungkin sampean bisa nangis gara-gara tesis. Tidak masalah, memang begitu wajarnya mahasiswa S2. Sudah saatnya kita menangisi tesis, bukan skripsi.

 

Sampean masih ingat saat-saat sulit nulis skripsi? Wah... Momen sialan. Tetapi sekarang ada yang lebih sialan. Tesis. Nanti ketika sampean punya kesempatan lanjut S3, momen sialan itu berubah menjadi disertasi. Saat-saat itu, mungkin tesis tampak mungil.

 

Aku punya saran, Rik. Dan ini juga berlaku untuk aku sendiri. Dari pada nunggu nulis disertasi untuk mengerdilkan soal tesis, kenapa kita sekarang tidak macak nulis disertasi saja? Jadi soal tesis ini akan tampak sederhana sebagaimana skripsi kita dulu.

 

Aku sering macak begitu, sih. Dan itu membuat segala rintangan itu mudah. Karena aku punya keyakinan tesis bakal selesai, dan seluruh energi harus aku gunakan untuk menulis, bukan untuk kesedihan yang di kemudian hari berujung sia-sia.

 

Bukankah kesedihan saat nulis skripsi itu sia-sia ketika sampean tahu bakal lulus dan kuncinya hanya keras kepala untuk maju.

 

Nah, aku dan sampean kesulitan mengatakan hal-hal seperti ini kepada anak-anak. Kita melihat mereka sebagai makhluk bahagia dan mereka kadang penuh kesedihan juga.

 

Kita makhluk yang penuh kesedihan juga, tetapi dengan pergeseran cara pandang, kita bisa menyadari bahwa anak-anak tidak sadar bahwa mereka bahagia. Sedangkan kita bisa sadar bahwa kita bahagia. Bahkan kita bisa merasa senang saat menghadapi rintangan, dengan cara macak naik kelas lebih dulu.

 

Betapa kadang menjadi dewasa itu menyenangkan. Kita bisa memilih banyak hal--yang mustahil dilakukan anak-anak. Jadi, selamat berbahagia menjadi dewasa.

 

Yah. Akhirnya, sampean boleh menangis dan menyerah menghadapi tesis. Dan sampean juga bisa keras kepala untuk terus maju. Kalau poin kedua yang sampean pilih, mari, bakar apinya.

 

***

 

Surat ini akhirnya ditulis juga. Ditulis dalam kondisi bahagia dan dengan tempo sesingkat-singkatnya, dalam momen setepat-tepatnya.

 

Kadang aku haru sedikit sombong, bahwa di seluruh dunia ini, nyari kawan kayak aku ini ya gampang-gampang susah. Atau mustahil sih, lha wong cuma ada satu biji. Itu artinya nyari kawan seperti sampean juga susah. Dan silakan sombong juga. Dan yang di atas kesombongan itu, ada kebanggaan yang harus dijaga, ialah pertemanan itu sendiri.

 

Sekali lagi, selamat berbahagia. Kalau sedang bersedih, tolong setidaknya berbahagialah membaca kalimat terakhir ini.


--Surabaya, 1 Desember 2022

Dosa

Saya senang pada ungkapan Pak Anton Chekhov ini: “Anda tidak akan menjadi orang suci melalui dosa orang lain.”