Senin, 16 Januari 2023

Mukjizat dari Pertemanan

Jika mengikuti hukum alam, seharusnya saya sudah semaput kedinginan di dalam bus, tetapi, seperti Nabi Ibrahim yang tahan api, sejenak tubuh ini kebal dingin. Jika Nabi Ibrahim dapat mukjizat dari Tuhan, saya mungkin dapat energi dari keberuntungan, dan pertemanan.

 

**

 

Tanggal 2 Januari lalu, saat saya sedang istirahat setelah baru tiba dari Surabaya, Nadia mengirim pesan apakah ada agenda ke Surabaya lagi—barangkali kami bisa bertemu. Saya menepuk jidat. Astaga. Nadia baru pulang ke Malang dari Yogyakarta dan, sungguh, saya sudah melihat story WhatsApp-nya. Ini waktunya ketemu, pikir saya melihat ia pulang. Tetapi saya menunda ajakan itu hingga ada waktu longgar.


Namun karena rentetan kerempongan, ingatan saya berkhianat dan chat Nadia pukul 17.58 sore itu benar-benar memukul kesadaran. Saya mengatakan kami bisa bertemu di waktu mendatang setelah sebelumnya ia berkabar akan kembali ke Yogyakarta sekitar tanggal 17 Januari. Waktu masih tersedia.


Masih tanggal 2 Januari, pukul 20.09, Rahma mengirim pesan apakah saya sedang sibuk. Saya merespon agak melantur, “Yok, mau kemana?” Ia menjawab tidak ingin kemana-mana sebab hanya perlu ngopi di hari Jumat karena hanya hari itu yang berbaik hati memberinya waktu libur. Lalu kami membahas hal lain yang menjadi tujuan awalnya mengirim pesan.


Kami kembali tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Baru pada tanggal 11 Januari, Professor mengirim pesan apakah saya bisa ke Surabaya hari Jumat. Sebenarnya sejak pagi saya sudah menimbang-nimbang untuk menghubungi beliau. Dan keberuntungan berpihak, beliau menghubungi saya. Pukul 11.06 itu mata saya langsung berbinar-binar.


10 menit kemudian saya langsung mengirim pesan ke Nadia, “Jumat masih di Jatim?” ia menjawab masih di Jatim lalu kami sepakat untuk bertemu di Surabaya. 10 Menit setelahnya saya menghubungi Novi, tiga menit kemudian Azizah, dua menit kemudian Gus Yas, tiga menit kemudian Rahma, memberi tawaran apakah bisa reuni kecil-kecilan. Gus Yas bilang ada acara di Bangkalan tapi akan menyusul, Rahma belum bisa memastikan karena ia masih harus ke kantor. Novi dan Azizah dipastikan bisa.


Personil lain saya pasrah pada kawan-kawan untuk dihubungi. Nadia memberi kabar Mbak Hani bisa bergabung. Ini akan menjadi reuni menyenangkan, pikir saya. Dan begitulah. Hari-hari berlanjut tanpa saling memastikan apakah bisa hadir di hari Jumat. Bertambah tua berarti harus membuat segala hal menjadi lebih mudah; merontokkan hal-hal yang tak efisien. Setelah tidur tak puas, saya bangun pukul 02.17 untuk siap-siap ke Surabaya.


Pukul 06.08 Nadia berkabar baru berangkat dan tiba sekitar pukul 09.10. Di saat yang sama, mungkin Rahma sedang berkutat merampungkan urusannya di kantor. Kami bertiga memang anggota yang bertempat paling jauh untuk menuju Surabaya. O, Mbak Hani dari Karawang. Tetapi ia sudah berada di Surabaya untuk keperluan keluarganya. Tentu saja ia tetap dari Karawang.  


Gus Yas, Azizah, dan Novi, juga membayar banyak hal untuk pertemuan ini.

 

**

 

Saya tiba di kampus pukul 08.21, langsung ganti baju, menyiapkan berkas, nelpon Nadia, dan menuju kantor Professor. Kami berbincang tentang suatu urusan dan beliau memperlihatkan draf buku yang sedang ditulis. Kebetulan riset kami cukup berbenang-merah. Setelah rampung, saya sarapan dan bergeser ke fakultas untuk sowan ke mentor saya. Novi sudah siap di fakultas juga, lalu Azizah menyusul. Perkiraan saya, Nadia dan Mbak Hani sudah perjalanan menuju lokasi ngopi.  


Baru pukul 10.48 saya, Novi, Azizah, bergeser ke lokasi dan Nadia-Mbak Hani sudah tiba. Bisakah anda menebak adegan pertama perjumpaan kawan dekat yang terpisah agak lama dan akhirnya bisa bertemu? Ya begitulah kira-kira, sebelum masuk angkringan kami sedikit bertukar sapaan setengah histeris.


Dan tibalah saat-saat pertukaran cerita yang telah ditabung. Mbak Hani memulai tentang kegelisahannya setelah lulus dan pulang ke Karawang. “Aku harus melakukan sesuatu,” katanya. Jadi ia melihat ibu-ibu yang memboroskan waktunya untuk hal-hal tak bermanfaat sambil memupuk hutang titil. Apa yang Mbak Hani pilih sebagai solusi? Pertanian!


Dan kami melongo ketika Mbak Hani menunjukkan foto-foto cabai yang ia tanam. Kami juga makin terkejut ketika ia bilang menggendong tanki untuk menyiram, memberi obat, dan perawatan-perawatan lain. “Aku harus buktikan dulu kalo ini bermanfaat dan ada hasilnya,” kira-kira begitu katanya.


Se-totalitas itu ia membangun proyek KKN seumur hidup di desanya. Kami semua mafhum Mbak Hani sudah mengambil sekolah bisnis, tetapi pertanian yang ia rintis jelas di luar dugaan kami. Tetapi bagaimanapun, ia tepat, pertanian adalah hal yang paling dekat dengan pedesaan. Sekali mereka bisa bangkit dari sektor ini, maka separuh masalah hidup mereka bisa dibilang bisa diatasi. Dan cabai adalah pilihan yang akurat sebab lebih menjanjikan.


Namun, tidak seperti kebanyakan orang yang besar ambisi tapi minim strategi, Mbak Hani benar-benar meriset apa yang ia butuhkan. Inilah mungkin kebisaan positif kuliah dan sekolah. Alih-alih maju buta, ia bisa mengatur strategi dengan perhitungan matang. Itu manfaat dari kebiasaan berpikir “benar” ala tugas-tugas kuliah. Mbak Hani juga masih mengajar tafsir, dengan siswa dari berbagai belahan bumi. Ia menyusun sendiri kurikulumnya.


Tidak lama kemudian, setelah Jumatan, Gus Yas dan Rahma datang. Suara-suara histeris kembali muncul. Sepertinya Gus Yas membatalkan acaranya di Bangkalan. Saya tidak tahu pasti dan ia hanya mengaku akan ke Bangkalan Senin depan. Rahma, entahlah, ia baru sekitar satu 30 menit atau satu jam lalu menelpon Novi dan sudah tiba di Surabaya. Mojokerto-Surabaya hanya ia tempuh sepadat 30-50 menit. Jaraknya sekitar 50 KM dengan kemacetan bertabur di mana-mana.


Apakah ia menarik tuas gas hingga 120 km/jam?


Personil lebih lengkap. Nadia... dari banyak hal yang ia ceritakan, kesan kuat yang saya tangkap adalah betapa sulitnya menjadi sosok pintar yang sadar, terutama sadar bahwa tidak semua orang harus sepintar orang pintar tadi. Nadia kerap bertemu orang-orang seperti ini, ialah orang yang menetapkan standar “pintar” dan menjadikan standar itu sebagai alat penghakiman. “Berarti orang itu ya nggak pinter, Nad,” kata Mbak Hani.


Tetapi ia beruntung dapat bertemu sosok-sosok hebat yang dapat menata alur berpikirnya mengenai dunia akedemik. Tidak semua orang mendapat dosen bagus yang membimbing sedetail itu, sebagian malah harus berkutat mencari puzzle sendiri untuk membentuk cara dia memahami dunia akademik. Dan mencari sendiri, kita tahu, rawan tersesat sebelum akhirnya bisa sampai pada titik pemberhentian yang tepat.


Lalu ia bercerita mengenai proyeksinya setelah pernikahan. Konon ia bersiap-siap tinggal di desa dan Mas Azuma, sama seperti Mbak Hani, akan menjelajah dunia pertanian, juga pendidikan yang sedang dibangun. Saya kira keduanya selalu berada dalam komposisi yang pas, meski saya belum pernah bertemu langsung dengan Mas Doi. Sulit sekali membayangkan sarjana kita akan mendekat pada dunia pertanian. Kabar dari kedua sahabat saya ini cukup menyenangkan.


Saya ingin menulis apa yang dikatakan Rahma tetapi, entahlah, saya khawatir terlalu menyinggung orang-orang “dikeramatkan” dan berbuntut panjang bagi kami. Yang jelas ia memberi garis tebal bahwa pendidikan kita sedang sakit-sakitan dan jika tidak segera ditolong ia akan mati mengenaskan dan menyisakan rentetan masalah bagi anak-anak. Ia juga memberi bukti-bukti percakapan yang membuat kami menyelami keheningan di kepala masing-masing dengan perasaan getir: Bisa separah itu, ya?


Saya berharap ia mendapat banyak sumber energi untuk menghadapi masalah di depan, atau menghadapi tantangan di depan. Bergantung kondisi pikiran dan dari sudut mana kita melihatnya.


Gus Yas dan Novi sesekali memberi respon dan memeriahkan suasana. Tetapi mereka tidak bertukar banyak cerita. Apa sedang menghadapi hal pelik? Gus Yas sedang sibuk mempersiapkan sesuatu yang kita semua akan tahu nanti. Novi jelas sedang berkutat dengan tugas akhir di depan mata. Ditambah harus bersiap ke Situbondo. Dan ia menjadwal ulang jam ngajar demi bisa bersama lebih lama. Sepertinya itu kombinasi yang membuat Novi lebih suka mendengar dan merespon.


Untuk Gus Yas dan Novi, semoga keberuntungan selalu hinggap, ya. Untuk kawan-kawan lain juga, tentu saja. Setelah pertemuan itu, sepertinya kami layak mendapat tidur nyenyak. Jika hati nurani harus mempertanyakan beberapa dosa dan kepala memikirkan insecure, mereka harus berlibur.


Kami bergeser ke McDonald’s, penutup untuk merayakan pertemuan. Yang saya catat: Tempat makan seperti itu punya sistem pemesanan yang “ribet” bagi saya. Jika saya masuk sendirian jelas clingak-clinguk. Sistem Sinjay tampak lebih “ramah”, sepertinya.   

 

**

 

Azizah sudah ditelpon berkali-kali untuk segera pulang tilik bayi di RS. Ia harus tiba sebelum pukul 08.00. Saya juga dikejar bus yang 30 menit lagi berangkat. Maka kami bergegas menuju Bungur dan membelah jalanan macet. “Motorku kecil, mudah nyelip,” kata Azizah. Sesekali saya mendahului dengan jarak mepet yang membuat Azizah bergidik kecil. Azizah memberi instruksi untuk memilih jalan tikus dan saat separuh perjalanan, hujan turun dengan keseriusan maksimal, seolah kami adalah musuh angker yang harus dihajar babak-belur.


Tentu saja kami kelabakan, tetapi memutuskan terus menggelinding menuju terminal. Jika saya telat, harus pulang besok dan itu tidak baik karena ada jadwal ngajar. Saya kaget Azizah menjadi navigator andal sore itu. Ia memberi instruksi jitu tentang putar balik, belok kiri, belok kanan, ambil lajur kiri, ambil lajur kanan, dan seterusnya, dengan sedikit nada panik karena... diguyur hujan.


Kami melewati jalan-jalan kecil di perumahan yang sama sekali asing bagi saya. Gila, sejak kapan Azizah menjadi Gmaps berjalan. Di tengah keterburuan, ada jalur ditutup dan membuat kami terhenti di tengah jalan, di tengah hujan deras. Saya kasihan padanya, jika diguyur bareng doi, itu momen romantis, tetapi di guyur hujan bareng saya... apes namanya. “Bajuku bisa diperas lho, Cak,” katanya. Bukan hanya baju, bukunya juga basah kuyup!


Sekujur tubuh dan baju saya juga basah saat kami tiba di belakang bus jurusan rumah. Bus itu penuh karena akhir pekan. Saya harus menempuh perjalanan empat jam. Apakah ac di bus itu tidak akan membunuh tubuh basah saya? Jadi saya hendak turun-batal-pulang tetapi kondektur berhasil menggeser penumpang sehingga saya beruntung bisa duduk di belakang.


Saya duduk di pojok dan mengambil jarak supaya tidak membasahi penumpang lain. Satu blower ac bisa saya tutup diam-diam saat penumpang lain tidur. Lalu saya menelpon Azizah dan ia memilih batal pulang. Nadia aman dari guyuran hujan dan tiba di rumah sekitar pukul 20.00-an. Rahma masih di Surabaya dan baru pulang keesokan harinya.


Setelah memberi kabar pada kawan-kawan, sambil menuju rumah, saya mengingat detail-detail pertemuan untuk menjadi rancangan tulisan dan itu membuat pertemanan memiliki efek hangat yang panjang. Jika mengikuti hukum alam, seharusnya saya sudah semaput kedinginan di dalam bus, tetapi, seperti Nabi Ibrahim yang tahan api, sejenak tubuh ini kebal dingin. Jika Nabi Ibrahim dapat mukjizat dari Tuhan, saya mungkin dapat energi dari keberuntungan, dan pertemanan.

 

**

 

Untuk Rahma, Nadia, Gus Yas, Novi, Azizah, Mbak Hani, dan seluruh kawan yang ingin merayakan pertemanan tetapi terhalang berbagai hal.

 

Dicintai? Ditakuti?

Sebuah pertanyaan: Lebih baik mana, ditakuti atau dicintai?


Bergantug siapa yang kautanya, Dulur. Machiavelli akan menjawab lebih baik ditakuti karena, menurutnya, manusia secara umum tidak tahu cara berterima kasih, munafik, tamak, takut akan bahaya; selama kau memberi keberuntungan pada mereka, mereka akan memberi sesuatu padamu. Ketika bahaya datang, mereka memberontak. Jika kau bergantung pada kata-kata mereka tanpa ada persiapan, kau akan hancur.


Lihat Machiavelli, Il Principe, 119.

 

Bagaimana menurut Budha? Well, kau tahu jawabannya.

Selasa, 03 Januari 2023

Kondangan, Kerumitan, Kehangatan

Hari itu saya enggan berdebat dengan nasib dan menjalani saja sesuatu yang memang harus terjadi: Bangun pukul 02.00 dini hari, mandi air dingin, makan nasi hangat, dan melesatsambil menyerap dingincari bus menuju Surabaya. Ibu membawakan bekal dan saya mengucap terima kasih.

 

7 menit berdiri di depan masjid, bus pemberangkatan pertama nampak, lantas berhenti pelan di depan saya. Lalu di tempat duduk itu kedua mata mulai merem untuk menabung energi, sebab, menurut Gmaps, perjalanan masih 365 kilometer lagi! Pagi itu Marengan terasa jauh dari rumahmaksud saya, alangkah betapa jauh. Pukul 03.16 saya baru berkabar pada kawan-kawan bahwa sudah berada di bus.

 

***


Pukul 05.32 bus masuk jalan tol dan pikiran saya gelisah tak jelas: Perjalanan ini sudah penuh kesulitan sejak beberapa hari sebelumnya, terutama soal rental mobil: Kehabisan unit karena tahun baru. Apakah mobil rental yang saya booking sudah siap? Apakah bisa berangkat tepat waktu? Demi mengusir bayang-bayang ini, saya mengalihkan diri membaca cerpen-cerpen lucu. Sebelum tol berakhir saya melihat bapak-bapak menggendong anaknya, atau cucu. Mereka berada di luar pagar tol dan di bawah pohon rindang.

 

Si balita tertawa riang melihat lalu-lalang mobil yang di matanya mungkin tampak lucu. Tawa si anak menular pada si bapak yang mungkin penuh beban sehari-hari. Tawa si bapak menular senyum pada wajah saya. sepersekian detik frame itu menenangkan saya.

 

Akhirnya saya tiba di Bungur pukul 06.40 dan tiba di kampus 20 menit kemudian. Di sana saya janjian sama Novi dan Mbak Lae, untuk menuju rental mobil. Kami baru berangkat pukul 07.22. Saya memacu motor agak pelan khawatir Mbak Dini tidak bisa mengikuti di belakang. Tetapi ia menyalip dalam kecepatan tinggi. Wah, ini sih pembalap, batin saya. Cocok untuk diburu waktu seperti itu. Di jalan kami melihat satu kecelakaan tak fatal dan kami tetap tancap gas.

 

Tiba di rental, mobil yang kami sewa belum pulang dari penyewa sebelumnya. "Sekitar satu jam lagi," kata Mas Rasyid. Sejenak saya terpaku dan memikirkan solusi terbaik. Menunggu jelas buang waktu. Pikiran saya tertuju pada Pak Riyanto yang sedari kemarin terlibat negosiasi. Ia menyediakan Elf dengan harga miring. Biasanya 2 juta untuk tahun baru, tetapi 1 juta sudah cukup.

 

Itu tawaran yang saya tolak tanpa berembuk pada kawan, sebab selain soal harga, menurut keimanan saya, suspensi Elf dirancang oleh bocah patah hati, sehingga saat dinaiki, tubuh serasa dikocok, dan dijamin sekujur tubuh ditaburi rasa encok. Nah, di rental itu ada Innova Reborn yang siap disewa. Setelah berembuk, kami sepakat nambah iuran dan memakai mobil itu. Drama mobil selesai.

 

Mobil bergerak ke titik lain menjemput rombongan. Mbak Wardah, Mbak Dini, Ami, Kikiyang sambil bawa sarapan untuk sopir, naik ke mobil. Menyusul Gus Yasin. Formasi sudah lengkap untuk membuat suasana kabin muncul lelucon. Musik sedih juga menjejali telinga. Konon menurut Gus Yasin sering muncul kaum yang selalu merasa tersakiti tanpa ada yang menyakiti.

 

***

 

Pilihan kami untuk sewa Reborn ini terasa benar-benar tepat. Ia bisa lari 140 KM/h tanpa ngos-ngosan. Suspensinya juga senyap melibas gelombang dan lubang jalanan. Top. Saya menyelip-nyelip tanpa ragu mesin kehabisan tenaga. Tanpa ragu menginjak lubang. Itulah kenapa dalam hitungan +-3 jam kami sudah di Prenduan, dengan tiga kali perhentian: Isi BBM, menunaikan hajat--sambil saya selip ritual sarapan, dan ritual wajib dandan.

 

Sampang kota direndam banjir tapi kami bisa lewat jalur alternatif. Selain musim hujan dan kemarau, di negeri indah ini ada musim banjir. Konon ia produk kegagalan manusia mengelola alam. Saya melihat genangan air sungai dengan getir: Perilaku saya, entah di mana dan kapan, mungkin pernah menyumbang banjir ini.

 

Selepas dandan di masjid Gemma, kami bergegas ke Marengan. Informasi penting, karakter masyarakat di sini sepertinya sangat terbuka sehingga takmir menulis "Silakan gunakan fasilitas di masjid ini untuk ibadah. Istirahat di serambi. Nah, seharusnya semua masjid seperti ini, pikir saya. Ramah musafir. Watak ramah warga bisa diukur dari keterbukaan masjid seperti ini. Di tengah jalan menuju kota,  kami dihadang informasi bahwa kota Sumenep banjir.

 

Banjir memaksa kami putar rute lewat Saronggi-Lenteng. "Lewat sini ke Marengan bisa, Pak?" tanya saya dalam Bahasa Madura pada bapak-bapak. "Bisa. Naik angkot hanya lima ribu," katanya. Saya menjawab bawa kendaraan sendiri dan ia tetap bersikukuh bahwa ongkos naik angkot lima ribu.

 

Saya menyerah, mengucap terima kasih dan masuk mobil. Bapak ini mungkin sedang mengantuk, pikir saya. Mbak Dini dan Mbak Lae--atau Wardah--mengambil alih untuk mencari info rute. Kami sampai juga di Marengan, pukul 14.00-an. Kuade manten berdiri di atas banjir setengah betis. Astaga. Wartawan meliput fenomena ini dengan sudut pandang dramatis.

 

Kami cukup tenang bisa datang, setidaknya bisa menyumbang perasaan solid pada pengantin di tengah kebanjiran yang mereka hadapi. Di tengah banjir mereka masih tampak bahagia dan saya kira mereka akan mudah memungut perasaan gembira dari banyak hal.

 

Mbak Faiq menertawai kami yang memutar arah gara-gara banjir dan setengah bercanda ia bilang: "Kan sudah 'ku bilang mampir ke rumah dulu, lalu lewat Lenteng. Cengkal sih, jadi anak," katanya. Saya yang memang menyesal acuh padanya hanya bisa menikmati kekeliruan dan menganggap kalimat itu sebagai nasihat dari ibu. Nah, pulangnya kami memilih lewat jalur Lenteng, mampir dan istirahat di rumah Faiq, atau, menurut mata saya, mampir ke istana Faiq.

 

Abah dan Mama Faiq sosok yang riang dan memelihara rasa penasaran terhadap orang-orang yang mereka temui. Beliau juga murah tawa dan takjub bagaimana orang tua Novi yang dari Jombang dan Bojonegoro bisa bertemu dan menikah dan menetap di Surabaya. Kok bisa ketemu? katanya antusias.

 

Mbak Dini lantas memulai pertanyaan menarik bagaimana orang tua Faiq bisa bertemu dan menikah. Lalu... kisah penuh tawa itu dimulai. Abah Faiq punya satu versi bahwa Mama Faiq mengejarnya, dan Mama Faiq punya versi lain bahwa Abah Faiq yang mengejarnya. Mbak Dini mencoba menafsirkan tindakan cowok yang memang seperti itu dari dulu. Setelah bikin penasaran lalu pergi.

 

Saya cuma bisa ketawa menikmati keceriaan dan merasakan letih mulai menguap. Sekitar satu setengah jam kami di sana dan terpaksa harus mengakhiri rentetan tawa. Kami pamit dengan berat hati dan menjawab insyaallah akan berkunjung di lain waktu saat Abah bertanya kapan akan singgah di rumah itu lagi. "Kalau ngantuk istirahat, ya," pesan Abah pada saya--sebagai sopir. 


Jika tidak terkejar waktu, kami pasti sepakat untuk menginap di sana dan meneruskan suasana hangat selama mungkin. 

 

***

 

Kami bertolak dari rumah Faiq pukul 17.48. Satu jam kemudian sudah sampai Pamekasan kota. Jam sembilan kami berhenti di masjid Galis. Betis saya  berdenyut linu. Dalam sejarah persopiran, baru kali ini betis saya seperti itu, membuat berjalan agak pincang. Pukul 22-.00-an kami tiba di Surabaya dan penjaga rental berbaik hati mengantar ke Ampel. Rombongan praktis berpisah di rental setelah mengucap terima kasih.

 

Tugas saya adalah melahap habis sisa sarapan yang dibawa Kiki. Dan bergegas tidur, setelah pukul 23.40-an. Akhirnya saya bisa istirahat. Lalu bangun pukul 04.30. Gus Yasin menyusul bangun dan, belum sempat bangkit, sudah menyuruh saya makan nasi yang ia punya. Pukul 08.00 kami sarapan. Nasi dari Bella dan Gus Yasin dicampur sehingga sama-sama dimakan. Oleh-oleh dari dari Faiq dan Novi saya bawa pulang. Jadi, semua pemberian berhasil dieksekusi.

 

Pukul 08.55 saya naik bus dari JMP menuju Bungur. Bus rute ke rumah berangkat jam sepuluh dan saya khawatir ketinggalan. Untung bus kota lewat tol. Saya turun di Medaeng dan berjalan ke arah pintu tol Malang-Pasuruan. Bus sudah tampak dan ketika masuk... alamak, penuh seluruh. Rasanya tak mampu jika harus berdiri berjam-jam.

 

Lalu saya ndlosor di bawah dengan kaki terlipat sedemikian rupa. Bokong dan punggung terasa panas karena posisi serba terjepit dan mata harus menahan kantuk. Tiba di Probolinggo, saya dapat kursi. Semesta terasa bermurah hati. Saya berharap Mbak Dini dapat nasib lebih baik saat menuju Malang.

 

Saya tiba di masjid tempat parkir motor. Lalu setelah salat masuk apotek untuk beli vitamin. Tiba di rumah saya cek hal-hal yang saya tinggalkan, dan semua terlihat cukup aman. Lalu separuh catatan ini saya susun, mempertimbangkan ragam kejadian di jalan, aspek sosiologis masyarakat, kelebihan kendaraan sewaan, keramahan para tuan rumah, dan kehangatan teman-teman. Semua itu tidak akan terekam utuh dalam story WhatsApp atau IG.

 

Jadi, terima kasih untuk Ami yang memicu rombongan ini; Mbak Wardah, Mbak Dini, Novi, Gus Yasin, yang sudah memberi kebaikan selama perjalanan dengan candaan, camilan, atau lain-lain; Kiki yang menyiapkan sarapan untuk rombongan.

 

Mengingat kesulitan perjalanan jauh, saya mulai mempertimbangkan apakah perlu mengundang teman-teman saat menikah kelak. Tetapi, saat memikirkan itu, sembari menulis catatan, mata saya tak kuat menahan kantuk dan, seperti hari-hari lalu, saya enggan berdebat dengan nasib.

Selera

 Pria yang mengatakan bahwa istrinya tidak bisa menerima lelucon, lupa bahwa dia yang memilihnya.

 

--Oscar Wilde

 

Betul, Pak. Hanya saja selera humor orang berbeda.