Mari sejenak perhatikan spion. Perhatikan baik-baik. Jika ada benda murah dengan fungsi mahal, salah satunya pasti spion. Anda ingin memastikan penampilan, spion bisa dipakai; Anda ingin menengok kendaraan di belakang, Anda bisa melirik spion. Nah, di Indonesia, saya pernah sesekali mendapati pengendara motor yang mengarahkan spion kiri pada wajahnya, dan spion kanan tepat pada posisinya. Dengan demikian, ia bisa memastikan penampilan di jalan dengan spion kiri, dan awas kondisi kendaraan belakang melalui spion kanan.
Kelincahan
memanfaatkan fungsi barang semacam ini menjadi lambang kreativitas masyarakat
kita. Apakah kreativitas itu pada akhirnya berujung pada keruwetan fungsi, itu
soal lain. Sebab kita mafhum, di negeri penuh keindahan tingkah makhluknya ini,
salah tempat sudah lumrah. Seorang panitia acara, misalnya, bisa saja
mengundang ahli teknologi pada seminar sastra Inggris dan sang pembicara ringan
tangan menerima undangan itu semata-mata karena segala sesuatu sudah berjalan
semerawut.
Contoh lain, bisa
kita tengok para sarjana yang bekerja di luar bidang keahliannya. Para khotib
dipenuhi oleh ahli ekonomi sehingga isi amplop menjadi pertimbangan utama.
Sedangkan customer service bank diisi oleh lulusan sarjana keagamaan
sehingga sesekali ia bisa memberi nasihat pada klien dengan pembukaan: “Sekedar
mengingatkan, Pak/Bu, menurut kitab suci...”
Malah jika kondisi
negeri ini serba tertib dan presisi tanpa kerabunan sosial semacam itu, kita
bisa curiga ia bukan Indonesia lagi.
Melihat keragaman
salah tempat tersebut, spion yang berubah kiblat dari jalanan lalu bergeser ke wajah
pengendara, terasa wajar dan biasa-biasa saja. Sesekali melihat wajah mungkin
menjadi hiburan, sebab pada rupa itulah kita menggantung rasa peduli paling
puncak. Tetapi spion tetap spion. Saat ia tertanam di kendaraan, maka fungsinya
adalah fitur keselamatan. Jika kita abai terhadap kehati-hatian ini, nyawa
menjadi taruhan.
Anda orang penuh
hati-hati di jalan? Hebat! Anda pasti merasa buta sebelah saat spion tersisa
satu. Saya pernah mengemudi mobil yang kaca spion sebelah kanan pecah. Ia
bolong. Mobil itu harus berjalan jauh dan saya kerepotan setengah mati.
Beberapa kali saya juga melihat spion motor tampak tangguh, tetapi tidak ada
kaca di sana. Mungkin si pengendara bermaksud supaya spion bolong itu menjadi pengelabuh
polisi. Anda tahu, kita mendapat satu lagi fungsi spion di masyarakat: pajangan
supaya tidak ditilang polisi.
Variasi tindakan pengelabuhan
ini banyak: selain spion sundel, ada juga spion rukuk. Anda tahu posisi rukuk
ketika solat, ya seperti itu kira-kira, si spion terus menunduk karena akar penyangga
sudah aus, atau karena khusuk beribadah. Baru-baru ini saya naik motor berspion
rukuk. Saya melihatnya melalui rasa iba. Saat mesin motor mulai meraung, spion kanan
itu seperti terkantuk-kantuk. Sedangkan spion kiri tidak bisa berubah posisi. Ia
kaku karena aus. Jika dipaksa menoleh, ia akan patah, padahal arah hadapnya
melenceng.
Kedua spion sakit
tersebut menyadarkan saya akan beberapa hal, bahwa tanpa spion saya kesulitan
untuk mendahului kendaraan di depan. Standar SOP mendahului kendaraan, menurut
saya, harus memastikan bahwa tidak ada kendaraan lain di belakang yang
bermaksud mendahului juga. Untuk menuju ke depan, ternyata perlu melihat
kondisi belakang. Jangan-jangan, pikir saya dalam hati, di kehidupan
sehari-hari, saya perlu menengok ke belakang sebelum melakukan lompatan. Saya
pernah mendengar quote klise semacam itu. Pokok masalahnya adalah kita perlu
spion!
Jika saya boleh
berpendapat, spion kehidupan adalah otak kita sendiri. di sana ada memori,
kenangan, pengalaman, dan seperangkat data lain yang dapat menjadi evaluasi
apakah tindakan kita ke depan sudah tepat. Dengan kata lain, pikiran adalah
spion antara masa-lalu dan masa-depan. Antara kenangan dan harapan. Jadi,
sebelum melakukan lompatan besar, saya bisa membongkar data-data yang relevan
tentang lompatan itu. Apakah ada hal di masa lalu yang bisa saya jadikan
sebagai senjata?
Sama seperti spion
motor dan mobil, spion berupa pikiran itu bisa saja tidak memiliki kaca, atau
ia rukuk terkantuk-kantuk, atau ia salah arah. Kekacauan spion ini telah
menjadi metafora pemantik hebat bagi saya untuk memutar-mutar berbagai keluputan
pilihan penting dalam hidup. Jangan-jangan spion saya sudah hilang, gumam saya;
atau ia mengarah pada antah berantah. Di jalanan sambil menyetir itu, saya
tergelitik banyak hal, dan, yang paling utama: segala keruwetan ini, bisa jadi
karena banyak orang tidak punya spion yang baik.
Saat spion itu salah
tempat, bubarlah segala ketertiban sosial kita. hari-hari ini kita sering
melihatnya. Jadi, mari sejenak perhatikan spion. Perhatikan baik-baik...