Jika mengikuti hukum alam, seharusnya saya sudah semaput kedinginan di dalam bus, tetapi, seperti Nabi Ibrahim yang tahan api, sejenak tubuh ini kebal dingin. Jika Nabi Ibrahim dapat mukjizat dari Tuhan, saya mungkin dapat energi dari keberuntungan, dan pertemanan.
**
Tanggal 2 Januari
lalu, saat saya sedang istirahat setelah baru tiba dari Surabaya, Nadia
mengirim pesan apakah ada agenda ke Surabaya lagi—barangkali kami bisa bertemu.
Saya menepuk jidat. Astaga. Nadia baru pulang ke Malang dari Yogyakarta dan,
sungguh, saya sudah melihat story WhatsApp-nya. Ini waktunya ketemu,
pikir saya melihat ia pulang. Tetapi saya menunda ajakan itu hingga ada waktu
longgar.
Namun karena rentetan
kerempongan, ingatan saya berkhianat dan chat Nadia pukul 17.58 sore itu
benar-benar memukul kesadaran. Saya mengatakan kami bisa bertemu di waktu
mendatang setelah sebelumnya ia berkabar akan kembali ke Yogyakarta sekitar
tanggal 17 Januari. Waktu masih tersedia.
Masih tanggal 2
Januari, pukul 20.09, Rahma mengirim pesan apakah saya sedang sibuk. Saya
merespon agak melantur, “Yok, mau kemana?” Ia menjawab tidak ingin kemana-mana
sebab hanya perlu ngopi di hari Jumat karena hanya hari itu yang berbaik hati
memberinya waktu libur. Lalu kami membahas hal lain yang menjadi tujuan awalnya
mengirim pesan.
Kami kembali
tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Baru pada tanggal 11 Januari,
Professor mengirim pesan apakah saya bisa ke Surabaya hari Jumat. Sebenarnya
sejak pagi saya sudah menimbang-nimbang untuk menghubungi beliau. Dan
keberuntungan berpihak, beliau menghubungi saya. Pukul 11.06 itu mata saya
langsung berbinar-binar.
10 menit kemudian
saya langsung mengirim pesan ke Nadia, “Jumat masih di Jatim?” ia menjawab
masih di Jatim lalu kami sepakat untuk bertemu di Surabaya. 10 Menit setelahnya
saya menghubungi Novi, tiga menit kemudian Azizah, dua menit kemudian Gus Yas,
tiga menit kemudian Rahma, memberi tawaran apakah bisa reuni kecil-kecilan. Gus
Yas bilang ada acara di Bangkalan tapi akan menyusul, Rahma belum bisa
memastikan karena ia masih harus ke kantor. Novi dan Azizah dipastikan bisa.
Personil lain saya
pasrah pada kawan-kawan untuk dihubungi. Nadia memberi kabar Mbak Hani bisa
bergabung. Ini akan menjadi reuni menyenangkan, pikir saya. Dan begitulah. Hari-hari
berlanjut tanpa saling memastikan apakah bisa hadir di hari Jumat. Bertambah tua
berarti harus membuat segala hal menjadi lebih mudah; merontokkan hal-hal yang
tak efisien. Setelah tidur tak puas, saya bangun pukul 02.17 untuk siap-siap ke
Surabaya.
Pukul 06.08 Nadia berkabar
baru berangkat dan tiba sekitar pukul 09.10. Di saat yang sama, mungkin Rahma
sedang berkutat merampungkan urusannya di kantor. Kami bertiga memang anggota
yang bertempat paling jauh untuk menuju Surabaya. O, Mbak Hani dari Karawang. Tetapi
ia sudah berada di Surabaya untuk keperluan keluarganya. Tentu saja ia tetap
dari Karawang.
Gus Yas, Azizah, dan Novi,
juga membayar banyak hal untuk pertemuan ini.
**
Saya tiba di kampus
pukul 08.21, langsung ganti baju, menyiapkan berkas, nelpon Nadia, dan menuju
kantor Professor. Kami berbincang tentang suatu urusan dan beliau
memperlihatkan draf buku yang sedang ditulis. Kebetulan riset kami cukup
berbenang-merah. Setelah rampung, saya sarapan dan bergeser ke fakultas untuk
sowan ke mentor saya. Novi sudah siap di fakultas juga, lalu Azizah menyusul.
Perkiraan saya, Nadia dan Mbak Hani sudah perjalanan menuju lokasi ngopi.
Baru pukul 10.48
saya, Novi, Azizah, bergeser ke lokasi dan Nadia-Mbak Hani sudah tiba. Bisakah
anda menebak adegan pertama perjumpaan kawan dekat yang terpisah agak lama dan
akhirnya bisa bertemu? Ya begitulah kira-kira, sebelum masuk angkringan kami
sedikit bertukar sapaan setengah histeris.
Dan tibalah saat-saat
pertukaran cerita yang telah ditabung. Mbak Hani memulai tentang kegelisahannya
setelah lulus dan pulang ke Karawang. “Aku harus melakukan sesuatu,” katanya. Jadi
ia melihat ibu-ibu yang memboroskan waktunya untuk hal-hal tak bermanfaat
sambil memupuk hutang titil. Apa yang Mbak Hani pilih sebagai solusi?
Pertanian!
Dan kami melongo
ketika Mbak Hani menunjukkan foto-foto cabai yang ia tanam. Kami juga makin
terkejut ketika ia bilang menggendong tanki untuk menyiram, memberi obat, dan
perawatan-perawatan lain. “Aku harus buktikan dulu kalo ini bermanfaat dan ada
hasilnya,” kira-kira begitu katanya.
Se-totalitas itu ia
membangun proyek KKN seumur hidup di desanya. Kami semua mafhum Mbak Hani sudah
mengambil sekolah bisnis, tetapi pertanian yang ia rintis jelas di luar dugaan
kami. Tetapi bagaimanapun, ia tepat, pertanian adalah hal yang paling dekat
dengan pedesaan. Sekali mereka bisa bangkit dari sektor ini, maka separuh masalah hidup mereka bisa dibilang bisa diatasi. Dan cabai adalah pilihan yang akurat
sebab lebih menjanjikan.
Namun, tidak seperti
kebanyakan orang yang besar ambisi tapi minim strategi, Mbak Hani benar-benar
meriset apa yang ia butuhkan. Inilah mungkin kebisaan positif kuliah dan sekolah.
Alih-alih maju buta, ia bisa mengatur strategi dengan perhitungan matang. Itu manfaat
dari kebiasaan berpikir “benar” ala tugas-tugas kuliah. Mbak Hani juga masih
mengajar tafsir, dengan siswa dari berbagai belahan bumi. Ia menyusun sendiri
kurikulumnya.
Tidak lama kemudian,
setelah Jumatan, Gus Yas dan Rahma datang. Suara-suara histeris kembali muncul.
Sepertinya Gus Yas membatalkan acaranya di Bangkalan. Saya tidak tahu pasti dan
ia hanya mengaku akan ke Bangkalan Senin depan. Rahma, entahlah, ia baru
sekitar satu 30 menit atau satu jam lalu menelpon Novi dan sudah tiba di Surabaya. Mojokerto-Surabaya
hanya ia tempuh sepadat 30-50 menit. Jaraknya sekitar 50 KM dengan kemacetan
bertabur di mana-mana.
Apakah ia menarik
tuas gas hingga 120 km/jam?
Personil lebih
lengkap. Nadia... dari banyak hal yang ia ceritakan, kesan kuat yang saya
tangkap adalah betapa sulitnya menjadi sosok pintar yang sadar, terutama sadar
bahwa tidak semua orang harus sepintar orang pintar tadi. Nadia kerap bertemu
orang-orang seperti ini, ialah orang yang menetapkan standar “pintar” dan
menjadikan standar itu sebagai alat penghakiman. “Berarti orang itu ya nggak
pinter, Nad,” kata Mbak Hani.
Tetapi ia beruntung
dapat bertemu sosok-sosok hebat yang dapat menata alur berpikirnya mengenai
dunia akedemik. Tidak semua orang mendapat dosen bagus yang membimbing sedetail
itu, sebagian malah harus berkutat mencari puzzle sendiri untuk membentuk cara
dia memahami dunia akademik. Dan mencari sendiri, kita tahu, rawan tersesat
sebelum akhirnya bisa sampai pada titik pemberhentian yang tepat.
Lalu ia bercerita
mengenai proyeksinya setelah pernikahan. Konon ia bersiap-siap tinggal di desa
dan Mas Azuma, sama seperti Mbak Hani, akan menjelajah dunia pertanian, juga
pendidikan yang sedang dibangun. Saya kira keduanya selalu berada dalam
komposisi yang pas, meski saya belum pernah bertemu langsung dengan Mas Doi.
Sulit sekali membayangkan sarjana kita akan mendekat pada dunia pertanian. Kabar
dari kedua sahabat saya ini cukup menyenangkan.
Saya ingin menulis
apa yang dikatakan Rahma tetapi, entahlah, saya khawatir terlalu menyinggung
orang-orang “dikeramatkan” dan berbuntut panjang bagi kami. Yang jelas ia
memberi garis tebal bahwa pendidikan kita sedang sakit-sakitan dan jika tidak
segera ditolong ia akan mati mengenaskan dan menyisakan rentetan masalah bagi
anak-anak. Ia juga memberi bukti-bukti percakapan yang membuat kami menyelami keheningan
di kepala masing-masing dengan perasaan getir: Bisa separah itu, ya?
Saya berharap ia mendapat
banyak sumber energi untuk menghadapi masalah di depan, atau menghadapi
tantangan di depan. Bergantung kondisi pikiran dan dari sudut mana kita
melihatnya.
Gus Yas dan Novi
sesekali memberi respon dan memeriahkan suasana. Tetapi mereka tidak bertukar
banyak cerita. Apa sedang menghadapi hal pelik? Gus Yas sedang sibuk
mempersiapkan sesuatu yang kita semua akan tahu nanti. Novi jelas sedang
berkutat dengan tugas akhir di depan mata. Ditambah harus bersiap ke Situbondo.
Dan ia menjadwal ulang jam ngajar demi bisa bersama lebih lama. Sepertinya itu
kombinasi yang membuat Novi lebih suka mendengar dan merespon.
Untuk Gus Yas dan
Novi, semoga keberuntungan selalu hinggap, ya. Untuk kawan-kawan lain juga,
tentu saja. Setelah pertemuan itu, sepertinya kami layak mendapat tidur nyenyak. Jika hati nurani
harus mempertanyakan beberapa dosa dan kepala memikirkan insecure, mereka harus
berlibur.
Kami bergeser ke McDonald’s,
penutup untuk merayakan pertemuan. Yang saya catat: Tempat makan seperti itu
punya sistem pemesanan yang “ribet” bagi saya. Jika saya masuk sendirian jelas
clingak-clinguk. Sistem Sinjay tampak lebih “ramah”, sepertinya.
**
Azizah sudah ditelpon
berkali-kali untuk segera pulang tilik bayi di RS. Ia harus tiba
sebelum pukul 08.00. Saya juga dikejar bus yang 30 menit lagi berangkat. Maka kami
bergegas menuju Bungur dan membelah jalanan macet. “Motorku kecil, mudah
nyelip,” kata Azizah. Sesekali saya mendahului dengan jarak mepet yang membuat
Azizah bergidik kecil. Azizah memberi instruksi untuk memilih jalan tikus dan
saat separuh perjalanan, hujan turun dengan keseriusan maksimal, seolah kami
adalah musuh angker yang harus dihajar babak-belur.
Tentu saja kami
kelabakan, tetapi memutuskan terus menggelinding menuju terminal. Jika saya
telat, harus pulang besok dan itu tidak baik karena ada jadwal ngajar. Saya
kaget Azizah menjadi navigator andal sore itu. Ia memberi instruksi jitu
tentang putar balik, belok kiri, belok kanan, ambil lajur kiri, ambil lajur
kanan, dan seterusnya, dengan sedikit nada panik karena... diguyur hujan.
Kami melewati
jalan-jalan kecil di perumahan yang sama sekali asing bagi saya. Gila, sejak
kapan Azizah menjadi Gmaps berjalan. Di tengah keterburuan, ada jalur
ditutup dan membuat kami terhenti di tengah jalan, di tengah hujan deras. Saya kasihan
padanya, jika diguyur bareng doi, itu momen romantis, tetapi di guyur hujan
bareng saya... apes namanya. “Bajuku bisa diperas lho, Cak,” katanya. Bukan hanya
baju, bukunya juga basah kuyup!
Sekujur tubuh dan
baju saya juga basah saat kami tiba di belakang bus jurusan rumah. Bus itu
penuh karena akhir pekan. Saya harus menempuh perjalanan empat jam. Apakah ac di
bus itu tidak akan membunuh tubuh basah saya? Jadi saya hendak turun-batal-pulang
tetapi kondektur berhasil menggeser penumpang sehingga saya beruntung bisa duduk
di belakang.
Saya duduk di pojok dan mengambil jarak supaya tidak membasahi penumpang lain. Satu blower ac bisa saya tutup diam-diam saat penumpang lain tidur. Lalu saya menelpon Azizah dan ia memilih batal pulang. Nadia aman dari guyuran hujan dan tiba di rumah sekitar pukul 20.00-an. Rahma masih di Surabaya dan baru pulang keesokan harinya.
Setelah memberi kabar pada kawan-kawan, sambil menuju rumah, saya
mengingat detail-detail pertemuan untuk menjadi rancangan tulisan dan itu membuat pertemanan memiliki efek hangat yang
panjang. Jika mengikuti hukum alam, seharusnya saya sudah semaput kedinginan
di dalam bus, tetapi, seperti Nabi Ibrahim yang tahan api, sejenak tubuh ini
kebal dingin. Jika Nabi Ibrahim dapat mukjizat dari Tuhan, saya mungkin dapat
energi dari keberuntungan, dan pertemanan.
**
Untuk Rahma, Nadia, Gus Yas, Novi, Azizah, Mbak Hani, dan seluruh kawan
yang ingin merayakan pertemanan tetapi terhalang berbagai hal.