Selasa, 03 Januari 2023

Kondangan, Kerumitan, Kehangatan

Hari itu saya enggan berdebat dengan nasib dan menjalani saja sesuatu yang memang harus terjadi: Bangun pukul 02.00 dini hari, mandi air dingin, makan nasi hangat, dan melesatsambil menyerap dingincari bus menuju Surabaya. Ibu membawakan bekal dan saya mengucap terima kasih.

 

7 menit berdiri di depan masjid, bus pemberangkatan pertama nampak, lantas berhenti pelan di depan saya. Lalu di tempat duduk itu kedua mata mulai merem untuk menabung energi, sebab, menurut Gmaps, perjalanan masih 365 kilometer lagi! Pagi itu Marengan terasa jauh dari rumahmaksud saya, alangkah betapa jauh. Pukul 03.16 saya baru berkabar pada kawan-kawan bahwa sudah berada di bus.

 

***


Pukul 05.32 bus masuk jalan tol dan pikiran saya gelisah tak jelas: Perjalanan ini sudah penuh kesulitan sejak beberapa hari sebelumnya, terutama soal rental mobil: Kehabisan unit karena tahun baru. Apakah mobil rental yang saya booking sudah siap? Apakah bisa berangkat tepat waktu? Demi mengusir bayang-bayang ini, saya mengalihkan diri membaca cerpen-cerpen lucu. Sebelum tol berakhir saya melihat bapak-bapak menggendong anaknya, atau cucu. Mereka berada di luar pagar tol dan di bawah pohon rindang.

 

Si balita tertawa riang melihat lalu-lalang mobil yang di matanya mungkin tampak lucu. Tawa si anak menular pada si bapak yang mungkin penuh beban sehari-hari. Tawa si bapak menular senyum pada wajah saya. sepersekian detik frame itu menenangkan saya.

 

Akhirnya saya tiba di Bungur pukul 06.40 dan tiba di kampus 20 menit kemudian. Di sana saya janjian sama Novi dan Mbak Lae, untuk menuju rental mobil. Kami baru berangkat pukul 07.22. Saya memacu motor agak pelan khawatir Mbak Dini tidak bisa mengikuti di belakang. Tetapi ia menyalip dalam kecepatan tinggi. Wah, ini sih pembalap, batin saya. Cocok untuk diburu waktu seperti itu. Di jalan kami melihat satu kecelakaan tak fatal dan kami tetap tancap gas.

 

Tiba di rental, mobil yang kami sewa belum pulang dari penyewa sebelumnya. "Sekitar satu jam lagi," kata Mas Rasyid. Sejenak saya terpaku dan memikirkan solusi terbaik. Menunggu jelas buang waktu. Pikiran saya tertuju pada Pak Riyanto yang sedari kemarin terlibat negosiasi. Ia menyediakan Elf dengan harga miring. Biasanya 2 juta untuk tahun baru, tetapi 1 juta sudah cukup.

 

Itu tawaran yang saya tolak tanpa berembuk pada kawan, sebab selain soal harga, menurut keimanan saya, suspensi Elf dirancang oleh bocah patah hati, sehingga saat dinaiki, tubuh serasa dikocok, dan dijamin sekujur tubuh ditaburi rasa encok. Nah, di rental itu ada Innova Reborn yang siap disewa. Setelah berembuk, kami sepakat nambah iuran dan memakai mobil itu. Drama mobil selesai.

 

Mobil bergerak ke titik lain menjemput rombongan. Mbak Wardah, Mbak Dini, Ami, Kikiyang sambil bawa sarapan untuk sopir, naik ke mobil. Menyusul Gus Yasin. Formasi sudah lengkap untuk membuat suasana kabin muncul lelucon. Musik sedih juga menjejali telinga. Konon menurut Gus Yasin sering muncul kaum yang selalu merasa tersakiti tanpa ada yang menyakiti.

 

***

 

Pilihan kami untuk sewa Reborn ini terasa benar-benar tepat. Ia bisa lari 140 KM/h tanpa ngos-ngosan. Suspensinya juga senyap melibas gelombang dan lubang jalanan. Top. Saya menyelip-nyelip tanpa ragu mesin kehabisan tenaga. Tanpa ragu menginjak lubang. Itulah kenapa dalam hitungan +-3 jam kami sudah di Prenduan, dengan tiga kali perhentian: Isi BBM, menunaikan hajat--sambil saya selip ritual sarapan, dan ritual wajib dandan.

 

Sampang kota direndam banjir tapi kami bisa lewat jalur alternatif. Selain musim hujan dan kemarau, di negeri indah ini ada musim banjir. Konon ia produk kegagalan manusia mengelola alam. Saya melihat genangan air sungai dengan getir: Perilaku saya, entah di mana dan kapan, mungkin pernah menyumbang banjir ini.

 

Selepas dandan di masjid Gemma, kami bergegas ke Marengan. Informasi penting, karakter masyarakat di sini sepertinya sangat terbuka sehingga takmir menulis "Silakan gunakan fasilitas di masjid ini untuk ibadah. Istirahat di serambi. Nah, seharusnya semua masjid seperti ini, pikir saya. Ramah musafir. Watak ramah warga bisa diukur dari keterbukaan masjid seperti ini. Di tengah jalan menuju kota,  kami dihadang informasi bahwa kota Sumenep banjir.

 

Banjir memaksa kami putar rute lewat Saronggi-Lenteng. "Lewat sini ke Marengan bisa, Pak?" tanya saya dalam Bahasa Madura pada bapak-bapak. "Bisa. Naik angkot hanya lima ribu," katanya. Saya menjawab bawa kendaraan sendiri dan ia tetap bersikukuh bahwa ongkos naik angkot lima ribu.

 

Saya menyerah, mengucap terima kasih dan masuk mobil. Bapak ini mungkin sedang mengantuk, pikir saya. Mbak Dini dan Mbak Lae--atau Wardah--mengambil alih untuk mencari info rute. Kami sampai juga di Marengan, pukul 14.00-an. Kuade manten berdiri di atas banjir setengah betis. Astaga. Wartawan meliput fenomena ini dengan sudut pandang dramatis.

 

Kami cukup tenang bisa datang, setidaknya bisa menyumbang perasaan solid pada pengantin di tengah kebanjiran yang mereka hadapi. Di tengah banjir mereka masih tampak bahagia dan saya kira mereka akan mudah memungut perasaan gembira dari banyak hal.

 

Mbak Faiq menertawai kami yang memutar arah gara-gara banjir dan setengah bercanda ia bilang: "Kan sudah 'ku bilang mampir ke rumah dulu, lalu lewat Lenteng. Cengkal sih, jadi anak," katanya. Saya yang memang menyesal acuh padanya hanya bisa menikmati kekeliruan dan menganggap kalimat itu sebagai nasihat dari ibu. Nah, pulangnya kami memilih lewat jalur Lenteng, mampir dan istirahat di rumah Faiq, atau, menurut mata saya, mampir ke istana Faiq.

 

Abah dan Mama Faiq sosok yang riang dan memelihara rasa penasaran terhadap orang-orang yang mereka temui. Beliau juga murah tawa dan takjub bagaimana orang tua Novi yang dari Jombang dan Bojonegoro bisa bertemu dan menikah dan menetap di Surabaya. Kok bisa ketemu? katanya antusias.

 

Mbak Dini lantas memulai pertanyaan menarik bagaimana orang tua Faiq bisa bertemu dan menikah. Lalu... kisah penuh tawa itu dimulai. Abah Faiq punya satu versi bahwa Mama Faiq mengejarnya, dan Mama Faiq punya versi lain bahwa Abah Faiq yang mengejarnya. Mbak Dini mencoba menafsirkan tindakan cowok yang memang seperti itu dari dulu. Setelah bikin penasaran lalu pergi.

 

Saya cuma bisa ketawa menikmati keceriaan dan merasakan letih mulai menguap. Sekitar satu setengah jam kami di sana dan terpaksa harus mengakhiri rentetan tawa. Kami pamit dengan berat hati dan menjawab insyaallah akan berkunjung di lain waktu saat Abah bertanya kapan akan singgah di rumah itu lagi. "Kalau ngantuk istirahat, ya," pesan Abah pada saya--sebagai sopir. 


Jika tidak terkejar waktu, kami pasti sepakat untuk menginap di sana dan meneruskan suasana hangat selama mungkin. 

 

***

 

Kami bertolak dari rumah Faiq pukul 17.48. Satu jam kemudian sudah sampai Pamekasan kota. Jam sembilan kami berhenti di masjid Galis. Betis saya  berdenyut linu. Dalam sejarah persopiran, baru kali ini betis saya seperti itu, membuat berjalan agak pincang. Pukul 22-.00-an kami tiba di Surabaya dan penjaga rental berbaik hati mengantar ke Ampel. Rombongan praktis berpisah di rental setelah mengucap terima kasih.

 

Tugas saya adalah melahap habis sisa sarapan yang dibawa Kiki. Dan bergegas tidur, setelah pukul 23.40-an. Akhirnya saya bisa istirahat. Lalu bangun pukul 04.30. Gus Yasin menyusul bangun dan, belum sempat bangkit, sudah menyuruh saya makan nasi yang ia punya. Pukul 08.00 kami sarapan. Nasi dari Bella dan Gus Yasin dicampur sehingga sama-sama dimakan. Oleh-oleh dari dari Faiq dan Novi saya bawa pulang. Jadi, semua pemberian berhasil dieksekusi.

 

Pukul 08.55 saya naik bus dari JMP menuju Bungur. Bus rute ke rumah berangkat jam sepuluh dan saya khawatir ketinggalan. Untung bus kota lewat tol. Saya turun di Medaeng dan berjalan ke arah pintu tol Malang-Pasuruan. Bus sudah tampak dan ketika masuk... alamak, penuh seluruh. Rasanya tak mampu jika harus berdiri berjam-jam.

 

Lalu saya ndlosor di bawah dengan kaki terlipat sedemikian rupa. Bokong dan punggung terasa panas karena posisi serba terjepit dan mata harus menahan kantuk. Tiba di Probolinggo, saya dapat kursi. Semesta terasa bermurah hati. Saya berharap Mbak Dini dapat nasib lebih baik saat menuju Malang.

 

Saya tiba di masjid tempat parkir motor. Lalu setelah salat masuk apotek untuk beli vitamin. Tiba di rumah saya cek hal-hal yang saya tinggalkan, dan semua terlihat cukup aman. Lalu separuh catatan ini saya susun, mempertimbangkan ragam kejadian di jalan, aspek sosiologis masyarakat, kelebihan kendaraan sewaan, keramahan para tuan rumah, dan kehangatan teman-teman. Semua itu tidak akan terekam utuh dalam story WhatsApp atau IG.

 

Jadi, terima kasih untuk Ami yang memicu rombongan ini; Mbak Wardah, Mbak Dini, Novi, Gus Yasin, yang sudah memberi kebaikan selama perjalanan dengan candaan, camilan, atau lain-lain; Kiki yang menyiapkan sarapan untuk rombongan.

 

Mengingat kesulitan perjalanan jauh, saya mulai mempertimbangkan apakah perlu mengundang teman-teman saat menikah kelak. Tetapi, saat memikirkan itu, sembari menulis catatan, mata saya tak kuat menahan kantuk dan, seperti hari-hari lalu, saya enggan berdebat dengan nasib.