Sabtu, 16 Juli 2022

Ketika Spion Menarik Perhatian

 Mari sejenak perhatikan spion. Perhatikan baik-baik. Jika ada benda murah dengan fungsi mahal, salah satunya pasti spion. Anda ingin memastikan penampilan, spion bisa dipakai; Anda ingin menengok kendaraan di belakang, Anda bisa melirik spion. Nah, di Indonesia, saya pernah sesekali mendapati pengendara motor yang mengarahkan spion kiri pada wajahnya, dan spion kanan tepat pada posisinya. Dengan demikian, ia bisa memastikan penampilan di jalan dengan spion kiri, dan awas kondisi kendaraan belakang melalui spion kanan.


Kelincahan memanfaatkan fungsi barang semacam ini menjadi lambang kreativitas masyarakat kita. Apakah kreativitas itu pada akhirnya berujung pada keruwetan fungsi, itu soal lain. Sebab kita mafhum, di negeri penuh keindahan tingkah makhluknya ini, salah tempat sudah lumrah. Seorang panitia acara, misalnya, bisa saja mengundang ahli teknologi pada seminar sastra Inggris dan sang pembicara ringan tangan menerima undangan itu semata-mata karena segala sesuatu sudah berjalan semerawut.


Contoh lain, bisa kita tengok para sarjana yang bekerja di luar bidang keahliannya. Para khotib dipenuhi oleh ahli ekonomi sehingga isi amplop menjadi pertimbangan utama. Sedangkan customer service bank diisi oleh lulusan sarjana keagamaan sehingga sesekali ia bisa memberi nasihat pada klien dengan pembukaan: “Sekedar mengingatkan, Pak/Bu, menurut kitab suci...”


Malah jika kondisi negeri ini serba tertib dan presisi tanpa kerabunan sosial semacam itu, kita bisa curiga ia bukan Indonesia lagi.


Melihat keragaman salah tempat tersebut, spion yang berubah kiblat dari jalanan lalu bergeser ke wajah pengendara, terasa wajar dan biasa-biasa saja. Sesekali melihat wajah mungkin menjadi hiburan, sebab pada rupa itulah kita menggantung rasa peduli paling puncak. Tetapi spion tetap spion. Saat ia tertanam di kendaraan, maka fungsinya adalah fitur keselamatan. Jika kita abai terhadap kehati-hatian ini, nyawa menjadi taruhan.


Anda orang penuh hati-hati di jalan? Hebat! Anda pasti merasa buta sebelah saat spion tersisa satu. Saya pernah mengemudi mobil yang kaca spion sebelah kanan pecah. Ia bolong. Mobil itu harus berjalan jauh dan saya kerepotan setengah mati. Beberapa kali saya juga melihat spion motor tampak tangguh, tetapi tidak ada kaca di sana. Mungkin si pengendara bermaksud supaya spion bolong itu menjadi pengelabuh polisi. Anda tahu, kita mendapat satu lagi fungsi spion di masyarakat: pajangan supaya tidak ditilang polisi.


Variasi tindakan pengelabuhan ini banyak: selain spion sundel, ada juga spion rukuk. Anda tahu posisi rukuk ketika solat, ya seperti itu kira-kira, si spion terus menunduk karena akar penyangga sudah aus, atau karena khusuk beribadah. Baru-baru ini saya naik motor berspion rukuk. Saya melihatnya melalui rasa iba. Saat mesin motor mulai meraung, spion kanan itu seperti terkantuk-kantuk. Sedangkan spion kiri tidak bisa berubah posisi. Ia kaku karena aus. Jika dipaksa menoleh, ia akan patah, padahal arah hadapnya melenceng.


Kedua spion sakit tersebut menyadarkan saya akan beberapa hal, bahwa tanpa spion saya kesulitan untuk mendahului kendaraan di depan. Standar SOP mendahului kendaraan, menurut saya, harus memastikan bahwa tidak ada kendaraan lain di belakang yang bermaksud mendahului juga. Untuk menuju ke depan, ternyata perlu melihat kondisi belakang. Jangan-jangan, pikir saya dalam hati, di kehidupan sehari-hari, saya perlu menengok ke belakang sebelum melakukan lompatan. Saya pernah mendengar quote klise semacam itu. Pokok masalahnya adalah kita perlu spion!


Jika saya boleh berpendapat, spion kehidupan adalah otak kita sendiri. di sana ada memori, kenangan, pengalaman, dan seperangkat data lain yang dapat menjadi evaluasi apakah tindakan kita ke depan sudah tepat. Dengan kata lain, pikiran adalah spion antara masa-lalu dan masa-depan. Antara kenangan dan harapan. Jadi, sebelum melakukan lompatan besar, saya bisa membongkar data-data yang relevan tentang lompatan itu. Apakah ada hal di masa lalu yang bisa saya jadikan sebagai senjata?


Sama seperti spion motor dan mobil, spion berupa pikiran itu bisa saja tidak memiliki kaca, atau ia rukuk terkantuk-kantuk, atau ia salah arah. Kekacauan spion ini telah menjadi metafora pemantik hebat bagi saya untuk memutar-mutar berbagai keluputan pilihan penting dalam hidup. Jangan-jangan spion saya sudah hilang, gumam saya; atau ia mengarah pada antah berantah. Di jalanan sambil menyetir itu, saya tergelitik banyak hal, dan, yang paling utama: segala keruwetan ini, bisa jadi karena banyak orang tidak punya spion yang baik.


Saat spion itu salah tempat, bubarlah segala ketertiban sosial kita. hari-hari ini kita sering melihatnya. Jadi, mari sejenak perhatikan spion. Perhatikan baik-baik...