Anak-anak desa kebanyakan tumbuh di lingkungan yang memelihara keyakinan bahwa pernikahan adalah gerbang untuk berhenti belajar. Penyebabnya satu: Saat menikah, pak suami sibuk bekerja, bu istri, juga bekerja—dalam berbagai konteks dan pengertiannya. Kesibukan kerja itu pada akhirnya menguras energi mereka di malam hari. Boro-boro belajar yang butuh proses pelik itu, sempat ngaji rutin saja sudah bagus—bagi keluarga religius.
Nah, saya juga tumbuh
di lingkungan seperti itu. Para orang tua itu memberi “doktrin” untuk rajin
belajar selagi masih lajang, sebab ketika menikah, pasti tidak akan sempat
belajar. Kita tahu, manusia terkurung oleh cangkang kehidupannya masing-masing.
Pemahaman masyarakat
desa seperti di atas tumbuh karena beberapa hal. Pertama, mereka
memaknai kerja sebagai olah otot, sehingga rodi kerja dari pagi hingga sore
sudah cukup untuk membuat kasur sebagai tempat terindah saat pulang kerja. Bukan
tempat lain. Kedua, karena mereka hidup dalam kultur desa yang serba
lambat mengejar laju peradaban, mereka merasa tidak butuh untuk up-date diri. Wong
kehidupan mereka tidak menuntut apa-apa. Cukup kerja di sawah.
Mereka tidak memiliki
ambisi. Bagi mereka ambisi dan cita-cita itu tindakan mubazir.
Adapun beberapa orang
tentu masih memiliki tujuan hidup yang luas. Tetapi orang-orang ini hanya
bersifat perkecualian. Sebuah hukum apapun di dunia ini tidak bersandar pada
perkecualian semacam ini. Jadi bisa saya simpulkan, masyarakat desa dari masa
kecil saya, hingga sekarang, relatif mempertahankan pandangan di atas.
Sambil menulis catatan
ini, saya mensyukuri satu hal: Saya sempat belajar di kampus. Di ibu kota
provinsi pula. Dari ibu kota ini, saya menyerap banyak hal, tetapi yang paling
relevan untuk pembanding adalah kehidupan kota serba cepat. Manusia-manusia di
ibu kota berkejaran dengan kehidupan seolah satu hari belum cukup memenuhi
kebutuhan waktu mereka. Kebutuhan mencari uang mereka.
Pada kondisi serba
kilat tersebut, banyak masyarakat urban yang relatif “tua” (usia 35 tahun ke
atas) masih memelihara pandangan bahwa mereka masih bisa belajar. Tiap ada
lowongan pekerjaan, orang-orang berlomba melamar betapapun mereka tidak menjadi
kualifikasi. Yang penting kerja, pikir mereka. Adapun skill bisa menyusul
nanti.
Di lingkungan “terpelajar”,
seperti lingkungan sekolah, pesantren, kampus, orang-orang tua masih antusias
mengejar kehidupan. Sehingga di sela-sela kesibukan, mereka masih berpikir
untuk melatih skill baru. Bahasa, IT, bicara publik, dan sebagainya. Saya hidup
di kultur ini. Sesungguhnya belajar tidak mengenal batasan usia. Tetapi mengapa
ada manusia yang berpikir sebaliknya? Seperti orang-orang desa?
Well, kompleks. Tetapi
faktor penting dari semua ini adalah lingkungan hidup, dan kondisi rekening. Bayangkan,
para petani dan buruh di desa, bergaul satu sama lain, berbagi pandangan hidup
serba pasrah: Kondisi mereka sudah diatur oleh sang Maha Perancang. Alih-alih
mengejar dan membuat ambisi, mereka berbagi pandangan bahwa bersyukur adalah
jalan terbaik.
Dan jangan lupa,
kondisi kehidupan mereka, seringkali, sudah dihimpit kondisi ekonomi yang serba
tipis. Untuk apa belajar jika mereka dari pagi hingga petang, dari bangun tidur
hingga tidur lagi, dibayangi oleh catatan hutang, dibayangi oleh berbagai
kebutuhan primer yang tak terbeli.
Saya bayangkan,
pikiran mereka penuh dilema antara bersyukur dan tidak tahu harus berbuat apa. Anda
tahu, kehidupan dulu sangat ramah pada semua orang, asal mereka mau berburu,
atau di abad pertengahan, asal mereka menanam banyak buah—di saat tak ada tuan
tanah. Kehidupan sekarang penuh konstruksi, penuh aturan, yang mengikat mereka
untuk bekerja, membangun skill, dan berebut kue kehidupan.
Mengapa kondisi ini
terjadi: Jumlah manusia meledak gila-gilaan.
Nostalgia purba tidak
memiliki guna. Sekarang manusia dihadapkan pada dunia serba padat, serba kilat,
yang mengharuskan belajar sebagai jalan mutlak. Kabar baiknya, hanya soal pola
pikir untuk memahami bahwa belajar itu tidak terbatas usia. Apa boleh buat,
suka tak suka, kita perlu belajar—dalam arti seluas-luasnya.
Saya melihat
guru-guru yang telah memutih rambutnya, tertatih cara berjalannya, memudar daya
pandangnya, tetapi masih menekuni dan mempelajari hal-hal baru. Wah, inilah
orang-orang semangat, kata saya. untunglah saya sering melihat pemandangan
seperti ini. Jika saya tak pernah pergi jauh, tak peduli telah ada media sosial
atau tidak, barangkali saya tetap menua dengan habit klise, lalu menyebarkan
keyakinan belajar saat tua itu tidak mungkin.
Sekarang, syukurlah. Saya
masih bisa belajar. Meski malasnya minta ampun.
Andaikan, saya versi
lain itu benar-benar terjadi, betapa lucu. Ia merasa tua, tetapi tak pernah
melihat kehidupan yang luas. Ia merasa tua, padahal hidup saja belum.
Catatan kaki:
*Kalimat terakhir
saya adaptasi dari novel karya Rusdi Mathari, Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak
Punya.
*Tulisan terasa tak
jelas. Ditulis sekali duduk antara salat Maghrib dan Isyak. Terasa kurang padu
juga? Saya setuju. Tetapi semoga masih bisa dinikmati.