Sabtu, 30 Juli 2022

1000 Kemungkinan Masalah Tugas Akhir

Ada 1000 kemungkinan masalah saat kita menulis tugas akhir kuliah. Oh... barangkali saya berlebihan, mustahil ada 1000 masalah, mungkin hanya 999. Sesuatu yang saya sebut masalah itu bagi sebagian orang lebih pantas disebut tantangan. Baik masalah maupun tantangan, tetap perlu dibereskan jika ingin lulus. Sialnya banyak mahasiswa yang mudah tumbang.


Saya pernah menulis skripsi dan terlibat banyak diskusi bersama teman-teman sejak 2019—tentang tugas akhir mereka—hingga hari ini. Dari tiga tahun pengalaman itu, setidaknya saya punya sepetak peta ihwal masalah tugas akhir, atau peta tantangan tugas akhir. Peta singkat ini, betapapun mungkin prematur, telah membantu saya melihat pola perilaku mahasiswa semester akhir, juga membantu saya merefleksikan bagaimana menyikapi tugas akhir. 


Masalah pertama dimulai saat pengajuan judul. Kita belajar keras untuk melihat perkembangan lahan riset di prodi, lantas dari kerja keras itu kita menemukan satu topik yang menurut kita cocok. Dengan semangat campur cemas, judul “sakral” itu diajukan. Hasilnya, Kaprodi menolak judul riset tersebut. Kita kecewa dan merasa dunia kiamat. Kita panik, bingung, sedih, hilang harapan. Mood menjadi kacau.


Pada beberapa kasus orang-orang tertentu, ia langsung menilai bahwa perbuatan Kaprodi itu wajib dijadikan konten media sosialnya dengan inti gagasan: Betapa ia telah menjadi makhluk paling dizalimi oleh Kaprodi; betapa killernya Kaprodi; atau Kaprodi mungkin tidak belajar sehingga tak menyadari bahwa judul yang diajukan sangat bagus.


Ada skenario lain: Mungkin judul kita langsung di-acc, tetapi kita menemukan banyak tantangan saat menulis bab satu. Dosen pembimbing berkomentar bahwa latar belakang tidak merefleksikan problem akademik, rumusan masalah rancu, kerangka pendekatan tidak cocok, atau bisa disingkat: tulisan itu berantakan. Kita bingung dan merasa dunia kiamat. Mungkin sesekali umpatan keluar.


Bisa jadi judul kita langsung diterima dan bab satu lancar tanpa halangan, tetapi proses penulisan bab dua serupa banjir bandang. Kita kesulitan memetakan landasan teori, kita sulit membuat masing-masing bagian di bab dua saling terkait satu sama lain. Hasilnya, dosen pembimbing menilai tulisan tersebut harus dirombak. Jika kita bersikukuh dosen pembimbing tidak memberi restu. Lalu, seperti biasa, kita merasa dunia kiamat.


Mungkin sejak pengajuan judul hingga penulisan bab dua lancar-lancar saja, masalah muncul ketika penulisan bab tiga. Kita kesulitan mencari data. Sudah keliling perpus, wawancara lapangan, download ratusan jurnal, masih nihil. Padahal, deadline ujian tugas akhir kian dekat. Dan, seperti biasa, kita merasa dunia kiamat.


Bab satu-tiga lancar jaya, masalah serius muncul di bab empat. Kita kesulitan menganalisis data; kita kebingungan menerapkan pendekatan yang kita pakai; kita kesulitan merangkai poin-poin penting menjadi bangunan argumentasi yang utuh. Singkatnya: kita kolaps. Dan, seperti biasa, kita merasa dunia kiamat. Saya bisa meneruskan variasi ini hingga Anda bosan. Setidaknya saya harap Anda punya bayangan tentang variasi masalah tugas akhir.


Sekedar catatan: kadang sejak pengajuan judul hingga revisi pasca sidang, mahasiswa mengalami masalah bertubi-tubi. Dan, tiap kali masalah datang ia merasa dunia kiamat.


Dari berbagai curhatan kawan-kawan, merasa kiamat itulah yang kadang mengganggu konsentrasinya, hingga ia perlu diingatkan orang lain atas solusi yang sebenarnya bisa ia temukan sendiri. Dulu, ada kawan curhat tentang judul yang ditolak. Ia mengirim penjelasan via pesan suara. Di awal, suaranya sudah bergetar, dan dipuncaki tangisan di akhir. Saya meladeninya dengan sabar—atau terpaksa sabar, mungkin.


Singkat cerita, setelah diskusi panjang, ia berhasil mengatasi persoalan judul. Lalu masalah kembali muncul saat penulisan bab satu, dua, tiga, empat, dan seterusnya. Tiap menghadapi masalah, ia merasa masalah yang ia hadapi jauh lebih pelik dari masalah-masalah terdahulu. Pun saat ia telah lulus dan masuk dalam dunia rumah tangga, menurutnya masalah tugas akhir tidak ada apa-apanya.


Dengan sedikit bercanda campur dongkol saya katakan padanya, “Kalau begitu, tangisanmu saat kuliah tidak ada artinya.”


Saya ajak ia berandai-andai, jika ia tahu masalah di bab empat jauh lebih sulit dibanding saat proses pengajuan judul, dan jika ia tahu bahwa ia dapat mengatasi masalah pengajuan judul, apakah ia akan menangis saat menghadapi masalah pengajuan judul? Ia terdiam cukup lama. Saya juga terdiam cukup lama, sebelum akhirnya ia menyadari bahwa tangisannya dulu sia-sia.


Kita memang banyak menangis untuk sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kita tangisi.


Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi masalah tugas akhir? Pahami sumber masalahnya, dan menyingkirkan perasaan sedih tak perlu, lalu mengumpulkan energi guna fokus mengatasi masalah. Judul ditolak? Akar masalahnya adalah judul Anda dianggap tidak layak. Ada dua solusi, pertama, catat alasan Kaprodi menolak judul Anda, lalu evaluasi, adakah argumen yang bisa anda ajukan untuk mengoreksi catatan Kaprodi.


Anda sudah mengoreksi tetapi tetap kalah argumentasi? Satu-satunya solusi, dan ini adalah solusi kedua, ya ganti judul. Judul bukan Tuhan yang tak tergantikan. Jika semua upaya sudah kandas, tidak ada pilihan lain. Itu adalah solusi konkret. Tetapi jika Anda mendapati orang yang tetap pada judul lamanya karena romantisasi tertentu, ya biarkan saja. Itu pilihan dia. Jika Anda mendapati ia mengutuki keadaan, lebih baik jauhi saja. Ia tidak niat mencari solusi.


Data bab dua sulit dicari? Ya jangan nangis, murung, atau depresi, tapi gali terus di tempat lain dengan lebih giat. Hubungi dosen yang barangkali bisa membantu memberi informasi. Hubungi kawan-kawan yang barangkali punya petunjuk. Tetap tidak ketemu? Ya tetap cari. Hanya itu solusinya.


Kesulitan menganalisis data? Diskusi sama dosen pembimbing. Sekedar informasi, dosen pembimbing itu dibayar—setidaknya di kampus tempat saya kuliah, jadi mahasiswa berhak mendapat bimbingan dosen. Dari pada menghabiskan energi untuk stress tidak perlu, coba lihat akar masalahnya, dan fokus mencari solusi. Merasa dunia kiamat akan menutup akar masalah, dan menutup solusi. Padahal akar masalah kadang sangat jelas, dan solusi bisa diusahakan.


Jadi kita nggak boleh bersedih? Ya boleh saja, sebenarnya. Asal jangan merasa dunia kiamat lantas kita kehilangan fokus. Padahal, perasaan dunia kiamat itu fana dan konyol. Tidak ada yang melarangmu bersedih, bahkan jika kau ingin DO, itu hakmu.


Saat menerima curhatan dan tangisan mengenai masalah tugas akhir, sering saya menarik nafas dalam-dalam: mungkin ia akan menangis sia-sia; jika di awal saja ia sudah down, apalagi pada saat momen-momen penting di akhir. Jadi saya mendapat pelajaran penting: fokus pada akar masalah dan solusi. Dan atasi masalah dengan penuh dedikasi. Ketahanan mental untuk fokus inilah yang akan melahirkan dedikasi.


Tiap melihat kawan-kawan yang serius menulis tugas akhir, saya menaruh hormat. Saat ia merasakan ada perubahan dalam dirinya setelah menjalani proses penulisan tugas akhir—perubahan positif—maka saat itulah ia mencapai esensi pembelajaran tugas akhir. Ia membangun kemampuan mental untuk menghadapi 1000 kemungkinan masalah tugas akhir. Oh... barangkali saya berlebihan, mustahil ada 1000 masalah, mungkin hanya 999.

Bijak

 Sebagian orang sangat bijak. Sebagian lain hanya tampak bijak.

Sabtu, 16 Juli 2022

Ketika Spion Menarik Perhatian

 Mari sejenak perhatikan spion. Perhatikan baik-baik. Jika ada benda murah dengan fungsi mahal, salah satunya pasti spion. Anda ingin memastikan penampilan, spion bisa dipakai; Anda ingin menengok kendaraan di belakang, Anda bisa melirik spion. Nah, di Indonesia, saya pernah sesekali mendapati pengendara motor yang mengarahkan spion kiri pada wajahnya, dan spion kanan tepat pada posisinya. Dengan demikian, ia bisa memastikan penampilan di jalan dengan spion kiri, dan awas kondisi kendaraan belakang melalui spion kanan.


Kelincahan memanfaatkan fungsi barang semacam ini menjadi lambang kreativitas masyarakat kita. Apakah kreativitas itu pada akhirnya berujung pada keruwetan fungsi, itu soal lain. Sebab kita mafhum, di negeri penuh keindahan tingkah makhluknya ini, salah tempat sudah lumrah. Seorang panitia acara, misalnya, bisa saja mengundang ahli teknologi pada seminar sastra Inggris dan sang pembicara ringan tangan menerima undangan itu semata-mata karena segala sesuatu sudah berjalan semerawut.


Contoh lain, bisa kita tengok para sarjana yang bekerja di luar bidang keahliannya. Para khotib dipenuhi oleh ahli ekonomi sehingga isi amplop menjadi pertimbangan utama. Sedangkan customer service bank diisi oleh lulusan sarjana keagamaan sehingga sesekali ia bisa memberi nasihat pada klien dengan pembukaan: “Sekedar mengingatkan, Pak/Bu, menurut kitab suci...”


Malah jika kondisi negeri ini serba tertib dan presisi tanpa kerabunan sosial semacam itu, kita bisa curiga ia bukan Indonesia lagi.


Melihat keragaman salah tempat tersebut, spion yang berubah kiblat dari jalanan lalu bergeser ke wajah pengendara, terasa wajar dan biasa-biasa saja. Sesekali melihat wajah mungkin menjadi hiburan, sebab pada rupa itulah kita menggantung rasa peduli paling puncak. Tetapi spion tetap spion. Saat ia tertanam di kendaraan, maka fungsinya adalah fitur keselamatan. Jika kita abai terhadap kehati-hatian ini, nyawa menjadi taruhan.


Anda orang penuh hati-hati di jalan? Hebat! Anda pasti merasa buta sebelah saat spion tersisa satu. Saya pernah mengemudi mobil yang kaca spion sebelah kanan pecah. Ia bolong. Mobil itu harus berjalan jauh dan saya kerepotan setengah mati. Beberapa kali saya juga melihat spion motor tampak tangguh, tetapi tidak ada kaca di sana. Mungkin si pengendara bermaksud supaya spion bolong itu menjadi pengelabuh polisi. Anda tahu, kita mendapat satu lagi fungsi spion di masyarakat: pajangan supaya tidak ditilang polisi.


Variasi tindakan pengelabuhan ini banyak: selain spion sundel, ada juga spion rukuk. Anda tahu posisi rukuk ketika solat, ya seperti itu kira-kira, si spion terus menunduk karena akar penyangga sudah aus, atau karena khusuk beribadah. Baru-baru ini saya naik motor berspion rukuk. Saya melihatnya melalui rasa iba. Saat mesin motor mulai meraung, spion kanan itu seperti terkantuk-kantuk. Sedangkan spion kiri tidak bisa berubah posisi. Ia kaku karena aus. Jika dipaksa menoleh, ia akan patah, padahal arah hadapnya melenceng.


Kedua spion sakit tersebut menyadarkan saya akan beberapa hal, bahwa tanpa spion saya kesulitan untuk mendahului kendaraan di depan. Standar SOP mendahului kendaraan, menurut saya, harus memastikan bahwa tidak ada kendaraan lain di belakang yang bermaksud mendahului juga. Untuk menuju ke depan, ternyata perlu melihat kondisi belakang. Jangan-jangan, pikir saya dalam hati, di kehidupan sehari-hari, saya perlu menengok ke belakang sebelum melakukan lompatan. Saya pernah mendengar quote klise semacam itu. Pokok masalahnya adalah kita perlu spion!


Jika saya boleh berpendapat, spion kehidupan adalah otak kita sendiri. di sana ada memori, kenangan, pengalaman, dan seperangkat data lain yang dapat menjadi evaluasi apakah tindakan kita ke depan sudah tepat. Dengan kata lain, pikiran adalah spion antara masa-lalu dan masa-depan. Antara kenangan dan harapan. Jadi, sebelum melakukan lompatan besar, saya bisa membongkar data-data yang relevan tentang lompatan itu. Apakah ada hal di masa lalu yang bisa saya jadikan sebagai senjata?


Sama seperti spion motor dan mobil, spion berupa pikiran itu bisa saja tidak memiliki kaca, atau ia rukuk terkantuk-kantuk, atau ia salah arah. Kekacauan spion ini telah menjadi metafora pemantik hebat bagi saya untuk memutar-mutar berbagai keluputan pilihan penting dalam hidup. Jangan-jangan spion saya sudah hilang, gumam saya; atau ia mengarah pada antah berantah. Di jalanan sambil menyetir itu, saya tergelitik banyak hal, dan, yang paling utama: segala keruwetan ini, bisa jadi karena banyak orang tidak punya spion yang baik.


Saat spion itu salah tempat, bubarlah segala ketertiban sosial kita. hari-hari ini kita sering melihatnya. Jadi, mari sejenak perhatikan spion. Perhatikan baik-baik...

 

Tindak

“Dengarkan, Nak,” kata seorang ayah. “Tindakan seorang adalah kata-katanya. Dan kata-kata seseorang bisa jadi kepalsuannya. Selalu ukur tindakan. Itu tak pernah berbohong.”