12 Agustus kemarin ada famili yang harus diantar ke rumah sakit karena sakit parah. Jalur yang harus saya lewati, kebetulan, sedang ditutup karena acara festival tahunan. Inilah festival pertama setelah dua tahun vakum karena pandemi. “Kita terpaksa lewat jalur lain,” kata paman saya.
Maka kami memutar,
melewati jalan aspal yang baru dibangun. Jalan yang bagus, tebal, dan kokoh. Sawah
dan bukit mengelilingi jalan itu—praktis memanjakan mata. Kendaraan lain yang
seharusnya melewati jalur utama pun memilih jalan pintas tersebut. Masalahnya,
jalan itu cukup sempit. Dan terjadilah sesuatu yang harus terjadi saat jalan sempit
dipenuhi kendaraan besar: Macet.
Di depan saya ada
truk dengan muatan besar. Ia tidak bisa turun dari aspal sebab hanya tersisa
sedikit bahu jalan (tanah agak curam). Lagi pula, aspal tersebut cukup tinggi. Jelas,
jika truk tersebut turun dari aspal, dengan muatan seberat itu, ia akan
terguling. Sedangkan di sisi kiri mobil yang saya bawa, tidak ada sisa jalan
kecuali sangat sempit. Saya tidak bisa memaksakan mobil untuk terus berjalan. Truk
tersebut juga terdiam dan berhenti. Kami sama-sama menyadari ketidakmungkinan
itu.
Satu-satunya solusi
adalah saya harus memilih mundur untuk memilih jalan yang agak lebar, lalu
membiarkan truk itu melaju melewati saya. tetapi ada masalah lain, di belakang
saya sudah berjejer banyak mobil. Maksud saya banyak sekali. Begitupun di
belakang truk tersebut. Puluhan mobil sudah berbaris. Para sopir
turun dari kendaraan dan, lagi-lagi, menyadari kondisi ruwet itu.
Kami terdiam, sepenuhnya
memahami tidak ada pihak yang bisa disalahkan. Awan yang menutupi matahari
telah menyingkir dan kami disengat cahaya. Saya memilih masuk mobil dan
memikirkan hal tersebut: Sementara famili saya harus merasakan penyakit yang ia
derita, siapa yang harus bertanggungjawab atas kondisi ini? apa solusi yang
harus saya usahakan?
Sopir truk pengangkut
kayu, jelas hanya menjalankan perintah majikan. Ia tidak punya daya menghindari
kondisi jalanan utama yang tertutup. Sama seperti seluruh sopir di seluruh
dunia, ia tidak mengharap terjebak di kemacetan. Selan si sopir truk, saya hanya
orang biasa yang mengantar famili berobat. Saya berniat membantu dan tentu
tidak berharap berdiri linglung melihat kendaraan-kendaraan terjebak. Sebagian
orang lain hanya ingin pulang ke rumah setelah segala keperluan di luar
selesai.
Dan kami berada di
sana karena jalanan utama yang ditutup karena perayaan Agustusan. Kami tentu
saja tidak bisa serta merta menyalahkan pemerintah setempat atau panitia acara.
Bagaimanapun, tradisi tersebut lumrah dijalankan meski menyisakan banyak
pertanyaan bagi saya: melihat orang-orang berdandan dilumuri oli, diiringi
musik dangdut koplo yang memekakkan telinga, dan melihat orang berkerumun sesak
menonton... untuk apa semua ini? Sering saya membayangkan burung-burung di
dahan pohon geleng-geleng melihat tingkah manusia.
Tetapi apa boleh
buat. Festival tetap festival. Di seluruh dunia selalu ada perayaan semacam
itu. Dan omong-omong, saya menghormatinya.
Karena itulah, saya
tetap tidak menemukan siapa yang bertanggungjawab atas kondisi macet di tengah
jalanan persawahan itu. “Padahal di desa lain,” kata paman, memecah lamunan
saya, sementara kalimatnya terhenti entah kenapa. “Padahal di desa lain,
festival berlangsung di jalan-jalan kecil. Mereka tidak pernah menutup jalanan
utama.”
Saya baru tahu ada
desa yang menerapkan aturan itu. Saya kira mereka sangat bijak. Di jalanan umum
selalu ada tumpukan hajat orang banyak. Ada perputaran kehidupan yang bisa jadi
menyangkut hidup mati mereka. Dengan kata lain, jalanan kita penuh dengan
sumber “penghidupan” itu sendiri. berhari-hari selama bulan Agustus, di grup
WhatsApp penumpang bis, selalu mondar-mandir informasi penutupan jalan,
sehingga membuat bis umum harus melewati jalanan kecil di pedesaan.
Bayangkan, bahkan
kendaraan bis umum harus blusukan.
Jadi, mengatasi macet
itu, paman saya menghampiri mobil paling belakang, memintanya untuk mundur
beberapa meter menepi di jalanan yang cukup menyediakan ruang lebar. Sedangkan di
kejauhan, saya sudah melihat mobil lain berdatangan. Segera orang-orang
berusaha memberi tanda pada mereka untuk berhenti dan menepi. Dan begitulah,
barisan kami menepi untuk memberi jalan pada truk penuh muatan. Jika solusi ini
hanya saya tulis dalam satu paragraf, percayalah, cukup pelik ketika kejadian
berlangsung.
Tidak semua sopir mau
mengalah dan mundur dan menepi. “Kenapa harus saya yang mundur,” kata mereka. Sial.
Singkat cerita, setelah
susah payah mencari posisi menepi, saya berhasil keluar dari macet. Di kejauhan,
saya kembali melihat kendaraan di belakang: Mereka terkunci! Well, sepertinya
seharian itu adalah petaka bagi pengguna jalan di jalur tersebut... karena
sebuah festival.
Akhirnya, setelah urusan
di rumah sakit selesai, saya bisa pulang melewati jalanan utama. Saya melewati
jalur di mana siang tadi jalur itu digunakan acara festival. Dan sampah
berserakan sepanjang jalan, berkilo-kilo meter. Well, sebuah festival yang
benar-benar berguna bagi bangsa dan negara.