Hari itu saya enggan berdebat dengan nasib dan menjalani saja sesuatu yang memang harus terjadi: Bangun pukul 02.00 dini hari, mandi air dingin, makan nasi hangat, dan melesat—sambil menyerap dingin—cari bus menuju Surabaya. Ibu membawakan bekal dan saya mengucap terima kasih.
7 menit berdiri di depan masjid, bus
pemberangkatan pertama nampak, lantas berhenti pelan di depan saya. Lalu di
tempat duduk itu kedua mata mulai merem untuk menabung energi, sebab, menurut Gmaps,
perjalanan masih 365 kilometer lagi! Pagi itu Marengan terasa jauh dari rumah—maksud
saya, alangkah betapa jauh. Pukul 03.16 saya baru berkabar pada kawan-kawan
bahwa sudah berada di bus.
***
Pukul 05.32 bus masuk jalan tol dan
pikiran saya gelisah tak jelas: Perjalanan ini sudah penuh kesulitan sejak
beberapa hari sebelumnya, terutama soal rental mobil: Kehabisan unit karena
tahun baru. Apakah mobil rental yang saya booking sudah siap? Apakah bisa
berangkat tepat waktu? Demi mengusir bayang-bayang ini, saya mengalihkan diri
membaca cerpen-cerpen lucu. Sebelum tol berakhir saya melihat bapak-bapak
menggendong anaknya, atau cucu. Mereka berada di luar pagar tol dan di bawah
pohon rindang.
Si balita tertawa riang melihat
lalu-lalang mobil yang di matanya mungkin tampak lucu. Tawa si anak menular
pada si bapak yang mungkin penuh beban sehari-hari. Tawa si bapak menular
senyum pada wajah saya. sepersekian detik frame itu menenangkan saya.
Akhirnya saya tiba di Bungur pukul
06.40 dan tiba di kampus 20 menit kemudian. Di sana saya janjian sama Novi dan
Mbak Lae, untuk menuju rental mobil. Kami baru berangkat pukul 07.22. Saya
memacu motor agak pelan khawatir Mbak Dini tidak bisa mengikuti di belakang.
Tetapi ia menyalip dalam kecepatan tinggi. Wah, ini sih pembalap, batin saya.
Cocok untuk diburu waktu seperti itu. Di jalan kami melihat satu kecelakaan tak
fatal dan kami tetap tancap gas.
Tiba di rental, mobil yang kami sewa
belum pulang dari penyewa sebelumnya. "Sekitar satu jam lagi," kata
Mas Rasyid. Sejenak saya terpaku dan memikirkan solusi terbaik. Menunggu jelas buang waktu.
Pikiran saya tertuju pada Pak Riyanto yang sedari kemarin terlibat negosiasi.
Ia menyediakan Elf dengan harga miring. Biasanya 2 juta untuk tahun baru,
tetapi 1 juta sudah cukup.
Itu tawaran yang saya tolak tanpa
berembuk pada kawan, sebab selain soal harga, menurut keimanan saya, suspensi
Elf dirancang oleh bocah patah hati, sehingga saat dinaiki, tubuh serasa
dikocok, dan dijamin sekujur tubuh ditaburi rasa encok. Nah, di rental itu ada
Innova Reborn yang siap disewa. Setelah berembuk, kami sepakat nambah iuran dan
memakai mobil itu. Drama mobil selesai.
Mobil bergerak ke titik lain
menjemput rombongan. Mbak Wardah, Mbak Dini, Ami, Kiki—yang
sambil bawa sarapan untuk sopir, naik ke mobil. Menyusul Gus Yasin. Formasi
sudah lengkap untuk membuat suasana kabin muncul lelucon. Musik
sedih juga menjejali telinga. Konon menurut Gus Yasin sering muncul kaum yang
selalu merasa tersakiti tanpa ada yang menyakiti.
***
Pilihan kami untuk sewa Reborn ini
terasa benar-benar tepat. Ia bisa lari 140 KM/h tanpa ngos-ngosan. Suspensinya
juga senyap melibas gelombang dan lubang jalanan. Top. Saya menyelip-nyelip
tanpa ragu mesin kehabisan tenaga. Tanpa ragu menginjak lubang. Itulah kenapa
dalam hitungan +-3 jam kami sudah di Prenduan, dengan tiga kali perhentian: Isi
BBM, menunaikan hajat--sambil saya selip ritual sarapan, dan ritual wajib
dandan.
Sampang kota direndam banjir tapi
kami bisa lewat jalur alternatif. Selain musim hujan dan kemarau, di negeri
indah ini ada musim banjir. Konon ia produk kegagalan manusia mengelola alam.
Saya melihat genangan air sungai dengan getir: Perilaku saya, entah di mana dan
kapan, mungkin pernah menyumbang banjir ini.
Selepas dandan di masjid Gemma, kami bergegas ke Marengan. Informasi penting, karakter masyarakat di sini sepertinya sangat terbuka sehingga takmir menulis "Silakan gunakan fasilitas di masjid ini untuk ibadah. Istirahat di serambi. Nah, seharusnya semua masjid seperti ini, pikir saya. Ramah musafir. Watak ramah warga bisa diukur dari keterbukaan masjid seperti ini. Di tengah jalan menuju kota, kami dihadang informasi bahwa kota Sumenep banjir.
Banjir memaksa kami putar rute lewat
Saronggi-Lenteng. "Lewat sini ke Marengan bisa, Pak?" tanya saya
dalam Bahasa Madura pada bapak-bapak. "Bisa. Naik angkot hanya lima
ribu," katanya. Saya menjawab bawa kendaraan sendiri dan ia tetap
bersikukuh bahwa ongkos naik angkot lima ribu.
Saya menyerah, mengucap terima kasih
dan masuk mobil. Bapak ini mungkin sedang mengantuk, pikir saya. Mbak Dini dan
Mbak Lae--atau Wardah--mengambil alih untuk mencari info rute. Kami sampai juga
di Marengan, pukul 14.00-an. Kuade manten berdiri di atas banjir setengah
betis. Astaga. Wartawan meliput fenomena ini dengan sudut pandang dramatis.
Kami cukup tenang bisa datang,
setidaknya bisa menyumbang perasaan solid pada pengantin di tengah kebanjiran
yang mereka hadapi. Di tengah banjir mereka masih tampak bahagia dan saya kira
mereka akan mudah memungut perasaan gembira dari banyak hal.
Mbak Faiq menertawai kami yang
memutar arah gara-gara banjir dan setengah bercanda ia bilang: "Kan sudah 'ku bilang mampir ke rumah dulu,
lalu lewat Lenteng. Cengkal sih, jadi anak," katanya. Saya yang memang menyesal acuh padanya hanya bisa menikmati kekeliruan dan menganggap kalimat itu sebagai nasihat dari ibu. Nah, pulangnya kami memilih lewat jalur Lenteng, mampir dan istirahat di rumah Faiq, atau, menurut mata saya, mampir ke istana Faiq.
Abah dan Mama Faiq sosok yang riang
dan memelihara rasa penasaran terhadap orang-orang yang mereka temui. Beliau
juga murah tawa dan takjub bagaimana orang tua Novi yang dari Jombang dan
Bojonegoro bisa bertemu dan menikah dan menetap di Surabaya. Kok bisa ketemu?
katanya antusias.
Mbak Dini lantas memulai pertanyaan
menarik bagaimana orang tua Faiq bisa bertemu dan menikah. Lalu... kisah penuh
tawa itu dimulai. Abah Faiq punya satu versi bahwa Mama Faiq mengejarnya, dan
Mama Faiq punya versi lain bahwa Abah Faiq yang mengejarnya. Mbak Dini mencoba
menafsirkan tindakan cowok yang memang seperti itu dari dulu. Setelah bikin
penasaran lalu pergi.
Saya cuma bisa ketawa menikmati keceriaan dan merasakan letih mulai menguap. Sekitar satu setengah jam kami di sana dan terpaksa harus mengakhiri rentetan tawa. Kami pamit dengan berat hati dan menjawab insyaallah akan berkunjung di lain waktu saat Abah bertanya kapan akan singgah di rumah itu lagi. "Kalau ngantuk istirahat, ya," pesan Abah pada saya--sebagai sopir.
Jika tidak terkejar waktu, kami pasti sepakat untuk menginap di sana dan meneruskan suasana hangat selama mungkin.
***
Kami bertolak dari rumah Faiq pukul
17.48. Satu jam kemudian sudah sampai Pamekasan kota. Jam sembilan kami
berhenti di masjid Galis. Betis saya
berdenyut linu. Dalam sejarah persopiran, baru kali ini betis saya
seperti itu, membuat berjalan agak pincang. Pukul 22-.00-an kami tiba di
Surabaya dan penjaga rental berbaik hati mengantar ke Ampel. Rombongan praktis
berpisah di rental setelah mengucap terima kasih.
Tugas saya adalah melahap habis sisa
sarapan yang dibawa Kiki. Dan bergegas tidur, setelah pukul 23.40-an. Akhirnya
saya bisa istirahat. Lalu bangun pukul 04.30. Gus Yasin menyusul bangun dan,
belum sempat bangkit, sudah menyuruh saya makan nasi yang ia punya. Pukul 08.00
kami sarapan. Nasi dari Bella dan Gus Yasin dicampur sehingga sama-sama
dimakan. Oleh-oleh dari dari Faiq dan Novi saya bawa pulang. Jadi, semua
pemberian berhasil dieksekusi.
Pukul 08.55 saya naik bus dari JMP
menuju Bungur. Bus rute ke rumah berangkat jam sepuluh dan saya khawatir
ketinggalan. Untung bus kota lewat tol. Saya turun di Medaeng dan berjalan ke
arah pintu tol Malang-Pasuruan. Bus sudah tampak dan ketika masuk... alamak,
penuh seluruh. Rasanya tak mampu jika harus berdiri berjam-jam.
Lalu saya ndlosor di bawah
dengan kaki terlipat sedemikian rupa. Bokong dan punggung terasa panas karena
posisi serba terjepit dan mata harus menahan kantuk. Tiba di Probolinggo, saya dapat kursi. Semesta terasa bermurah hati. Saya berharap Mbak Dini
dapat nasib lebih baik saat menuju Malang.
Saya tiba di masjid tempat parkir
motor. Lalu setelah salat masuk apotek untuk beli vitamin. Tiba di rumah saya
cek hal-hal yang saya tinggalkan, dan semua terlihat cukup aman. Lalu separuh
catatan ini saya susun, mempertimbangkan ragam kejadian di jalan, aspek
sosiologis masyarakat, kelebihan kendaraan sewaan, keramahan para tuan rumah,
dan kehangatan teman-teman. Semua itu tidak akan terekam utuh dalam story
WhatsApp atau IG.
Jadi, terima kasih untuk Ami yang
memicu rombongan ini; Mbak Wardah, Mbak Dini, Novi, Gus Yasin, yang sudah
memberi kebaikan selama perjalanan dengan candaan, camilan, atau lain-lain; Kiki
yang menyiapkan sarapan untuk rombongan.
Mengingat kesulitan perjalanan jauh, saya mulai mempertimbangkan apakah perlu mengundang teman-teman saat menikah kelak. Tetapi, saat memikirkan itu, sembari menulis catatan, mata saya tak kuat menahan kantuk dan, seperti hari-hari lalu, saya enggan berdebat dengan nasib.