Minggu, 30 Juli 2023

Pelajaran dari Ambisi Mandiri

Tangan yang banyak menolong kadang berakhir dengan terlalu mengatur. Begitu kira-kira kata Goenawan Mohamad dan saya menyetujuinya dengan sepenuh hati. Itulah mengapa kadang saya berambisi, sebisa mungkin, untuk melakukan segala hal sendiri. Ambisi yang pernah mengarah pada kepongahan.


Dulu, saya sering dibantu oleh orang terkait hal yang saya kerjakan, atau saya usahakan, dan bahkan dibantu terhadap hal-hal yang saya cita-citakan. Tetapi tidak ada harga gratis di dunia ini. Belakangan saya baru merasa, ada banyak kepentingan di balik bantuan-bantuan yang datang, dari yang sekedar ingin dibantu kembali—dan ini wajar saja—hingga ada yang ingin “mengikat” saya dalam tugas-tugas tertentu tanpa batas waktu yang jelas.


Sejak itu kadang saya cukup skeptis dalam menerima bantuan “besar” dari orang lain. Saya tahu mungkin ini tidak sehat sebab tidak sepatutnya kita mencurigai dengan cara pandang negatif terhadap orang-orang yang mengulurkan bantuan. Tetapi di antara orang-orang baik itu, saya kira, selalu terselip orang-orang “tidak tulus”, yang berusaha mengulurkan bantuan dalam modus hutang, dan akan ia tagih dalam bentuk lebih besar di lain hari.


Mungkin memang seperti itu dunia bekerja, selalu ada orang buruk yang bersembunyi di balik kebaikan sehingga orang yang benar-benar baik dan tulus harus terdampak dicurigai. Selalu ada orang yang merusak ketulusan hingga mengaburkan batas antara kebaikan dan keburukan… lalu kecurigaan menjangkit secara akut, sebagaimana saya tulis di sini.


Selain itu, sebagaimana kata Pram, di luar sana ada orang yang bernafsu melihat kita sukses dan menjadi orang penting karena jasa mereka. “Apa mereka tidak mampu melakukannya untuk diri mereka sendiri?” kata Pram. Ketika pertama membaca kalimat ini di buku Bumi Manusia, saya terhenyak, betapa tajam insting Pram dalam melukiskan kepentingan-kepentingan manusia yang bersembunyi di ceruk-ceruk tindakan sehari-hari.


Jadi, saya meminimalisir berbagai kemungkinan terburuk yang akan menanti saya. Tentu saja ada banyak pengecualian. Misalnya, beberapa kali saya harus menerima bantuan orang dengan perjanjian awal, apa yang menjadi konsekuensi setelah bantuan itu diterima. Dan konsekuensi itu termasuk saling menguntungkan satu sama lain. Di hadapan kepentingan semacam itu, saya tenang-tentang saja, sebab ada kesepakatan bersama.


So, yang ingin saya katakan, kita perlu menghindari hutang budi yang tidak kita inginkan.


Memang seiring perguliran usia, saya selalu berharap mampu melakukan banyak hal sendiri. Menua berarti harus melakukan banyak hal sendiri. Kapanpun saya mampu menetralisir ketergantungan negatif terhadap orang, saat itulah, saya merasa mampu tumbuh lebih baik.


Kebiasaan ini, tentu membawa kelebihan dan kekurangan. Perangai mandiri mungkin menjadi poin plus. Tetapi dalam proses pembiasaannya, saya selalu terjebak dalam banyak kesulitan. Pada titik tertentu kesulitan itu adalah sejenis kesulitan konyol, sebab seperti menjebak diri sendiri dalam kesulitan yang diciptakan sendiri. Misalnya, ketika saya memerlukan bantuan orang untuk mengantar ke terminal, perlu proses membaca situasi sedemikian panjang.


Mula-mula saya akan mencoba mencari siapa saudara atau kenalan yang agak memiliki waktu luang. Setelah itu saya akan berpikir narasi seperti apa yang kiranya pas untuk saya katakan, sesopan mungkin. Kadang, sedemikian lama proses itu, hingga saya harus ketinggalan bus dan harus mengejar cukup jauh. Itupun jika terkejar.


Ketika masa akhir khidmah di pesantren dulu—sebenarnya masa itulah kebiasaan ini mulai muncul—saya pernah menyiapkan ujian madrasah diniyah… nyaris sendirian! Di pesantren saya ada enam kelas tingkat madrasah diniyah (bagi yang mungkin belum tahu, ini sekolah informal keagamaan), dan saya sendiri masih berada di kelas enam.


[Sebagai catatan, sejak kelas empat diniyah, saya diberi tugas untuk mengajar adik kelas, karena madrasah diniyah di pesantren kekurangan guru. Jadi di samping berstatus murid, saya juga membantu mengajar—dengan demikian bertatus sebagai guru juga.]


Apa yang saya maksud menyiapkan ujian sendirian? Cukup banyak: mengumpulkan soal ujian yang dibuat para guru. Bahkan saya harus mengambil soal tersebut di rumah guru-guru demi segera selesai. Setelah itu saya mengetik soal-soal tersebut. Lalu saya mencetaknya di tempat terdekat—itupun cukup jauh. Karena kejar-kejaran, kadang soal ujian yang harus siap diujikan siang hari, baru saya ketik di pagi hari, dan baru saya cetak ketika kelas akan berlangsung.


Seringkali kertas soal ujian yang diberikan pada peserta ujian masih terasa hangat! Karena baru keluar dari mesin fotocopy. Dan cerita belum selesai. Kadang saya harus menjaga ujian di beberapa kelas sekaligus. Setelah ujian selesai saya kembali keliling ke rumah guru untuk mengantar soal supaya segera dikoreksi. Beberapa kali saya harus mengoreksi soal yang sebagian guru berhalangan mengoreksi. Lalu saya menyiapkan laporan akhir. Lalu… entah.


Kenapa saya kerjakan sendiri? Kemana guru-guru lain? Ceritanya panjang dan rumit, perlu catatan lain untuk memahami duduk perkaranya. Tetapi yang jelas kondisi terdesak itu memaksa saya untuk mengerjakan semuanya nyaris sendiri, di samping bantuan teman-teman.


Ketika masuk jenjang kuliah, saya sudah terbisa melakukan banyak hal sendirian.


Efek buruk lain saya rasakan ketika KKN. Selama 40 hari menjalani tugas di kampung orang, seperti biasa, banyak pekerjaan saya lakukan sendiri, dari mencuci terpal, merawat tempat ibadah, bersosialisasi dengan warga, hingga menyusun program kerja tim. Saya melakukan semua nyaris mengikuti insting—maksudnya saya tidak menyadari bahwa kebisaan ini melukai perasaan kawan kelompok karena mereka merasa kontribusinya tidak diperhitungkan.


Hingga ada kawan yang memberi kritik bahwa program kerja KKN di tim saya adalah program KKN satu orang saja (maksudnya program kerja saya). Itulah tamparan keras yang menyentuh kesadaran saya. Ternyata kemampuan kerja-sama saya telah menurun pesat. Kepercayaan kepada orang lain kian menyusut. Ketakutan berhutang budi pada pihak lain, ternyata, mengantarkan sikap pongah luar biasa.


Memelihara sikap mandiri termasuk usaha baik; menghindari hutang budi yang tidak diinginkan juga baik. Tetapi menafikan kemampuan orang lain dalam sebuah kerja sama tentu adalah kepongahan. Pada akhirnya saya belajar, tidak semua tangan yang menolong akan mengatur. Di samping usaha untuk kebiasaan mandiri, saya belajar, bahwa ada tangan-tangan yang memang tulus mengulurkan bantuan, dan menolaknya jelas bukan pilihan bijak.

 

 

Parelman

Grigori Parelman benar-benar badaaas!!!!!!!

Sabtu, 22 Juli 2023

Bagaimana Rasa Bosan Mengalahkan Kita dan Merusak Kehidupan

Psikolog terkemuka dari Universitas Virginia, Timothy Wilson, melakukan sebuah riset menarik. Ia mengumpulkan ratusan relawan untuk mengambil bagian dalam apa yang ia sebut sebagai “Periode Berpikir”. Para relawan diminta duduk di sebuah ruang kosong selama beberapa menit. Duduk di ruang kosong itu dimaksudkan supaya mereka khusuk dan masuk ke dalam pikiran mereka sendiri, karena itu Wilson menyebutnya periode berpikir.


Setelah keluar dari ruangan mereka menyampaikan kesan: selama beberapa menit duduk tanpa apapun untuk dikerjakan, tidak ada rasa lain kecuali bosan dan perasaan tidak nyaman.


Jika relawan pertama tersebut hanya melibatkan mahasiswa, Wilson kemudian mencari relawan dari berbagai kalangan. Sama seperti sebelumnya, para relawan diminta duduk di ruang penelitian selama 6-15 menit. Bedanya kali ini tim peneliti meletakkan tombol listrik kejut yang bisa menyengat mereka dengan voltase yang telah diukur sedemikian rupa. Mereka bisa menekan tombol—menyetrum diri mereka sendiri—kapan saja mereka mau. Hasilnya mengejutkan, 67% pria dan 25% menekan tombol!


Dari pada merasakan bosan, orang rela menyakiti diri sendiri.


Riset di atas sekurang-kurangnya menunjukkan satu hal penting: kebanyakan orang tidak betah duduk diam untuk berpikir, bahkan jika hanya dalam waktu 15 menit! Padahal, tidak peduli profesi kita, kesibukan kita, keahlian kita, sesekali kita perlu masuk ke dalam pikiran sendiri barang sejenak sebab kebiasaan inilah yang dapat membantu kita menjadi manusia yang lebih baik.


Izinkan saya menjelaskan lebih jauh.


Jika kita mempelajari kehidupan tokoh-tokoh besar seperti Newton, Einstein, Hawking, bahkan Heidegger, kita akan menemukan satu ciri yang cukup sama: mereka gemar memasuki pikiran masing-masing. Tentu tidak semua orang harus menjadi Hawking atau Heidegger. Tetapi betapa kemampuan duduk diam dan berpikir barang beberapa menit telah menjadi kebiasaan orang-orang tertentu dan hal tersebutlah yang membuat dunia berubah.


Einstein belakangan mengaku, kebiasaan merenungnya membuat ia mampu berimajinasi dengan baik. Kemampuan imajinasi ini mengantar Einstein menemukan teori relativitas umum dan khusus, saat ia membayangkan menaiki gelombang cahaya. Dan Einstein tidak sendiri, ilmuan lain yang membuat penemuan melalui imajinasi antara lain Michael Faraday, Neils Bohr, dan Abdus Salam. Dalam bayangan saya, mereka menggemari kontemplasi dan menjelajah relung-relung imajinasi.


Andai menjadi partisipan riset Wilson di atas, jelas mereka tidak akan merasa bosan lantas menekan tombol listrik kejut. Alih-alih menekan tombol kejut, mereka pasti memanfaatkan saat-saat tersebut untuk berpikir. Jadi, orang-orang seperti ini cukup kebal dengan rasa bosan sebab jauh di dalam pikiran mereka ada arus pikiran yang selalu menantang dan menarik untuk dijelajah.


Jika tokoh-tokoh besar itu menjadikan “Periode Berpikir” untuk menyusun riset serius yang mengubah dunia, orang-orang biasa dapat memasuki “Periode Berpikir” sebagai sarana evaluasi: apa yang telah ia usahakan, apa yang bisa ia kembangkan, hal lain apa yang ingin ia kerjakan, cita-cita baru apa yang ia inginkan, dan sebagainya, dan sejenisnya, dan seterusnya. Perenungan semacam ini, barangkali, yang dapat membuat orang lebih mengenal diri mereka sendiri; lebih mampu mengevaluasi diri mereka sendiri.


Hasilnya, bisa jadi, orang tidak tolah-toleh pada kehidupan tetangga dengan cara negatif, sebab mereka selalu menyicil untuk mengenal diri mereka sendiri, lalu lebih memahami apa kekurangan dan kelebihan dirinya di banding orang lain. Kesadaran inilah yang membuat ia mampu mewajarkan pencapaian dirinya dan orang lain. Karena itu, ia tidak mudah terjebak untuk membandingkan kehidupan dirinya di tengah capaian orang sekitar.


Sebab ia sadar siapa dirinya. Sebab ia meluangkan waktu untuk merenung.


Tetapi tampaknya, hari demi hari, kita disibukkan oleh informasi di media sosial. Kita mengakses dunia melalui jari-jari, dan kita tenggelam dalam tumpukan informasi. Pernahkah kita menyadari, kejadian viral yang terjadi beberapa bulan lalu, telah kita lupakan hari ini. Ada “inflasi viral” sehingga kita mudah lupa bahkan kepada sesuatu yang viral. Telepon genggam, dengan seluruh informasi yang dapat kita akses, menjadi alat pembubuh rasa bosan kita.


Tetapi ada harga yang harus dibayar.


Manusia hari ini, termasuk saya, barangkali bisa disebut sebagai Homo ponselus (saya tahu ini istilah ngawur) dalam konotasi negatif. Tangan kita reflek meraih ponsel kapanpun kita senggang. Wong saat sibuk saja kita menyempatkan diri untuk melihat ponsep, apalagi senggang! Jadi, hari ini, kita kehilangan seni menikmati rasa bosan. Sedangkan bagi orang-orang tertentu, yang mampu memerangi rasa bosan, duduk tanpa gangguan di sekitar adalah keasyikan. Alih-alih kebosanan. Siapapun yang berada pada level ini, biasanya ia mampu melihat dunia dengan cara yang baru.


Dengan kata lain, bagi orang-orang tertentu, kesendirian tidak berarti kebosanan. Anda tahu, kesendirian tidak selalu berujung pada kebosanan dan, pada akhirnya kita bisa menyimpulkan, kesendirian tidak selalu bermuara pada kesepian. Ada perbedaan penting antara kesendirian dan kesepian. Orang-orang yang mampu merenung mungkin tampak sendiri, tetapi mereka tidak kesepian!


Dan itulah perbedaan antara orang yang memiliki kebiasaan merenung dan kebanyakan orang yang sibuk dengan hal-hal artifisal serba dangkal; yang sebenarnya tak terlalu penting juga untuk kehidupan dirinya. Padahal, dan ini bagian yang mengerikan, orang bisa bosan terhadap apa-apa yang mereka lihat di media sosial—konten yang pada mulanya digunakan untuk membunuh rasa bosan.


Kapanpun seseorang mereasa bosan dengan sesuatu yang pada awalnya dianggap hiburan, maka itulah awal dahaga kehidupan. Seperti air yang tidak menyembuhkan haus, sebab air telah gagal membasai kerongkongan, maka orang itu berada dalam kubangan dahaga berkepanjangan. Bukankah media sosial juga seperti itu: ia dapat gagal membunuh rasa bosan seseorang. Orang bisa merasakan bosan terhadap media sosial. Dan dahaga kehidupan dimulai. Mungkin pada akhirnya ia merasa dirinya tidak bermakna.


Bukankah fenomena di atas mudah kita temui? Salah satu penyebabnya, jangan-jangan, karena kita gagal menikmati kesendirian, dan kalah pada rasa bosan.

Tawa

Kata Groucho Marx, “Jika Anda kesulitan menertawakan diri sendiri, saya akan dengan senang hati melakukannya untuk Anda.”


Sial. Marx selalu lucu.