Senin, 16 Januari 2023

Mukjizat dari Pertemanan

Jika mengikuti hukum alam, seharusnya saya sudah semaput kedinginan di dalam bus, tetapi, seperti Nabi Ibrahim yang tahan api, sejenak tubuh ini kebal dingin. Jika Nabi Ibrahim dapat mukjizat dari Tuhan, saya mungkin dapat energi dari keberuntungan, dan pertemanan.

 

**

 

Tanggal 2 Januari lalu, saat saya sedang istirahat setelah baru tiba dari Surabaya, Nadia mengirim pesan apakah ada agenda ke Surabaya lagi—barangkali kami bisa bertemu. Saya menepuk jidat. Astaga. Nadia baru pulang ke Malang dari Yogyakarta dan, sungguh, saya sudah melihat story WhatsApp-nya. Ini waktunya ketemu, pikir saya melihat ia pulang. Tetapi saya menunda ajakan itu hingga ada waktu longgar.


Namun karena rentetan kerempongan, ingatan saya berkhianat dan chat Nadia pukul 17.58 sore itu benar-benar memukul kesadaran. Saya mengatakan kami bisa bertemu di waktu mendatang setelah sebelumnya ia berkabar akan kembali ke Yogyakarta sekitar tanggal 17 Januari. Waktu masih tersedia.


Masih tanggal 2 Januari, pukul 20.09, Rahma mengirim pesan apakah saya sedang sibuk. Saya merespon agak melantur, “Yok, mau kemana?” Ia menjawab tidak ingin kemana-mana sebab hanya perlu ngopi di hari Jumat karena hanya hari itu yang berbaik hati memberinya waktu libur. Lalu kami membahas hal lain yang menjadi tujuan awalnya mengirim pesan.


Kami kembali tenggelam dalam aktivitas masing-masing. Baru pada tanggal 11 Januari, Professor mengirim pesan apakah saya bisa ke Surabaya hari Jumat. Sebenarnya sejak pagi saya sudah menimbang-nimbang untuk menghubungi beliau. Dan keberuntungan berpihak, beliau menghubungi saya. Pukul 11.06 itu mata saya langsung berbinar-binar.


10 menit kemudian saya langsung mengirim pesan ke Nadia, “Jumat masih di Jatim?” ia menjawab masih di Jatim lalu kami sepakat untuk bertemu di Surabaya. 10 Menit setelahnya saya menghubungi Novi, tiga menit kemudian Azizah, dua menit kemudian Gus Yas, tiga menit kemudian Rahma, memberi tawaran apakah bisa reuni kecil-kecilan. Gus Yas bilang ada acara di Bangkalan tapi akan menyusul, Rahma belum bisa memastikan karena ia masih harus ke kantor. Novi dan Azizah dipastikan bisa.


Personil lain saya pasrah pada kawan-kawan untuk dihubungi. Nadia memberi kabar Mbak Hani bisa bergabung. Ini akan menjadi reuni menyenangkan, pikir saya. Dan begitulah. Hari-hari berlanjut tanpa saling memastikan apakah bisa hadir di hari Jumat. Bertambah tua berarti harus membuat segala hal menjadi lebih mudah; merontokkan hal-hal yang tak efisien. Setelah tidur tak puas, saya bangun pukul 02.17 untuk siap-siap ke Surabaya.


Pukul 06.08 Nadia berkabar baru berangkat dan tiba sekitar pukul 09.10. Di saat yang sama, mungkin Rahma sedang berkutat merampungkan urusannya di kantor. Kami bertiga memang anggota yang bertempat paling jauh untuk menuju Surabaya. O, Mbak Hani dari Karawang. Tetapi ia sudah berada di Surabaya untuk keperluan keluarganya. Tentu saja ia tetap dari Karawang.  


Gus Yas, Azizah, dan Novi, juga membayar banyak hal untuk pertemuan ini.

 

**

 

Saya tiba di kampus pukul 08.21, langsung ganti baju, menyiapkan berkas, nelpon Nadia, dan menuju kantor Professor. Kami berbincang tentang suatu urusan dan beliau memperlihatkan draf buku yang sedang ditulis. Kebetulan riset kami cukup berbenang-merah. Setelah rampung, saya sarapan dan bergeser ke fakultas untuk sowan ke mentor saya. Novi sudah siap di fakultas juga, lalu Azizah menyusul. Perkiraan saya, Nadia dan Mbak Hani sudah perjalanan menuju lokasi ngopi.  


Baru pukul 10.48 saya, Novi, Azizah, bergeser ke lokasi dan Nadia-Mbak Hani sudah tiba. Bisakah anda menebak adegan pertama perjumpaan kawan dekat yang terpisah agak lama dan akhirnya bisa bertemu? Ya begitulah kira-kira, sebelum masuk angkringan kami sedikit bertukar sapaan setengah histeris.


Dan tibalah saat-saat pertukaran cerita yang telah ditabung. Mbak Hani memulai tentang kegelisahannya setelah lulus dan pulang ke Karawang. “Aku harus melakukan sesuatu,” katanya. Jadi ia melihat ibu-ibu yang memboroskan waktunya untuk hal-hal tak bermanfaat sambil memupuk hutang titil. Apa yang Mbak Hani pilih sebagai solusi? Pertanian!


Dan kami melongo ketika Mbak Hani menunjukkan foto-foto cabai yang ia tanam. Kami juga makin terkejut ketika ia bilang menggendong tanki untuk menyiram, memberi obat, dan perawatan-perawatan lain. “Aku harus buktikan dulu kalo ini bermanfaat dan ada hasilnya,” kira-kira begitu katanya.


Se-totalitas itu ia membangun proyek KKN seumur hidup di desanya. Kami semua mafhum Mbak Hani sudah mengambil sekolah bisnis, tetapi pertanian yang ia rintis jelas di luar dugaan kami. Tetapi bagaimanapun, ia tepat, pertanian adalah hal yang paling dekat dengan pedesaan. Sekali mereka bisa bangkit dari sektor ini, maka separuh masalah hidup mereka bisa dibilang bisa diatasi. Dan cabai adalah pilihan yang akurat sebab lebih menjanjikan.


Namun, tidak seperti kebanyakan orang yang besar ambisi tapi minim strategi, Mbak Hani benar-benar meriset apa yang ia butuhkan. Inilah mungkin kebisaan positif kuliah dan sekolah. Alih-alih maju buta, ia bisa mengatur strategi dengan perhitungan matang. Itu manfaat dari kebiasaan berpikir “benar” ala tugas-tugas kuliah. Mbak Hani juga masih mengajar tafsir, dengan siswa dari berbagai belahan bumi. Ia menyusun sendiri kurikulumnya.


Tidak lama kemudian, setelah Jumatan, Gus Yas dan Rahma datang. Suara-suara histeris kembali muncul. Sepertinya Gus Yas membatalkan acaranya di Bangkalan. Saya tidak tahu pasti dan ia hanya mengaku akan ke Bangkalan Senin depan. Rahma, entahlah, ia baru sekitar satu 30 menit atau satu jam lalu menelpon Novi dan sudah tiba di Surabaya. Mojokerto-Surabaya hanya ia tempuh sepadat 30-50 menit. Jaraknya sekitar 50 KM dengan kemacetan bertabur di mana-mana.


Apakah ia menarik tuas gas hingga 120 km/jam?


Personil lebih lengkap. Nadia... dari banyak hal yang ia ceritakan, kesan kuat yang saya tangkap adalah betapa sulitnya menjadi sosok pintar yang sadar, terutama sadar bahwa tidak semua orang harus sepintar orang pintar tadi. Nadia kerap bertemu orang-orang seperti ini, ialah orang yang menetapkan standar “pintar” dan menjadikan standar itu sebagai alat penghakiman. “Berarti orang itu ya nggak pinter, Nad,” kata Mbak Hani.


Tetapi ia beruntung dapat bertemu sosok-sosok hebat yang dapat menata alur berpikirnya mengenai dunia akedemik. Tidak semua orang mendapat dosen bagus yang membimbing sedetail itu, sebagian malah harus berkutat mencari puzzle sendiri untuk membentuk cara dia memahami dunia akademik. Dan mencari sendiri, kita tahu, rawan tersesat sebelum akhirnya bisa sampai pada titik pemberhentian yang tepat.


Lalu ia bercerita mengenai proyeksinya setelah pernikahan. Konon ia bersiap-siap tinggal di desa dan Mas Azuma, sama seperti Mbak Hani, akan menjelajah dunia pertanian, juga pendidikan yang sedang dibangun. Saya kira keduanya selalu berada dalam komposisi yang pas, meski saya belum pernah bertemu langsung dengan Mas Doi. Sulit sekali membayangkan sarjana kita akan mendekat pada dunia pertanian. Kabar dari kedua sahabat saya ini cukup menyenangkan.


Saya ingin menulis apa yang dikatakan Rahma tetapi, entahlah, saya khawatir terlalu menyinggung orang-orang “dikeramatkan” dan berbuntut panjang bagi kami. Yang jelas ia memberi garis tebal bahwa pendidikan kita sedang sakit-sakitan dan jika tidak segera ditolong ia akan mati mengenaskan dan menyisakan rentetan masalah bagi anak-anak. Ia juga memberi bukti-bukti percakapan yang membuat kami menyelami keheningan di kepala masing-masing dengan perasaan getir: Bisa separah itu, ya?


Saya berharap ia mendapat banyak sumber energi untuk menghadapi masalah di depan, atau menghadapi tantangan di depan. Bergantung kondisi pikiran dan dari sudut mana kita melihatnya.


Gus Yas dan Novi sesekali memberi respon dan memeriahkan suasana. Tetapi mereka tidak bertukar banyak cerita. Apa sedang menghadapi hal pelik? Gus Yas sedang sibuk mempersiapkan sesuatu yang kita semua akan tahu nanti. Novi jelas sedang berkutat dengan tugas akhir di depan mata. Ditambah harus bersiap ke Situbondo. Dan ia menjadwal ulang jam ngajar demi bisa bersama lebih lama. Sepertinya itu kombinasi yang membuat Novi lebih suka mendengar dan merespon.


Untuk Gus Yas dan Novi, semoga keberuntungan selalu hinggap, ya. Untuk kawan-kawan lain juga, tentu saja. Setelah pertemuan itu, sepertinya kami layak mendapat tidur nyenyak. Jika hati nurani harus mempertanyakan beberapa dosa dan kepala memikirkan insecure, mereka harus berlibur.


Kami bergeser ke McDonald’s, penutup untuk merayakan pertemuan. Yang saya catat: Tempat makan seperti itu punya sistem pemesanan yang “ribet” bagi saya. Jika saya masuk sendirian jelas clingak-clinguk. Sistem Sinjay tampak lebih “ramah”, sepertinya.   

 

**

 

Azizah sudah ditelpon berkali-kali untuk segera pulang tilik bayi di RS. Ia harus tiba sebelum pukul 08.00. Saya juga dikejar bus yang 30 menit lagi berangkat. Maka kami bergegas menuju Bungur dan membelah jalanan macet. “Motorku kecil, mudah nyelip,” kata Azizah. Sesekali saya mendahului dengan jarak mepet yang membuat Azizah bergidik kecil. Azizah memberi instruksi untuk memilih jalan tikus dan saat separuh perjalanan, hujan turun dengan keseriusan maksimal, seolah kami adalah musuh angker yang harus dihajar babak-belur.


Tentu saja kami kelabakan, tetapi memutuskan terus menggelinding menuju terminal. Jika saya telat, harus pulang besok dan itu tidak baik karena ada jadwal ngajar. Saya kaget Azizah menjadi navigator andal sore itu. Ia memberi instruksi jitu tentang putar balik, belok kiri, belok kanan, ambil lajur kiri, ambil lajur kanan, dan seterusnya, dengan sedikit nada panik karena... diguyur hujan.


Kami melewati jalan-jalan kecil di perumahan yang sama sekali asing bagi saya. Gila, sejak kapan Azizah menjadi Gmaps berjalan. Di tengah keterburuan, ada jalur ditutup dan membuat kami terhenti di tengah jalan, di tengah hujan deras. Saya kasihan padanya, jika diguyur bareng doi, itu momen romantis, tetapi di guyur hujan bareng saya... apes namanya. “Bajuku bisa diperas lho, Cak,” katanya. Bukan hanya baju, bukunya juga basah kuyup!


Sekujur tubuh dan baju saya juga basah saat kami tiba di belakang bus jurusan rumah. Bus itu penuh karena akhir pekan. Saya harus menempuh perjalanan empat jam. Apakah ac di bus itu tidak akan membunuh tubuh basah saya? Jadi saya hendak turun-batal-pulang tetapi kondektur berhasil menggeser penumpang sehingga saya beruntung bisa duduk di belakang.


Saya duduk di pojok dan mengambil jarak supaya tidak membasahi penumpang lain. Satu blower ac bisa saya tutup diam-diam saat penumpang lain tidur. Lalu saya menelpon Azizah dan ia memilih batal pulang. Nadia aman dari guyuran hujan dan tiba di rumah sekitar pukul 20.00-an. Rahma masih di Surabaya dan baru pulang keesokan harinya.


Setelah memberi kabar pada kawan-kawan, sambil menuju rumah, saya mengingat detail-detail pertemuan untuk menjadi rancangan tulisan dan itu membuat pertemanan memiliki efek hangat yang panjang. Jika mengikuti hukum alam, seharusnya saya sudah semaput kedinginan di dalam bus, tetapi, seperti Nabi Ibrahim yang tahan api, sejenak tubuh ini kebal dingin. Jika Nabi Ibrahim dapat mukjizat dari Tuhan, saya mungkin dapat energi dari keberuntungan, dan pertemanan.

 

**

 

Untuk Rahma, Nadia, Gus Yas, Novi, Azizah, Mbak Hani, dan seluruh kawan yang ingin merayakan pertemanan tetapi terhalang berbagai hal.